Unjuk Rasa Para Seniman

Aksi Protes Seniman PRBI untuk Membenahi TIM

| dilihat 1718
 
JAKARTA, AKARPADINEWS.COM | Selama lima hari, 9-13 Januari 2015, para seniman Taman Ismail Marzuki yang mengatasnamakan “Penjaga Rumah Budaya Indonesia” (PRBI) melakukan aksi unjuk rasa menolak keputusan pemerintah  provinsi DKI Jakarta tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta.
 
Taman Ismail Marzuki adalah ruang pertemuan seniman dan masyarakat yang memiliki nilai historis dan makna penting dalam dinamika perkembangan kesenian Jakarta dan Indonesia. Aksi seniman TIM tentu mengejutkan masyarakat seni Indonesia.
 
Aksi para seniman melalui orasi, puisi, musik dan seni pertunjukan lainnya menuntut keputusan sepihak pemerintah dengan  keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, No. 109 tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta.
 
Ironisnya, keputusan yang dibawahi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta dilakukan sepihak ketika sebelumnya pada 2014, para seniman dan budayawan beserta lembaga Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta telah melakukan dialog bersama dengan Pemerintah DKI ihwal tentang kesenian dan kebudayaan di Jakarta, termasuk pengelolaan dan penataan Taman Ismail Marzuki. 
 
“Dengan keputusan sepihak dari mereka, sepertinya kami dianggap mati” tegas Aidil Usman, selaku koordinator aksi dan penggagas PRBI ketika ditemui pada aksi hari ke-dua.
 
Kekhawatiran Aidil dan para seniman dengan langkah Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta melantik para pejabat pemerintah daerah, termasuk melantik Bambang Subekti, Kepala Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki dalam format baru ialah "UPT " (Unit Pelaksana Teknis) setingkat Camat adalah perubahan sistem yang prosuderal dan tidak jelas untuk mengurus infrastruktur bahkan cenderung mengkerdilkan identitas dan sejarah TIM. “Harga gedung menjadi mahal, apalagi kami khawatir bila TIM menjadi kehilangan sejarah” jelas Aidil.
 
Taman Ismail Marzuki di bilangan Jl.Cikini Raya No 73 Jakarta, digagas Gubernur Pertama Jakarta, Ali Sadikin bersama para seniman, pada 10 Nopember 45 tahun yang lalu, tanah seluas 8 hektar bekas kebun binatang dirubah menjadi gedung kesenian dari sebuah mimpi bersama untuk mewadahi para seniman berkumpul dan berkarya setelah Pasar Senen dan Balai Budaya tidak dianggap refresentatif lagi. 
 
Ali Sadikin adalah sosok yang dekat dengan seniman, yang tentu berlawanan dengan birokrasi sepihak yang dilakukan Pemda saat ini yang dianggap tidak mampu meneruskan dan merawat TIM. Menurut Bambang Prihadi yang turut menggagas acara ini, bila pola berpikir pemerintah melihat kesenian dengan cara yang instan dan hanya sebagai industri kreatif, misal untuk sebuah festival di TIM dilakukan dengan cara instan dan semua acara termasuk pendanaan selalu penuh di akhir tahun untuk mengejar laporan. Melalui kebijakan UPT ini seolah menjelaskan bila mereka tidak paham cara membenahi TIM. 
 
“Seharusnya TIM melibarkan semua stakeholder, dengan UPT ini justru tidak membuat saling berkoordinasi, kita berharap semuanya seiring jalan” jelas Bambang.
 
Perlu diketahui bila merunut permasalahan di TIM hanya terlihat seperti gunung es di permukaan dan masih banyak potensi masalah lain jika TIM tidak dibenahi bersama. Seperti persoalan retribusi gedung yang meningkat sehingga memberatkan kelompok seni apalagi yang notabene komunitas teater dan tari yang belum mapan akan sulit pentas, selanjutnya TIM akan dikuasai secara eksklusif oleh lembaga dan seniman yang memiliki dana besar untuk menyewa dan tentu akan mengancam posisi seniman lain.
 
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin pada 2011 terancam ditutup karena kekurangan dana hingga muncul aksi “Koin Sastra” dari para sastrawan dan seniman. Belum lagi pada 2014 lalu pembangunan jembatan  yang menghubungan perpustakaan dan gedung arsip berimbas roboh sampai menewaskan 4 korban kuli bangunan, transparansi siapa yang bertanggung jawab pun tidak jelas hingga saat ini. Banyak persoalan lain pula, dari soal mati lampu hingga yang berhubungan dengan infrastruktur lainnya.  
 
Kebijakan UPT yang semata-mata dianggap untuk memudahkan turunnya dana sesuai aturan pemerintah adalah kebijakan yang membingungkan yang bisa saja terbentuk adanya politik lokasi dan penganggaran. Dikhawatirkan pula justru akan memicu ketidakpercayaan hingga kontestasi (pertarungan) secara wacana dan ideologi antara seniman dan pemerintah.  
 
TIM bukan hanya membutuhkan penataan persoalan secara materi saja, tetapi meliputi esensi pembangunan TIM sebagai wadah kesenian dan dibentuknya Sumber Daya Manusia yang mumpuni yang melibatkan berbagai stakeholder dan seniman untuk rukun bersama-sama menata TIM yang seharusnya TIM bergaung secara nasional dan internasional bukan setingkat kecamatan. |Ratu Selvi Agnesia
 
 
Editor : Nur Baety Rofiq
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 217
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 430
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 429
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 399
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 422
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 995
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 231
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 707
Momentum Cinta
Selanjutnya