Mencuci Piring Melatih Pikiran

| dilihat 1151

Bang Sém

Salah satu hal sederhana yang tak bisa saya dan delapan saudara saya hindari sejak kecil adalah mencuci piring masing-masing sehabis makan.

Meski di rumah ada pembantu rumah, kewajiban mencuci piring setelah makan, harus tetap dilakoni.

Kecuali tangan sedang terluka atau sedang sakit, tak seorang pun di antara kami yang bisa membebaskan diri dari kewajiban yang lantas menjadi kebiasaan ini.  

Hanya ada satu orang di dalam rumah yang terbebas dari kewajiban mencuci piring, yakni ayah. Ibu sendiri yang mencuci piring makan ayah, karena perangkat makan (piring, gelas, sendok, dan garpu)

Orang tua kami tidak membiasakan atau memberi peluang anak-anaknya untuk beralasan dalam menghadapi sesuatu. Kalau kami menemukan jalan buntu untuk mendapatkan cara, keduanya (terutama ibu) akan memberikan nasihat berisi solusi. Keduanya tak memberi toleransi untuk suatu alasan.

Sebagai anak tengah, saya sangat beruntung. Di satu sisi saya bisa menyimak dan mengambil 'pelajaran' bagaimana mengatasi sesuatu masalah, dari interaksi ibu dengan kakak-kakak. Di sisi lain, saya mengingatkan diri saya dan adik-adik untuk tidak melakukan hal yang dianggap keliru dari kakak-kakak.

Suatu ketika, kakak tertua (allahyarhamah) protes dan mempertanyakan, mengapa masih harus mencuci piring sehabis makan, padahal di rumah ada pembantu rumah.

Ibu menjelaskan, mencuci piring tidak masuk dalam tugas dan kewajiban pembantu rumah, karena banyak hal mestinya menjadi tugas dan kewajiban kami, sudah menjadi tugas dan kewajiban pembantu. Terutama mencuci pakaian dan menseterika pakaian, walaupun kami harus bisa melakukannya lebih baik dari yang dilakukan pembantu.

Mencuci piring itu sangat personal dan mengandung banyak makna.

"Mencuci piring itu melatih kamu berfikir, bersikap dan bertindak untuk mengembalikan wadah makanmu, dari bersih kembali bersih. Mencuci piring juga melatih kamu untuk tidak meninggalkan sisa makanan, apalagi nasi, sehingga kamu terhindar dari sikap mubazir, sekaligus bisa menakar sesuatu sesuai dengan keperluanmu, bukan sesuai kemauanmu," jelas ibu.

Ketika belia, ibu menjelaskan kepada saya dan adik-adik, mencuci piring menjadi tugas dan kewajiban, supaya kami paham, bagaimana melatih diri untuk disiplin. Khasnya terkait dengan thaharah, kebersihan.  Tak terkecuali, disiplin dalam memungkas sesuatu dalam keseluruhan konteks 'budaya makan,' mulai dari melatih diri untuk tidak terpedaya oleh gangguan psikologis "lapar mata," juga untuk melatih diri melakukan dialektika dengan diri sendiri.

Kebiasaan mencuci piring itu terus menjadi bagian hidup saya hingga kini, ketika relatif 'hidup sendiri.'

Saya teringat pada Thich Nhat Hanh, seorang bhikku, sekaligus intelektual, penyair, dan tokoh Buddha Zen dari Vietnam: Dia aktif menentang perang di Vietnam. Martin Luther King, Jr., tokoh hak asasi manusia Amerika Serikat, penerima hadiah Nobel Perdamaian Dunia, mengusulkan agar Hanh juga diberikan penghargaan yang sama dengannya.

Hanh menulis A Guide to Walking Meditation, Being Peace, Peace Is Every Step, The Path of Mindfulness in Everyday Life. Ia bermukim di Plum, sebuah desa tempat Komunitas kecil Buddha Vietnam kecil, di barat daya Prancis.

Di situ Hanh mengajarkan pengikutnya meditasi yang memiliki efek penyembuhan, dengan membantu orang melepaskan penderitaan sejarah dan menanam benih kedamaian. Dia juga menulis The Miracle of Mindfulness, A Manual on Meditation.

Di bukunya, itu Hanh menceritakan pengalamannya selama beberapa dekade, ketika masih pemula di Pagoda Tu Hieu. Di Pagoda, itu salah satu tugas dan kewajiban yang harus dijalaninya adalah mencuci piring.

Mencuci piring, menurut Hanh, bukanlah tugas yang menyenangkan. Selama Musim Retret ketika semua bhikkhu kembali ke vihara, dua samanera harus memasak dan mencuci piring untuk (kadang-kadang lebih dari seratus bhikkhu). Tidak ada sabun. Hanya ada abu, sekam padi, dan sabut kelapa.

Membersihkan tumpukan mangkuk yang tinggi adalah pekerjaan rumah, terutama selama musim dingin ketika air sangat dingin. Sebelum mencuci piring, harus memanaskan dulu air sepanci besar air.

Beda dengan kehidupan kini, ketika seseorang berdiri dengan nyaman di tempat mencuci piring yang dilengkapi dengan sabun cair, scrubpads khusus, dan bahkan air panas mengalir yang membuatnya semakin nyaman.

Saat mencuci piring, kata Hanh, seseorang hanya harus mencuci piring, dan harus benar-benar menyadari fakta bahwa dia sedang mencuci piring. Sekilas, hal itu mungkin tampak konyol.

Saya punya kebiasaan mirip dengan kebiasaan Hanh, ketika mencuci piring, gerak tangan yang membersihkan seluruh piring (termasuk mangkuk dan gelas) mengikuti irama nafas. Terutama untuk menghindari rasa tak nyaman di punggung dan tulang belakang.

Saat mencuci piring itu juga, saya melatih diri seperti yang dianjurkan Hanh, menyadari sedang membersihkan wadah yang baru kita pergunakan untuk makan, menyatukan nalar, naluri, dan rasa yang menggerakkan dria. Fokus. Bahkan, seringkali sambil bersenandung.

Sesudah mencuci piring, Hans menjerang air dan membuat teh. Saya menjerang air dan membuat kopi, bergantung waktunya. Usai mencuci piring selepas sarapan, saya memasak kopi robusta, yang saya perlukan untuk menguatkan energi saya untuk bekerja sampai petang. Pada petang hari,  saya memasak kopi arabica. Begitu cara saya melatih diri, memelihara rasa nyaman dan sukacita, yang saya yakini memperkuat imunitas diri menghadapi bakteri atau virus, termasuk nanomonster Covid-19.

Allahyarhamah ibu saya melatih mencuci piring untuk mendisiplinkan diri dalam konteks thaharah dan tanggungjawab personal sebagai refleksi rasa syukur (mensyukuri nikmat makan). Caranya adalah menggosokkan pembersih, sehingga piring terjamin bersih, lalu memasukkannya ke dalam air panas yang sudah suam.

Hanh mempunyai cara lain, mengalirkan kesenangan mencuci piring sebagai motivasi : "mencuci piring untuk menikmati prosesnya."  Motivasi ini perlu, supaya kita tidak melakukannya karena terpaksa atau tergesa-gesa yang bisa memungkinkan piring lepas dari tangan, jatuh ke lantai dan pecah. Tidak juga terganggu oleh cangkir kotor yang menanti giliran untuk dicuci setelah piring, sendok, garpu, dan pisau.

Faktanya kita sama sekali tidak mampu mewujudkan keajaiban hidup sambil berdiri di wastafel. Jika kita tidak bisa mencuci piring, kemungkinan kita juga tidak bisa minum teh. Sementara dari hal lain, nyaris tak sadar dengan cangkir di tangan kita. Jadi, kita terseret ke masa depan - dan kita tidak mampu untuk benar-benar menjalani satu menit kehidupan.

Dari apa yang saya lakukan selama ini, saya merasakan, bahwa mencuci piring dengan penuh perhatian, menenangkan pikiran dan mengurangi stres, suatu studi baru menunjukkan. Persis seperti studi mutakhir yang dilakukan mahasiswa doktoral Florida State University, Amerika Serikat.. |

 

Editor : Web Administrator | Sumber : The Miracle of Mindfulness (Thich Nhat Hanh)
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 432
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 431
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Energi & Tambang