Melacak Naskah Jawa yang Terserak

| dilihat 3113

AKARPADINEWS.COM | PRODUK kebudayaan warisan leluhur berupa naskah, minim perhatian. Naskah-naskah itu diyakini berserak di masyarakat, tidak tercatat di katalog resmi di perpustakaan. Dan, banyak pula peneliti yang kesulitan membaca naskah-naskah tersebut. 

Adalah TE Behrend, peneliti filologi (ilmu pernaskahan), dalam artikelnya berjudul: Manuscripts Production in Nineteenth-Century  Java Codicology and The Writing of Javanese Literary History (1993), yang mendiskusikan mengenai masalah tersebut. Dia fokus menganalisis naskah-naskah berbahasa Jawa yang dikoleksi masyarakat di Indonesia dan Eropa. Di antaranya, naskah yang dibuat oleh Vreede (1892), Juynboll (1907-1911), Poerbatjaraka (1940), Poerbatjaraka, Voorhoeve, dan Hooykaas (1950), Poerbatjaraka (1952), dan Pigeaud (1967-1970).

Vreede dan Juynboll menggolongkan teks Jawa dan ceritanya. Sementara Poerbatjaraka dan Pigeud menghasilkan genre kesusastraan Jawa. Namun, sekitar 19 ribu naskah yang menarasikan ekologi, kepulauan, aspek sosial, politik, sejarah, dan sebagainya, tidak didukung ilustrasi sehingga menyulitkan identifikasi.

Behrend menjelaskan, tidak ada sarjana yang tahu tanggal yang tepat penulisan naskah itu. Masalah itu, dia mengutip hasil penelitian De Casparis (1975) yang menyimpulkan, karena terbatasnya inkripsi pada naskah sebelum periode Jawa Baru. Perhatian mengenai aksara pegon juga masih sedikit. Ahli paleografi atau tulisan kuno seperti Merle Ricklefs, Willem van der Molen, Kuntara Wiryamartana, dan Nancy Florida, juga tak banyak melakukan penelitian.

Pemikiran kodikologi masih sangat baru sebagai suatu sub disiplin ilmu. Sebenarnya, perhatian sarjana mengenai ilmu ini telah ada sejak 1870. Kala itu, daun pohon palem dan kulit pohon menjadi media tulis. Sementara di sisi lain, cabang filologi antara lain paleografi dan kodikologi telah berkembang sebagai studi di Indonesia sejak 1842. Banyak pencapaian yang dilakukan oleh ahli filologi Belanda untuk mengurai Jawa Kuno dan pengkatalogan naskah-naskah kesusastraan Jawa. Hal ini sangat membantu metode filologi dalam naskah-naskah Jawa.

Sedangkan, kodikologi, khususnya ilustrasi dalam kesusastraan Jawa, masih sangat jarang dan tidak terdata dengan baik. Ilustrasi di surat-surat Jawa, mulai berkembang sejak Islamisasi di Indonesia.

Dalam membaca naskah-naskah tersebut, digunakan pendekatan tekstual, yaitu korpus. Pengelompokan naskah (yang masih ada dan dilaporkan) atas dasar tempat dan tanggal penyalinan. Sekitar 19 ribu naskah menjadi koleksi publik, namun ada pula puluhan ribu dalam koleksi pribadi yang mungkin diperiksa, tetapi harus dipelajari lagi dan dikatalogkan sesuai tanggal penulisan, nama pengarang, dan penyalin.

Hal itu menjadi tugas besar yang belum selesai. Melokalisir tempat dan waktu penyalinan naskah-naskah Jawa adalah tugas yang sulit. Sedikit pula yang menyebutkan tempat dan nama penyalin secara rinci sehingga menyulitkan identifikasi. Bahkan, ketika informasi tersebut ditemukan dalam teks, tidak jarang mengandung inkonsistensi yang menimbulkan pertanyaan. Untuk sebagian besar naskah-naskah Jawa, kodikologi harus diandalkan untuk menemukan tempat dan kapan naskah disalin.

Kodikologi merupakan salah satu cara untuk mengetahui waktu naskah dibuat. Sementara karakteristik paleografi atau tulisannya, adalah petunjuk yang memudahkan untuk melakukan hal tersebut. Karena, tidak memerlukan pembacaan teks secara menyeluruh dalam mencari referensi tekstual.

Katalogisasi naskah Jawa yang terekam dalam kodikologi cukup mencemaskan. Apalagi, instrumen yang dibutuhkan untuk melakukan hal itu belum dirumuskan, meski banyak referensi yang disampaikan pakar filologi dan kodikologi terkemuka.

Behrend menilai, kodikologi dan paleografi merupakan sub disiplin ilmu yang terbaikan. Kodikologi secara ringkas dan akurat membahas naskah penelitian yang  mengambil studi kasus yang mudah diakses dari kolofon dan aspek-aspek naskah lainnya.

 

Patron atau Kiblat Kesusastraan

Dalam tulisannya, ia mendiskripsikan secara sederhana, dengan penelitian yang terbatas dan tidak lengkap, yaitu katalogisasi naskah yang dihasilkan selama abad ke-19. Kala itu, naskah Jawa yang diproduksi alasannya sangat beragam. Mayoritas disalin oleh orang yang tinggal di desa-desa kecil, yang termotivasi oleh keinginan pribadi dan lingkungan sosialnya.

Ada pula naskah yang dikoleksi ahli filologi lainnya, di bawah sistem patronase, yaitu seorang juru tulis yang ditugaskan dan diarahkan oleh orang lain. Ia mengatakan, setiap naskah yang muncul berbeda-beda dan dipengarui dorongan motivasi budaya yang berbeda pula.

Kelompok pertama terdiri dari naskah yang disalin sebagian besar dari tradisi kerajaan, yaitu tradisi di Jawa Tengah. Ide tentang kerajaan di Jawa mengalir dari sifat kosmik atau ilahi, otoritas kerajaan itu. Konstruksi atau penguasaan keraton, misalnya, adalah salah satu dari kondisi kerajaan, yaitu raja tidak dapat eksis tanpa sebuah istana. Seni pun menjadi contoh dari tindakan penguasa kerajaan. Musik, drama, dan sastra, karakteristiknya, harus melindunginya.

Kelompok kedua, naskah yang diciptakan di luar tradisi penulisan naskah, diproduksi atas perintah pemerintah atau penguasa, sebagai bagian dari industri kolonial. Dalam hal ini saya merujuk pada pabrik skala besar naskah yang diselenggarakan sarjana Belanda. Kelompok ketiga, terdiri dari naskah yang dihasilkan oleh individu, bertindak tanpa patronase terorganisir.

Behrend menjelaskan, naskah memiliki dimensi finansial. Penulis, baik penulis istana maupun dari lembaga penelitian Belanda. Keuntungan juga didapat dari para pengunjung. Pada abad ke-19, naskah-naskah Jawa diproduksi dengan maksud mencari keuntungan.

Setidaknya, ada dua jenis naskah yang menjadi sumber keuntungan, yang disalin untuk dijual di pasar. Biasanya, untuk kepentingan ilmiah dan disalin pemilik perpustakaan lokal untuk disewa. Sebagai contoh, salah satu naskah yang bertulis, “Punnika Serat Yusup hargi "25" rupiyah”.

Catatan tersebut menunjukan, pemilik naskah menjadikannya untuk mendapatkan keuntungan. Pigeaud, yang beroperasi di Yogyakarta selama tahun 1930 misalnya, menyediakan satu dokumentasi dengan baik mengenai contoh naskah-naskah untuk kepentingan penelitian dan bisa mempengaruhi lanskap sastra di sekitarnya.

Melalui agennya, M. Tanaya dan M. Sinu Mundisura, Pigeaud menerima teks mengenai wayang, ritual desa, dan legenda lokal. Tetapi, pada saat yang sama, mewakili keberangkatan dari tradisi mempertahankan informasi tentang topik-topik lisan. Naskah yang dikirim sering buru-buru dibuang. Ada pula yang disalin dalam bentuk kuarto, dengan tulisan yang cenderung besar, dan penggunaan ruang yang boros.

Behrend juga menemukan satu set naskah siap untuk dijual kepada para sarjana Eropa dari abad sebelumnya. Naskah tersebut terdiri delapan naskah dalam koleksi KBG, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, antara lain KBG 91 MénakCina, KBG 92 MénakMalébari, KBG 93 Aji Patnasa (dalam dua jilid), KBG 94 Sruti Kawi mawi Teges, KBG 95 Cabolek, KBG 96 Cariyos Gancaring Empu, dan KBG 97 Kawi Dasanama.

Enam dari naskah-naskah ini disalin oleh R Ng Ranggawarsita, yang lainnya di bawah pengawasannya. Naskah ini disusun sekitar tahun 1860-an. Ranggawarsita adalah pemilik naskah-naskah dengan ciri segel tinta oktagonal merah seperti di KBG 92 yang berisi legenda habdidalem pun Ngabehi roggawarsita dalam aksara Jawa. Jenis tulisan tangan di beberapa naskah, khas dari Ranggawarsita.

Menurut surat dari Residen Surakarta yang diajukan saat bestuursvergadering dari Genootschap Bataviaasch pada tanggal 5 April 1870, naskah-naskah dengan sejumlah buku cetak, dibeli dilelang di Surakarta pada tanggal 21 Februari 1870. Pembelian tersebut dilakukan atas nama pemerintah dengan JA Wilkens, para leksikografer terkenal dan taaiambtenaar.

Pada saat penjualan, Ranggawarsita bekerja untuk sarjana Belanda di Surakarta sekitar 30 tahun lamanya. Dia mulai bekerja pada tahun 1840, dengan honor bulanan ƒ 20 (Rp20). Tahun 1860-an adalah periode paling sulit dalam kehidupan Ranggawarsita. Kala itu, penyair diperkirakan telah berubah menjadi semacam freelancer penyalin untuk menambah penghasilannya. Meski permintaan tinggi, pasokan naskah sangat terbatas sehingga harganya cukup tinggi.

Behrend juga menjelaskan koleksi naskah dari Semarang di abad ke-19. Risalah dari pertemuan dewan Genootschap Bataviaasch untuk 19 September 1865 yang melaporkan bahwa JP de Bordes telah membuat pembelian awal tahun yang berasal dari tiga naskah, “Uit eene inlarulsche leesinrigting te Samarang”. 66 Naskah, yang berisi teks Menak Cina, Panji Déwakusuma Kembar, dan Babad Mataram. Dapat ditemukan di koleksi Perpustakaan Nasional kode KBG 18-20.

Pemilik dan penyalin naskah, Bagus Sarodin, Kampung Sekayu, yang juga dikenal dengan nama Kyahi Marjani, mengidentifikasi dirinya sebagai seorang mandor (rnandhor Bannon, KBG 18, 1.3) dan penyewa di properti Belanda (Magersari hirj wellonda, KBG 19, 1.3). Ia juga pembuat buku yang diproduksi khusus.

Behrend menyimpulkan, penemuan subdisiplin kodikologi dapat memberikan sesuatu berharga untuk studi sejarah teks. Dalam artikelnya, ia telah mengikuti garis-garis penalaran yang sama jika naskah tidak hanya berharga dan menarik, tetapi sangat diperlukan untuk mengungkap banyak hal dalam kesusastraan Jawa. Ia menyayangkan jika katalog naskah yang diakses publik, tidak memudahkan pelacakan tanggal, asal, kapan, dan siapa yang melakukan penyalinan.

Ageng Wuri RA

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 100
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 517
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 445
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya