Sastra Betawi Abad ke-19

Menggali Jejak Karya Sastra Klasik Betawi

| dilihat 3716
 
JAKARTA, AKARPADINEWS.COM | Pada abad ke-19 bermunculan karya sastra yang digubah oleh pengarang Betawi dalam bentuk manuskrip. Berbekal ilmu dari pengalaman menyalin dan menyadur manuskrip, para juru kisah menjelma menjadi pembuat cerita dan hikayat.  
 
Pecenongan. Seringkali khalayak mengaitkan kawasan itu dengan wisata kuliner. Tak heran, sejak tahun 1970-an kawasan Pecenongan di Jakarta Pusat telah berkembang menjadi episentrum pasar malam yang berjejal sajian kuliner. 
 
Apakah hanya kuliner yang erat melekat di kawasan Pecenongan?
 
Bila kita menjelajah kawasan itu di abad ke-19, di salah satu lokasi, tepatnya Gang Langgar Tinggi, terdapat taman bacaan rakyat atau perpustakaan yag dikelola oleh seorang penyalin naskah (manuskrip) juga pengarang cerita, bernama Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli. 
 
Dari tempat itu lahir beberapa karya sastra Betawi klasik dalam jumlah cukup besar yang dikarang oleh Muhammad Bakir. Koleksi manuskrip itu dikenal dengan sebutan Naskah Pecenongan.  
 
Dari 70 judul manuskrip yang merupakan koleksi taman bacaannya, terdapat 28 judul yang merupakan hasil tulisan Muhammad Bakir. 
 
Beragam genre sastra yang dihasilkan. “Mulai dari Hikayat bercorak Islam, seperti Hikayat Nabi Bercukur; Hikayat yang mendapat pengaruh Hindu dan Islam sekaligus atau Hikayat zaman peralihan, seperti Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak; Lakon wayang dengan judul Wayang Arjuna; Syair seperti Syair Buah-buahan; dan Cerita Panji layaknya Panji Semirang,” imbuh Dewaki Kramadibrata, penyusun Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan Nasional yang juga pengajar pada Program Studi Sastra Indonesia FIB UI.
 
 
Kegiatan kepengarangan kala itu, berkembang dari tradisi penyalinan manuskrip yang tumbuh subur di wilayah Batavia abad ke-19. Kegiatan besar penyalinan terjadi di kantor Algemeene Secretarie, oleh para penyalin,seperti Cing Saidullah, Abdul Hakim, Muhammad Sulaiman, dan Muhammad Hasan bin Haji Abdul Azis. Mereka juga menyalin dan mengarang cerita untuk disewakan kepada pembaca di taman-taman bacaan.
 
Beberapa tempat, seperti Krukut, Pekojan, Kampung Bali Perapatan, dan Kampung Jawa, tercatat merupakan lokasi penyewaan naskah. Namun, Pecenongan adalah lokasi yang istimewa.   
 
Kawasan Pecenongan sangat penting bagi kegiatan kepengarangan kala itu, sebab menurut Dewaki kepada Akarpadinews, “Sangat jelas bahwa wilayah itu sangat aktif. Sekurang-kurangnya, terdapat tiga orang pengarang lainya, seperti Untung bin Akir yang menulis Hikayat Marakarma, Kirman dengan Hikayat Pandawa Lima, dan Ence Musa.”
 
Karya yang dihasilkan kemudian disewakan kepada pembaca yang datang ke taman bacaannya. Semua naskah M. Bakir ditulis dalam huruf Arab-Melayu. “Karya-karya itu, walaupun banyak berkisah tentang cerita Islam, namun sangat digemari oleh para pembaca Tionghoa. Mereka menyewanya untuk dibawa pulang, dengan harga sewa sebesar sepuluh sen perharinya,” tambah Dewaki.  
 
Pada catatan akhir dalam naskahnya, M. Bakir kerap menyertai serpihan keterangan tentang dirinya diikuti tanggal dan tahun penyelesaian tuisannya, tanda tangan, serta menyurat secara tegas “Betawi” sebagai wilayah kesusastraannya. 
 
Nama-nama besar pengarang Betawi di abad-19 seakan menguap di langit Jakarta. Bertambah gersang, sebab setelah generasi pengarang Betawi sekelas M. Balfas, S.M. Ardan, dan Firman Muntaco, tak nampak gaunganya muncul pengarang besar Betawi di masa kini. | Dirga Adinata.
Editor : Nur Baety Rofiq
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 519
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1608
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1392
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 224
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 320
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya