Baduy dalam Pusaran Perubahan Zaman

| dilihat 3454

AKARPADINEWS.COM | “SARE tamba hanteu tunduh, madang tamba teu lapar, make tamba teu talanjang.” Prinsip laku hidup (pikukuh) yang diwarisi turun temurun oleh leluhur Suku Baduy itu mengajarkan jika tidur sekadar pelepas kantuk, makan cukup untuk penghilang lapar, dan berpakaian sebatas tidak telanjang. Prinsip itu mengandung makna Suku Baduy tidak suka berleha-leha, tidak serakah, dan menjalani hidup dengan kesederhanaan.

Namun, di sebagian masyarakat Baduy masa kini, pikukuh itu mulai tergerus. Dinamika perkembangan jaman menyebabkan masyarakat Badui mulai terpengaruh nilai-nilai dari luar. Dampak modernisasi, lambat laun mulai mengubah laku hidup urang kanekes. Interaksi dengan orang luar, menyebabkan suku Baduy yang dianggap suku terasing tersebut, mulai mengabaikan piperkukuh.

Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Baduy itu merupakan gejala mulai lenyapnya kearifan lokal (local wisdom). Fenomena ini diangkat melalui acara Baduy Kembali yang digelar 6-10 April 2016 di Bentara Budaya, Jakarta.

Acara yang digagas oleh Kompas ini bertujuan untuk membuka cakrawala masa lalu, masa kini, dan masa depan Suku Baduy. Setidaknya, untuk memahami kekayaan tradisi Suku Baduy, yang mengandung nilai, moral, kesantunan, kepatutan, dan keteladanan. 

“Perbedaan bukan membawa perpecahan tapi kekayaan. Topik ini ingin menawarkan tantangan Suku Baduy, tanpa kehilangan identitasnya,” kata Andi Budiman, Director Visual Kompas saat membuka acara.

Dalam acara tersebut, disajikan pula pameran seni dan budaya Baduy, konser Membaca Baduy bersama Jodhi Yudono, sajian grup angklung asal Baduy Tlaga Swara, diskusi dengan sosiolog, antropolog dan tokoh Baduy, pagelaran busana kain Baduy, kompetisi blog dan visual interaktif Baduy Kembali.

Merujuk pada identitas aslinya, banyak hasil penelitian yang mengungkapkan asal-usul Suku Baduy. Suku itu diyakini berasal dari Pajajaran yang memilih untuk menyingkir ke wilayah Pegunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, ketika Islam datang. Meski mengadopsi kepercayaan Sunda Wiwitan, Suku Baduy menganggap leluhur mereka, bersama Nabi Adam, adalah orang pertama di dunia.

Tanah mereka adalah pusat dunia (pancer bumi), di mana semuanya berasal. Karenanya, tanah itu dikeramatkan. Mereka yang mendiami wilayah itu harus menjaga kemurniannya.

Suku Baduy tinggal di Desa Kanekes, sekitar 38 kilometer dari ibu kota Kabupaten lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 kilometer dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 64 kampung. Suku Baduy yang mendiami Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo disebut Tangtu atau Urang Tangtu Tilu atau Urang Girang. Merekalah yang dikenal sebagai Suku Baduy Dalam. Sedangkan Suku Baduy Luar, tinggal di 61 kampung lainnya.

Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping yang berfungsi menjaga Baduy Dalam. Jumlah warga Baduy Dalam saat ini diperkirakan 1.500 jiwa. Sementara jumlah penduduk Baduy Luar sekitar 11.657 jiwa. 

Kampung Suku Baduy seringkali dikunjungi wisatawan, dengan latar belakang yang beragam. Tentunya, interaksi masyarakat Baduy dengan tamu-tamu itu yang menyebabkan perubahan kebudayaan. Perubahan itu sulit dihalangi, meski berlaku hukum adat.

Pada pameran seni dan budaya Baduy menunjukan adanya perubahan yang terjadi di Suku Baduy, khususnya yang terjadi pada Baduy luar. Seperti dari beberapa foto hasil jepretan para fotografer Kompas, sebagian Suku Baduy yang berpakaian modern, tidak lagi menggunakan pakaian khasnya.

Suku Baduy memakai pakaian khas berupa baju hitam untuk laki-laki Baduy Luar dan baju putih berlengan panjang (kutung) untuk Baduy Dalam, disandingkan dengan ikat kepala, ikat pinggang (beubeur) dan samping aros (sarung warna bergaris putih sebatas dengkul).

Mereka juga banyak yang menggunakan smartphone, ikut serta dalam pemilihan umum (Pemilu), menggunakan alat makan dengan barang-barang yang dibeli di pasar, belajar membaca, hingga menjadi pebisnis dengan menjual kerajinan Baduy seperti kain tenun yang didistribusikan hingga ke berbagai kota.

Tak sedikit di antara mereka yang perilaku, sikap, dan pandangannya sama dengan masyarakat modern umumnya. Mereka berorientasi ekonomi, mencari pendapatan sebanyak-banyaknya dan menginvestasikannya, terutama pada emas. Kini, para perempuan Baduy selalu berhias kalung emas besar di lehernya sebagai simbol kemakmuran.

Orang-orang Baduy pun kini lebih tertarik dengan pekerjaan-pekerjaan praktis. Misalnya, sebagai porter para wisatawan atau pengangkut hasil bumi. Padahal, Suku Baduy memiliki sembilan rukun wajib yang harus dikerjakan, di antaranya nyacar (nebang), ngaduruk (membakar), ngaseuk (melobangi tanah untuk menanam bibit), ngored (menyiangi rumput), dibuat (memetik padi), kalanjakan (berburu seperti kancil, bajing atau rusa), kapundayan (mengambil ikan di sungai), kawalu (melaksanakan puasa atau nyepi) selama Februari hingga Mei. Cikeusik, Cibeo atau Cikeutawarna atau Baduy Dalam dan Ngalaksa (melaksanakan hari raya serupa lebaran bagi orang Islam)

Antropolog Cecep Eka Permana menilai, perkenalan Suku Baduy dengan budaya modern telah mengubah Baduy. Salah satunya, terlihat dengan suasana di pagi hari. Cecep menceritakan, sekitar tahun 1985, saat dirinya mahasiswa bertandang ke Kampung Baduy. Pagi-pagi sekali dibangunkan oleh suara lisung atau wadah untuk menumbuk padi. Namun, saat ini, suara tersebut sudah jarang terdengar.

Praktik dan penghayatan laku hidup, sudah banyak yang tidak lagi dilakukan masyarakat Baduy yang memilih bekerja dan lebih berorientasi ekonomi. Namun, ada juga yang masih melakukan pikukuh karena sudah terpatri dalam hatinya. Salah satunya Keluarga Nasina. Dia mengaku telah berusia 99 tahun, mewakili generasi tua yang masih memegang teguh pikukuh.

Putra bungsunya, bernama Sarpin dan isterinya Misnah, mewakili generasi Baduy terpelajar. Sedangkan Arsid, cucu Nasina yang menjadi pengusaha kain tenun Baduy, mewakili generasi Baduy yang memiliki visi bisnis dan kemampuan membangun jejaring untuk mendukung bisnisnya. Nasina memiliki riwayat panjang dalam mempertahankan hidup. Dia memilih berniaga sebagai jalan hidupnya, sambil berladang sebagai bentuk ibadahnya sebagai orang Baduy.

Perubahan pada masyarakat Baduy sebenarnya dapat dikatakan sebagai transformasi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Indikasinya adalah ketaatan terhadap pikukuh yang mulai menyusut. Masyarakat Baduy yang keluar dari Desa Kanekes adalah mereka yang berupaya melonggarkan ikatan pikukuhnya. Hal itu wajar, karena setiap manusia berkeinginan untuk berkembang sesuai dengan keinginannya. Karena itu, perubahan yang terjadi dalam sebuah masyarakat tergantung kepada masyarakat itu sendiri. Perubahan akan lebih terjadi jika anggota masyarakatnya ingin hidup lebih baik lagi.

Namun, proses perubahan yang dilalui, tidak harus meninggalkan nilai dan tradisi leluhur. Pola pikir, sikap, dan tindakan yang bercorak modern harus menyesuaikan dengan kearifan lokal. Dengan begitu, Suku Baduy akan dapat bertahan dalam pusaran perubahan jaman.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 225
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 320
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya