Melihat Fakta Brutal Realitas Sosial

Mengingat Wasiat Sunan Gunung Djati

| dilihat 1024

Bang Sém

Melihat berbagai fakta brutal dalam realitas kehidupan sosial bangsa ini sejak dua dekade terakhir, tiba-tiba terbayang sosok Sunan Gunung Djati.

Ketika menjelang belia, setiap akhir tahun, Aba -- panggilan saya untuk ayah -- selalu mengajak ziarah ke makam Sunan Gunung Djati, di desa Astana, di luar kota Ceribon.

Menuju ke makamnya, mesti meniti jalan setapak ( beberapa waktu kemudian dibuatkan anak tangga) yang mendaki di antara 500 makam. Aba menyebutnya Maulana Syarief Nurullah  atau Maulana Syarief Hidayatullah.

Selepas itu, baru kami salat di Masjid Sang Cipta Rasa di kawasan Kraton Kasepuhan Ceribon. Lantas, sambil mengunjungi famili di Sumber dan Ciledug, Aba antusias berkisah.

Tak hanya ihwal usia Sunan Gunung Djati yang mencapai 120 tahun, sejak kelahirannya pada tahun 1448. Pun, tak hanya ihwal Putri Ong Tien Nio atau Nyi Ratu Rara Semanding, putri Kaiar4 Hong Gie dari Tiongkok.

Yang justeru menarik perhatian saya adalah berbagai wasiat, nasihat, dan larangan -- yang kemudian dikenal sebagai Wewekas dan Ipat-Ipat yang pola tuturnya mirip dengan mahfudzat.

Tuturan itu memiliki nilai hidup yang membentuk kebiasaan dan kemudian kita pahami sebagai kultur, alias budaya. Belakangan hari, ketika putera kedua saya sering melakukan penelitian filologi atas Wéwékas dan Ipat-ipat, saya tertarik lagi untuk mengulang kaji esensi wasiat dan peringatan tersebut. Bahkan, acap mengikuti pengajian keluarga di Banten, beberapa anggota keluarga lain membahasnya.

Ada tradisi dalam keluarga, setiap di antara kami ada yang beroleh amanah mengemban sesuatu tugas atau fungsi sosial, Wéwékas dan Ipat-ipat selalu dibacakan dengan dengan menggunakan irama. Berlanggam. Lalu kami mengucapkan kepadanya 'inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.' 

Berbagai fenomena sosial berupa yang banyak merusak tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, mulai dari korupsi sampai tindak kekerasan, merujuk pada wasiat dan larangan Sunan Gunung Djati, bermula dari ketidak-mampuan manusia mengelola dirinya.

Khasnya dalam mengelola keseimbangan jasmani - rohani, material - spiritual, laku - akhlaq, pun dalam mengelola harmonitas nalar - naluri - rasa, sehingga dimensi artistika - estetika - etika tak terintegrasi dalam harmoni hidup. Tak menyambungkan ujung dengan pangkal, melemahkan sendi yang mestinya mempertemukan saka dengan sisi.

Korupsi dan aksi kekerasan yang saya tilik kali ini, bermula dari lemahnya kesadaran untuk mempertemukan tutur dengan kultur dalam catursukma, dialektika batin yang membentuk dhamir masyarakat - prise de conscience personnelle et sociale atau personal and social awareness.

Akibatnya terjadilah kedangkalan dalam memanifestasikan simpati, empati, apresiasi, dan respek dalam realitas hidup sehari-hari. Hal itu tampak dalam dua peristiwa mutakhir, yakni korupsi dana bantuan sosial bagi rakyat yang terdampak pandemi nanomonster Covid-19 dan malam berdarah di Jalan Tol Jakarta Cikampek.

Realitas insaniah manusia sebagai sesempurna makhluk kehilangan dimensinya secara asasi, yakni relasi manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan.

Korupsi bantuan sosial adalah fakta brutal ketika dihampiri dengan wasiat Sunan Gunung Djati : Ingsun titipna tajug lan fakir miskin, aku titip tajug dan fakir miskin. Spiritualitas dan realitas kemiskinan -- khasnya kemiskinan struktural. Hak mereka, harus didahulukan, Kenana ing hajate wong.

Pada keseluruhan tindak pidana korupsi, hilang makna dan dimensi manah den syukur ing Allah - sikap qana'ah, yang memungkinkan manusia -- siapa saja -- merasa cukup dalam hidup, tidak serakah, loba, tamak. Mampu mengendalikan hawa nafsu, Den bisa megeng ing nafsu.

Kemampuan mengelola hawa nafsu, termasuk mengendalikan syahwat politik, akan mencegah diri untuk tidak serakah dan berangasan dalam menjalankan hidup, Amapesa ing bina batan, serta menyadari hanya mencari dan mendapatkan rejeki yang halal dan baik, Ngoletena rejeki sing halal.

Setarikan nafas, menyadari secara spiritual dan imani, bahwa perilaku hidup manusia tak pernah lepas dari pengamatan Ilahi, dan lekas berkesadaran untuk bertobat.

Bagi petinggi atau mereka yang mengemban amanah, memangku jabatan apapun, berlaku nasihat Sunan Gunung Djati, "Kudu ngahekaken pertobat," memperbanyak tobat.   

Karenanya untuk para pelaku rasuah (korupsi), sesuai dengan bukti yang sah dan meyakinkan, berlaku prinsip, pemboraban kang ora patut anulungi, (yang salah tidak usah ditolong). Berlakukan hukum secara adil dan memberikan efek jera.

Sunan Gunung Djati mewanti-wanti, singkirna sifat kanden wanci, duwehna sifat kang wanti (jauhi sifat buruk, miliki sifat yang baik).

Karenanya dalam proses interaksi sosial dan politik, banyak hal harus dilakukan, Sunan Gunung Djati menasihati, jangan suka menghina orang, Aja ilok ngijek rarohi ing wong. Mulai dari Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka menista, membuli, dan menebar hoax - sesuatu yang belum terbukti kebenarannya). Dan, Aja ilok gawe bobat (jangan suka berdusta), serta mengagungkan diri sendiri,  Aja ngagungaken ing salira. Pun, jangan pongah, jumawa, sombong, apalagi takabbur, Aja ujub ria suma takabur

Dalam interaksi sosial bermasyarakat, harus mau dan mampu melakukan Angadahna ing perpadu (jauhi friksi, konflik dan pertengkaran). Caranya? Jangan suka menyakiti orang, Aja ilok gawe lara ati ing wong. Kalau tersakiti? Hadapi dengan cinta, bukan dengan aniaya, Ake lara ati, namung saking duriat. Tidak dendam, Aja duwe ati ngunek. Landasannya adalah, Den welas asih ing sapapada - senantiasa mengasihi dan menyayangi antar sesama.

Sunan Gunung Djati menasihat para dzurriatnya untuk selalu memiliki kemauan dan kemampuan melakukan introspeksi diri (Angasana diri), hidup proporsional sehingga mampu memelihara kualitas kesehatan diri secara jasmani dan ruhani.

Gaya hidup sehat secara proporsional, personal, dan sosial ini, tercemin dalam nasihat dan larangannya: Aja dahar yen durung ngeli, hindari makan sebelum lapar ; Aja nginum yen durung ngelok, hindari minum sebelum haus ; Yen kaya den luhur (kala kaya jadilah dermawan; Tepo saliro den adol, mampu bertenggang rasa; bersikap ikhlas, dedikatif, dan hanya bergantung kepada Allah saja, Aja akeh kang den pamrih; serta mampu mengelola rasa merayakan hidup gembira kala bersedih, Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur.

Salah satu nasihat yang paling sering teringat, adalah kemauan dan kemampuan bersikap saling memuliakan dalam mengelola silturrahmi dan networking dengan Gegunem sifat kang pinuji, memiliki sikap terpuji. |

 

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya