Obituari

Malim Ghazali PK Berpulang di Tengah Tirani Sastra

| dilihat 1109

Sém Haésy

Saya memerlukan waktu beberapa hari untuk membuka ulang catatan dialog saya dengan Allahyarham Malim Ghazali, yang wafat 18 Juni 2020, malam.

Allahyarham Dr. Mohamed Ghazali Abdul Rashid, 71 alias Malim Ghozali PK yang tak mau mengenakan gelar akademiknya, itu lebih suka kesahajaan.

"Biarlah khalayak yang menempatkan di mana posisi kita dalam konstelasi kehidupan masyarakat, negara dan bangsa, daripada kita bersusah payah memburu posisi, itu," ujarnya suatu ketika dalam komunikasi personal.

Bundo Free Hearty - penggiat sastra yang tak pernah lelah menjalin silaturrahmi sastrawan serantau dan internasional -- 'mempertemukan' saya dengan allahyarham dalam suatu diskusi sastra serantau di Jakarta, Agustus 2019. (Baca: Berguru Pada Sejarah, Transformasi Elang)

Sebelum serangan nanomonster Covid-19, kami sempat berjanji jumpa di Kuala Lumpur, tapi tak sempat. Tetiba, saya beroleh kabar 'sang perantau budaya' yang kaya ilmu dan pengalaman, itu wafat.

Benar apa yang dikatakannya. Ketika wafat, tak hanya masyarakat sastrawan negara-negara serantau yang merasa kehilangan dirinya.

Yang di-Pertuan Agong Malaysia, Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah Ibni Almarhum Sultan Haji Ahmad Shah Al-Musta’in Billah, pun berduka.

Secara resmi, Raja Malaysia, itu menzahirkan rasa hati dan ucapan takziah kepada seluruh keluarga tokoh allahyarham.

Malim Ghozali PK, adalah sastrawan negara Malaysia, yang sebelumnya beroleh anugerah sebagai sastrawan negeri Perak. Sultan Abdullah, sebagai raja Malaysia, amat mengapresiasi allahyarham. Terutama karena pengabdian dan jasa-jasanya pada dunia sastra Melayu. 'Kepergian' allahyarham menuju Allah Maha Kreator Yang Mahaindah dan mencintai keindahan, adalah kehilangan bagi Malaysia. Apalagi, ketika sebagai negara, Malaysia sedang berada dalam dekade 'membaca' dan menggiatkan bahasa Melayu dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Allahyarham Malim Ghazali, sebagai sastrawan, memang mencatat banyak prestasi. Anugerah sastrawan Perak diterimanya (2014), setelah sebelumnya menerima Anugerah Penulisan Asia Tenggara (SEA Write Award) pada tahun 2013.

Karya-karyanya dinilai sebagai karya terbaik, termasuk Tree of Sorrow yang terpilih sebagai satu dari 160 novel terbaik dunia yang memperoleh anugerah International IMPAC Dublin Literary Awards.

Allahyarham pernah diundang membacakan puisi-puisinya di Prague (Republik Czech) dan memberi ceramah di berbagai negara, seperti Hannibal (Amerika Serikat), Paris (Perancis), Jakarta (Indonesia), dan lainnya.

Selain sebagai penerima hadiah sastra dari Mastera (Masyarakat Sastra Asia Tenggara), karya-karya allahyarham, juga banyak mendapat penghargaan di lingkungan domestik, seperti Hadiah Sastera Perdana Malaysia yang diraihnya beberapa kali. Termasuk tiga kali Hadiah Sastera Kumpulan Utusan untuk kategori utama, serta dan berbagai anugerah seni lainnya dari negeri Perak. 22 buku allahyarham, telah pula diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Inggris dan Bahasa China.

Pengembara budaya yang berpandangan kritis dan berani, ini dalam komunikasi dengan saya, mengemukakan berbagai pandangannya tentang perkembangan sastra di Malaysia dan Asia Tenggara.

Allahyarham senang dengan berbagai forum sastra serantau yang digagas Bundo Free Hearty. Karena melalui forum temu sastrawan serantau, itu menurutnya akan terjadi suatu gerakan kesadaran menempatkan kembali sastra sebagai bagian penting di tengah pusaran arus global yang cenderung kapitalistik.

"Sastra mesti menjadi jiwa di tengah arus perubahan cepat menuju tamaddun yang digerakkan oleh kemajuan teknologi informasi dan dunia digital," ungkapnya.

Saya tersanjung dengan apresiasinya terhadap berbagai pemikiran saya tentang sastra serantau, termasuk kaitannya dengan arus perubahan yang sedang dan bakal terjadi di Asia Tenggara, sebagai bagian dari proses perubahan dunia.

Terutama, ketika orientasi sosio ekonomi politik global dengan dinamika kemajuan teknologi informasi ditopang oleh digitalisasi kehidupan manusia sehari-hari sedang bergerak dari Amerika - Eropa ke Asia Pasifik.

Allahyarham, masih berpegang teguh pada prinsip, yang dikemukakan Buya Hamka (Lembaga Budi) : "Diribut runduklah padi/Dicupak datuk Temenggung/Hidup kalau tidak berbudi/Duduk tegak berdiri canggung//Tegak rumah karena sendi/Runtuh rumah karena binasa/Sendi bangsa ialah budi/Runtuh budi runtuhlah bangsa."  Suatu prinsip adat resam budaya Melayu di kawasan serantau.

Sastra dan budaya mesti memainkan peran, ketika politisi mudah hilang arah dan dapat menghela perkembangan bangsa ke arah lencong. Diterpa beliung tak usai sudah. Mulai dari rasuah karena kuatnya pragmatisme dan transaksionalisma politik, sampai dominasi politik di berbagai lapangan kehidupan.

Dalam perbincangan terpisah antara saya dengan allahyarham dan beberapa sahabat di Malaysia pada berbagai pertemuan, selalu mengemuka pemikiran tentang peran dan pengaruh karya sastrawan dan wartawan kepada negaranya. Terutama, ketika sama berpegang teguh secara konsisten terhadap peran strategis 'pencerdasan bangsa.'

Bagi saya, allahyarham merupakan sastrawan peselancar yang pandai membaca iklim dan irama gelombang. Agak berbeda dengan generasi sebelumnya yang berkutat dalam politik praktis, termasuk Shaharom Husain atau A. Samad Said, allahyarham mempunyai perspektif dan sikap berbeda dengan kebanyakan sastrawan Malaysia.

Kendati demikian, allahyarham Malim Ghazali banyak memainkan peran, melalui karya-karyanya yang memberi dampak pada kesadaran kebangkitan dan perasaan Melayu. Kadang memberikan kejenakaan gaya Moliere atau ironi gaya Voltaire, termasuk argumentasi dialog puitik (narasi liris) seperti yang juga diterapkan Eluard.

Allahyarham tercatat sebagai sastrawan Malaysia, setelah A. Samad Said, yang mampu menembus 'tirai' dunia sastra di China, lewat karyanya bertajuk Luka Nering.

September 2019, allahyarham Malim Ghozali PK menyampaikan kritik terhadap proses pemilihan Sasterawan Negara ke-14, yang dijulukinya sebagai 'samun di siang hari.' Allahyarham mengkritik pemilihan Prof Dr Siti Zainon Ismail sebagai penerima Anugerah Sastera Negara ke-14 yang dicemari campur tangan politik.

Kepada media setempat, allahyarham mengemukakan lugas, "Reaksi saya, samun di siang hari. Tentu sekali saya tidak dapat menerimanya." Kritik disampaikannya, karena dia menilai, dewan juri yang melakukan pemilihan telah ditambah dua orang yang "tidak punya kepakaran" dalam sastra.

Menurutnya, penambahan dua orang anggota Dewan Juri yang tidak menunjukkan kepakarannya, merupakan sesuatu yang ajaib. Allahyarham telah melihat kemungkinan terjadinya penyimpangan atas keputusan Dewan Juri sudah terlihat sejak Maret 2019, lalu menjadi kenyataan pada bulan Agustus 2019, ketika hasil pemilihan Sastrawan Negara itu diumumkan.  

"Kalau dah nampak nak kalah, ubah tiang gol itu biasa, tapi kalau sudah kalah, diarah main semula dan ditambah dua orang referee (pengadil) yang tiada kepakaran, ini luar biasa!," ungkapnya.

Saya suka dengan istilah allahyarham, "tirani sastera,' ketika dirinya mempersoalkan pencapaiannya dalam bidang sastera yang diabaikan dalam konteks pemilihan Sastrawan Negara.

Sebagai sastrawan yang 36 kali memenangkan hadiah dan anugerah sastra di dalam dan di luar negeri, allahyarham, merasa terzalimi oleh proses pemilihan yang bernuansa politis. "Sebagai calon yang paling tinggi pencapaian, di dalam dan di luar negara, saya melihat ini sebagai suatu tirani sastera, suatu penganiayaan sastera bentuk baru," ungkapnya.

Tirani sastra, menghambat jalan baginya untuk beroleh anugerah Sastrawan Negara, tanpa tahu alasannya. Allahyarham tidak kecewa dirinya tidak dipilih menjadi Sasterawan Negara ke-14, namun mempersoalkan cara Dewan Juri yang melakukan pemilihan. "Saya bukan tak boleh terima kekalahan tetapi cara keputusan itu dibuat," katanya kepada malaysiakini.

Yang jelas, allahyarham hilang kepercayaan dengan pemilihan tersebut dan akan membongkar hal sesungguhnya yang terjadi di sebalik keputusan anugerah tersebut. "Kita kena faham hak bukan mutlak sifatnya. Ia datang dengan tanggung jawab. Waima menteri sekali pun!" ungkapnya.

"Ketika aparatus sastera sudah dipolitik, dimanipulasi dan diselewengkan, saya sudah hilang kepercayaan terhadapnya sama sekali. Kita hendak mencari apa sebenarnya? Sasterawan Negara atau SNPB (Sasterawan Negara Pintu Belakang)? "Saya tercium bau tikus. Saya akan gali lubang tikus-tikus ini sampai ke dasarnya. Ingat, Allah melihat segala perbuatan jahat," katanya.

Pemilihan Sastrawan Negara ke 14 - 2019, memang banyak dipersoalkan, karena terlalu kuatnya campur tangan Kementerian Pendidikan masa pemerintahan Pakatan Harapan, yang tumbang, menyusul pengunduran diri Tun Dr. Mahathir Mohammad dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Malaysia.

Allahyarham berpulang dan nama harumnya, masih terasakan. Dan.. negara, melalui Yang Dipertuan Agong Malaysia, Sultan Abdullah, pun merasa kehilangan. |

Editor : Web Administrator | Sumber : malaysiakini
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1157
Rumput Tetangga
Selanjutnya