Lontar yang Sakral

| dilihat 4370

AKARPADINEWS.COM | KESUSASTRAAN Bali dipengaruhi teks Jawa Kuno berdasarkan cerita epos dari India, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Pengaruh itu tidak terlepas dari penetrasi budaya Jawa dan India di akhir abad ke-10 dan 16. Di akhir abad 19, Bali juga mengenal agama Islam dari Jawa (Blambangan), Lombok (Sasak), dan Sulawesi (Bugis).

Pada tahun 1840, pakar kesusastraan Bali dan sarjana-sarjana Belanda tinggal bersama dengan penggiat kesusastraan Bali, yang kemudian membagi genre kesusastraan Bali yaitu weda, agama, wariga, itihasa, babad, dan tantri.

Lalu, di tahun 1928, muncul sebuah yayasan yang menyimpan koleksi naskah Bali bernama Lontar Foundation Kirtya Liefrinck-Van der Tuuk di Singaraja bagian Buleleng. Nama di belakang adalah nama sarjana Belanda yyang menetap di Bali yaitu F.A. Liefrinck (1853-1927) dan H.N Van der Tuuk (1824-1894).

H.I.R. Hinzler, seorang peneliti, dalam artikelnya berjudul Balinese Palm-Leaf Manuscripts. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149 (1993) menjelaskan, daerah persebaran pohon palem dan menghasilkan lontar berkualitas dibandingkan daerah lain.

Menurutnya, daun lontar memiliki kualitas bahan tulis lebih baik dibandingkan daun gebang. Daun lontar yang paling baik adalah yang dipetik di bulan Kartika/Kapat (September/Oktober), Kasanga/Kadasa (Maret/April), dan sebelum bulan purnama. Daun yang dipetik di musim lain menghasilkan daun yang tua. Cirinya, permukaan daun menjadi bintik-bintik dan tidak cocok sebagai teks suci.

Lontar juga disebut sebagai rontal, ental, dan ntal. Ia membedakan tiga tipe lontar yaitu ntal taluh (tipe telur) dengan serabut yang baik dan panjang dan daunnya lebar, ntal goak (tipe burung gagak) dengan sedikit serabut, panjang, dan daun-daunnya lebar, dan ntal kendis (tipe burung) yang berserabut, tetapi daunnya kecil, tidak digunakan sebagai bahan tulis.

Pohon palem yang daunnya berkualitas paling baik dihasilkan di daerah Karangasem, di daerah Culik, Kubu, dan Tianyar, tepatnya di sebuah desa yang terletak di daerah kering di kaki bukit Gunung Seraya, Agung, dan Batur, tidak jauh dari pesisir pantai. Pohon palem dengan daun berkualitas rendah tumbuh di area basah yaitu di atas permukaan bukit Gunung Agung, ke barat dari bagian tengah ke Amlapura. Selain itu, daerah penghasil lontar terbaik yaitu di Gria Pendem.

Gria Pendem merupakan sebuah bangunan kompleks penduduk yang dihuni oleh banyak kasta Brahma, lokasinya di Kota Amlapura. Pada tahun 1930, Lontar Foundation di Singaraja mendorong proses pembuatan daun lontar dan produksi naskah. Tujuannya untuk menginventarisasi semua koleksi naskah di Bali dan membuat salinan dari naskah-naskah yang penting untuk perpustakan tersebut.

Pada bulan Desember 1928 dan Juli 1941, yayasan tersebut mengoleksi 2.263 naskah lontar, hampir semua baru dibuat. Meskipun di sana pernah terjadi penolakan dalam proses pembuatan daun lontar untuk bahan tulisan di seluruh Bali sesudah tahun 1941, kemudian berkembang lagi pada awal 1970.

Hinzler menjelaskan secara terperinci proses pembuatan lontar. Dari masih menjadi daun hingga bisa ditulis sebagai naskah. Menurutnya, proses dari pembuatan daun lontar, dipilih daunnya yang kering tanpa cairan dan tahan lama. Orang Bali mengistilahkannya sebagai mubad, masipat, dan mawilah.

Lontar menjadi sebuah naskah ketika menjadi satu, dengan ukuran yang sama, digabung layaknya seperti buku. Lontar dengan lidinya yang belum dibuang diberi tali sepanjang 10 sentimeter (cm) untuk menyatukan semuanya. Tali yang mengikat lembaran lontar menjadi naskah disebut nyuluh.

Ukuran naskah lontar yang akan ditulis ternyata mempengaruhi jenis teksnya. Hinzler menerangkan, teks yang berisi Kidung dan Kakawin dengan versi puisi Jawa misalnya Kidung Malat, ditulis di atas lontar yang berukuran panjang 40-62 cm dan lebar 3,5-4 cm. Sedangkan yang berjenis Kakawin misalnya Ramayana dan Mahabrata, berbentuk parwa (prosa).

Disamping itu, naskah dengan ukuran panjang 25-39 cm dan lebar 3-2,7 cm merupakan teks didaktik (sasana), kesehatan (usada), horoskop dan kalender (wariga), puisi dalam bahasa Bali (parikan, geguritan), sejarah atau silsilah (babad, silsilah) dan mantra. Kemudian, teks yang berhubungan dengan ilmu-ilmu hitam (kaputusan, kawisesan) umumnya panjangnya 11-25 cm dan lebar 2,8- 3 cm.

Adapun naskah lontar, menurut Hinzler, dengan gambar atau ilustrasi, dibagi menjadi tiga tipe. Pertama, alas lontar yang dibagi dua baris vertikal untuk ilustrasi dan teks puisi atau prosa. Kedua, hanya berisi ilustrasi. Ketiga, berisi teks dengan satu atau dua ilustrasi.

Naskah lontar memiliki perlakuan khusus dari masyarakatnya. Perawatan dan penghormatan naskah dilakukan pada hari perayaan Saraswati, yaitu pada hari Sabtu Manis di Minggu Watugunung. Semua koleksi naskah dikeluarkan dan dipanjang. Kemudian, dibersihkan satu persatu dengan air suci oleh pendeta yang memimpin upacara perayaan Saraswati, yang dimulai pada Jumat sore. Digambarkan, ketika air suci membasahi naskah, semua orang berharap dan berdoa bisa membaca naskah itu.

Soal penyalinan naskah lontar sudah dilakukan sejak lama, yaitu pada akhir abad 19 dan ditransliterasi di kertas pada tahun 1970 serta disalin kembali di lontar pada tahun 1990. Landsdkrukkerij in Batavia membantu membuat buku teksnya untuk efisiensi waktu dan biaya di terbitan Goverment Printing Office antara tahun 1902 dan 1916. Sedangkan versi bukunya dengan tulisan tangan berbahasa Bali telah dipublikasi sejak 1920.

Saat ini, Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali di Sanglah melakukan pelestarian lontar bekerjasama dengan IBM untuk men-scan dan mengubahnya menjadi tulisan tangan dengan transliterasi berbahasa Indonesia.

Pada abad 19, dilakukan pembatasan dalam kepemilikan naskah dan penjualan naskah lontar di Bali, di Karangasem, dan Lombok. Adalah Agung Gede Ngurah Karangasem di Lombok yang melarang penjualan dan penukaran naskah yang ditulis oleh pendeta (brahma).

Teks yang dilarang untuk diperjualbelikan antara lain Kidung, Kakawin, Agama, Sasana, Tutur, Wariga, Astadasaparwa, Brahmandapurana, Sarasamuscaya, Astakanda, Tattwa, Purwaka, Weda, Mantra, dan Swareka. Jika ada yang ingin memiliki teks-teks tersebut, maka harus menyalinnya dari pendeta golongan brahma dan membayarnya.

Hinzler menjelaskan, ada tiga golongan kasta tertinggi yang disebut triwangsa. Kasta ini memiliki hak atas kepemilikan pelbagai jenis teks lontar. Sedangkan, kasta yang tergolong rendah disebut jaba. Golongan jaba bisa memiliki naskah lontar berjenis kakawin dan kidung jika diberikan langsung oleh pendeta dari golongan brahma.

Jaba juga mempunyai hak kepemilikan atas naskah berisi teks-teks suci, seperti mawinten, mantra bebaturan, usada dan saha dengan ilustrasi (rerajahan). Selain itu, menerima teks untuk ritual, festival dan kremasi jenazah dari pendeta golongan brahma.

Tidak hanya pendeta brahma saja dari golongan triwangsa yang bisa memberi teks-teks terlarang kepada kasta rendah. Namun, jika jaba ingin tahu isi dari teks terlarang itu, mereka bisa berkunjung ke rumah kasta tertinggi dan mendengarkan pembacaan teks. Untuk kepemilikan naskah lainnya, Hinzler menyebutkan, dikoleksi dalam sebuah proyek Naskah Bali antara 1979-1992.

Dari 227 naskah berjenis kakawin dimiliki 203 di antaranya kaum brahma dan kalangan kerajaan. Hanya 24 naskah dimiliki oleh golongan kasta rendah dan 15 naskah menjadi koleksi seseorang yaitu Ni Ketut Menuh. Dia mendapat naskah tersebut dari ayahnya yang pernah menjadi penulis dan menjaganya.

Menurut Hinzler, tulisan teks yang digunakan dalam naskah lontar menggunakan bahasa Bali dan Jawa yang berasal dari India Selatan, yaitu aksara atau semi suku kata. Masing-masing suku kata merupakan kombinasi dari konsonan dan vokal a. Kedua suku kata akan bergabung bersama disebut gantung atau gempel. Contohnya dalam pertunjukan wayang kulit menggunakan dua alphabet yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, tulisannya Dewa Nagari dan Jawa Kuno.

Di Bali, alphabet khususnya aksara Jawa Kuno dan Dewa Nagari dianggap sakral. Artinya, aksara ini merupakan pemberian dari dewa kepada manusia. Dengan belajar aksara, maka manusia beribadah pada Dewa, menjaga stabilitas mikro, dan makro kosmos. Kemudian, alat tulis yang digunakan disebut pangutik atau pangrupak. Pisau kecil ini berukuran panjang 15 cm dan lebar 2 cm dengan ujungnya yang tajam. Biasanya, ada hiasan atau ornamen (Bali Utara). Tetapi, di daerah Karangasem ada gambar tokoh wayang yaitu Prabu Kresna.

Hinzler menerangkan, ada aturan khusus ukuran tulisan pada naskah. Tulisan yang tergolong tua atau pada abad 18 dan awal abad 19, hurufnya berukuran kecil, 2 milimeter (mm). Sejak tahun 1920, ukuran lebih besar 3 mm. Pada abad 16  dan 17, huruf kolofon berukuran besar 3 mm. Sesudah lembaran lontar ditulis dengan pisau kecil, selanjutnya dihitamkan agar bisa dibaca dengan kemiri, disebut tingkih, Aleurites moluccana. Kemiri dibakar dan dihancurkan. Kemudian dicampur dengan minyak yang disebut lengis dan dicampur dengan minyak kelapa. Setelah itu, dikeringkan dengan kain lap yang sedikit basah, berbahan katun disebut gamet.

Menurut Hinzler, naskah lontar dan masa depannya dalam sistem pendidikan di Indonesia, semakin maju dan modern, menjadi kebudayaan tradisional, kesusastraan dan bahasa lokal, yang diakui sebagai sebuah ilmu yang terus berkembang. Tetapi, ia menyayangkan, pemuda Indonesia sangat sedikit yang tertarik mengenai kesusastraan tradisional. Saat ini, pakar-pakar Kesusastraan Bali sudah berguguran. Begitu pula naskah-naskahnya sekarang banyak untuk keperluan pasar. Karenanya, perlu pendokumentasian agar tidak punah seperti dalam bentuk digital atau mikrofilm.

Hinzler, melihat berbagai aspek dan terperinci mengenai lontar. Ia menempatkan lontar sebagai hasil kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan sejarah kebudayaannya. Karenanya, menghasilkan bacaan yang menarik dan informatif. Di Bali, hingga saat ini, lontar dan teksnya masih menjadi acuan masyarakat.

Ageng Wuri Rezeki A

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 273
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 136
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya