Memahami Semesta dengan Nalar

| dilihat 3284

AKARPADINEWS.COM | DI atas panggung yang lapang, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, (10/11), Nirwan Ahmad Arsuka berpidato tentang kebudayaan. Dengan mengenakan setelan hitam dan sehelai syal tenun, dia berdiri tegap sendirian, di hadapan ratusan penonton.

Dia berbicara bukan menyerupai seorang tokoh. Namun, sebagai pribadi yang mencoba menguraikan pemikiran untuk memahami semesta. Setiap kalimat, dengan runut dan serius dibacakannya. Teks pidatonya yang berjuluk Percakapan Dengan Semesta, kaya akan nalar, disertai sumber yang kaya data.

Pemikiran lelaki kelahiran Sulawesi Selatan ini sangat rigid, terutama ketika menghubungkan semesta dengan manusia melalui sains (science) dan teknologi. Sepertinya, konstruksi logika pikiran Nirwan, tidak lepas dari perjalanan akademiknya di Universitas Gajah Mada, Yoyakarta, jurusan Teknik Nuklir, ditambah kiprahnya sebagai pengamat dan penulis di bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Nirwan memulai pidatonya dengan menggambarkan kilas balik masa lalu ketika Karaeng Pattingalloan, perdana menteri kerajaan Makassar, memesan sepasang bola dunia dan langit dari Eropa. Bola dunia yang dibuat Joan Blaeu, pembuat peta dan bola dunia paling hebat pada masa tersebut, sampai ke Makassar pada 13 Februari 1651.

Nirwan lalu mengurai sejarah dan tradisi, di tempat dirinya dilahirkan, tumbuh dan berkembang dengan identitas primordial. Dia terlihat menghayati masa lalu peradaban dan sejarah sukunya. Nirwan ingin menyiratkan jika pada masa tersebut , gairah nenek moyang pada ilmu pengetahuan yang berkembang, terutama pada diri Pattingalloang, sangat tinggi.

“Keterbukaan pada pengetahuan baru, yang berkaitan dengan kemampuan menghasilkan ciptaan akal budi yang memukau, memang bukan barang asing di Nusantara. Akarnya bisa ditelusuri sampai puluhan ribu tahun yang silam,” jelas mantan Director Freedom Institute itu.

Nirwan pun mencoba membuat kesimpulan atas ketertarikan manusia di Nusantara dan Patingalloang pada ilmu pengetahuan dengan melihat berbagai karya cipta para leluhur. Ilmu pengetahun menjadi sesuatu yang tertinggi dan paling intim dalam percakapan antara nalar dan semesta raya seisinya.

Hubungan percakapan antara manusia dan semesta telah hadir dan dibuktikan jauh di masa lalu, melalui leluhur untuk membantu mereka mengorientasikan diri dalam dunia dan memperbesar peluang untuk bertahan hidup.

Lalu, munculnya pengetahuan ilmiah, sains, dengan berbagai teori dan eksperimennya, tiada lain untuk memahami semesta. Namun, ilmu bisa saling meruntuhkan jika terdapat ilmu lain yang lebih menjelaskan sehingga semesta tetap meninggalkan misteri yang tidak sepenuhnya dipahami ilmu. Meskipun pada akhirnya, selalu terjadi proses dialektika antara ilmu pengetahuan manusia dan semesta.

“Jika alam semesta dan seisinya ini tidak bersedia dipahami oleh akal dari manusia, maka pengetahuan rasional menjadi sesuatu yang mustahil. Nyatanya, sains dan teknologi yang rasional itu telah tumbuh menjadi kekuatan paling dasyat dalam sejarah manusia, dan kian dahsyat ilmu dan teknologi, kian terbuka pula alam semesta membentangkan diri” tegas Nirwan.

Terdapat pula “atribut kedewaan” yang diciptakan manusia melalui ilmu pengetahuan, yang telah dilakukan leluhur pada masa lalu, di mana nalar manusia bisa mengangkat dirinya menjadi dewa.

Kemudian, seiring perkembangan dunia, penetrasi pandangan baru yang tak sesuai, bahkan berbahaya bagi pengetahuan yang diwarisi para leluhur. Di sisi lain, Jepang yang pernah menutup diri lantaran kalah perang, tumbuh menjadi negara kuat, sejajar dengan bangsa-bangsa Eropa yang telah membuka pintu dan menyerap sebanyak-banyaknya pengetahuan dari luar.

Sementara negara-negara di Timur Tengah yang diberkahi kekayaan minyak dan menjadi tempat para nabi dan agama disebarkan, tak berhasil menjadi salah satu pusat pengetahuan dan penciptaan teknologi, yang mempermudah hidup manusia dan mengangkat mutu kehidupan.

Dan, sumber yang lebih dalam adalah pada manusia sendiri, pada proses kognitifnya, karena otak manusia tidak sempurna. “Otak memang cenderung mencari kesimpulan yang menentramkan, tak perduli jika kesimpulan itu tak berdasar, dan ampuh hanya untuk mengecoh diri dan sesama,” kata Nirwan.

Prosesor biologis otak yang dibentuk dengan khazanah memori luar yang luas dan perbendaharaan informasi, akan membuat otak mampu menyingkap semua teka-teki ilmu tentang semesta.

“Menjadi manusia yang merangkul hidup, manusia yang menolak menerima mentah-mentah dunia dan semesta apa adanya, dan berusaha mewujudkan apa yang mungkin, seperti upaya orang di abad ke-17 yang memanjar bola langit yang belum pernah ada.”

Pemaparan Nirwan menyerupai pencapaian keselarasan antara Jagat Alit (manusia) dan Jagat Gede (semesta) dalam tradisi Nusantara atau makrokosmos dan mikrokosmos. Semua sifat semesta bersemai di jagat alit sehingga kita adalah miniatur dari jagat gede. Diri kita merupakan bagian terkecil dari semesta, sekaligus menjadi inti. Dan, di kehidupan ini, kita berusaha memahami dan berupaya harmoni dengannya melalui nalar, ilmu, dan spiritual seperti yang dijelaskan Nirwan.  

Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan program tahunan DKJ bersama Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Tradisi ini diselenggarakan sejak tahun 1989 dengan mengundang sejumlah tokoh nasional untuk mengupas persoalan penting dan aktual dengan pemikiran-pemikiran yang jernih dari prespektif kebudayaan.

Sebelum Nirwan membacakan pidatonya, disajikan beberapa repertoar musik yang berkaitan erat dengan tema semesta. Lagu Inter Stellan Medium, Paradox dan Hydrostatic Equilibrium, disuguhkan dengan dentingan piano, biola, drum, dan berbagai instrumen musik klasik lainnya.

Penampilan Aksan Sjuman, Budi Utomo Prabowo, Aisha Sudiarso Pletcher, dan Anusirwan sebagai dari Komite Musik DKJ bekerjasama dengan para musisi muda menghasilkan bunyi yang membangun atmosfer imajinasi tentang dunia yang lebih luas.

Komposisi musiknya serupa bermain-main dengan kesakitan, dengan bunyi yang halus dan menyayat. Di salah satu lagu, mereka bermain dengan Slamet Abdul Sjukur (Alm) maestro musik kontemporer melalui layar visual yang dipancarkan. Cukup mengharukan karena penonton disuguhi penampilan lintas ruang dan dimensi, di mana yang pergi akan tetap hidup, selama karyanya didokumentasikan dan dieksplorasi oleh generasi selanjutnya.

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 220
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 435
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 432
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 402
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 119
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 254
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 274
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya