Menikmati Instalasi Bambu Avianto di Pusar Jakarta

| dilihat 2518

Bang Sém

 

siang dan malam

gerak irama bambu

pusar jakarta

Teshigahara Hiroshi, master perupa berbahan dasar bambu, suatu ketika menasihati muridnya, Tetsunori Kawana yang tinggal di Tokyo dan New York.

Hiroshi memandu Kawana, menemukan penggunaan baru untuk bambu sebagai media seni rupa. Dan,  sebagai seniman instalasi, Kawana menggunakan bambu sebagai media, membawa bambu di luar penggunaan sehari-hari utilitarian ke tingkat seni di mana ia memberi orang pengalaman baru.

Masyarakat dunia, setidaknya di Jepang dan Amerika Serikat mengapresiasi karya instalasi (sclupture)-nya yang artistik dan estetik. Mereka menyerap dengan keseimbangan nalar dan nurani melahirkan persepsi dan asumi positif, membuang presumsi negatif lantaran hati yang kumuh.

Lantas, nadi alam yang dikemas Kawana -- dengan bantuan banyak relawan merampungkan karyanya -- meresonansikan suara detak jantung bumi dalam kreasinya.

Kawana yang karya sclupture-nya dipengaruhi oleh penguasaan ikebana, seni merangkai bunga Jepang, itu pun menemukan kualitas yang berbeda di berbagai bagian bambu dan mengolahnya dengan sentuhan manusia.

Bambu sangat penting dalam budaya Jepang. Orang Jepang melakukan banyak hal untuk kehidupan mereka dari bambu, tetapi juga memiliki koneksi spiritual yang mendalam.

Kawana mengemukakan, dalam pekerjaannya, dia menggunakan bambu hijau yang baru dipotong. "Saya harus menghormati bambu ini, karena memiliki kehidupan, energi, dan keindahannya sendiri. Saya tidak bisa mengendalikannya seluruhnya. Saya harus berkomunikasi dengan bambu untuk membuatnya berhasil. Saya harus mengekstrak energi dan keindahan bambu dan memberinya kehidupan baru dalam ciptaan saya, semacam "reinkarnasi" untuk bambu," kata Kawana.

Dan, ini pesannya : "Hargai setiap pertemuan, karena itu tidak akan pernah terjadi lagi." Inilah cara Kawana memahami "koneksi." Dia menyadari, pekerjaannya  fana. Itu hanya berlangsung untuk waktu yang singkat, tetapi dia berharap bahwa "menghubungkan dengan pekerjaan saya akan menjadi kenangan yang bertahan selamanya."

Kawana dapat mengatakan demikian, karena dia hidup di lingkungan masyarakat yang tak hanya telah pernah belajar di lembaga pendidikan, melainkan cendekia. Masyarakat berakalbudi yang paham bagaimana merespon kepedulian, kesungguhan, simpati, empati, apresiasi, dan respek berbuah cinta.

Seorang pemuda Indonesia asal Cimahi dan berdomisili di Bandung, Joko Avianto membuat karya sclupture dari bambu dan sesanding dengan karya Kawana. Anak muda itu, menggunakan jenis bambu apus, salah satu jenis bambu yang tumbuh di tatar Sunda. Joko memboyong 1600 batang bambu Indonesia dan menjalinnya menjadi karya sclupture luar biasa

Dia datang ke negerinya Kawana, Jepang untuk Yokohama Triennale 2017, bertema "Islands, Constellations & Galapagos." Joko membawa karyanya yang untuk pertama kali di pamerkan di Jepang.

Sebelumnya, Avianto telah mengundang decak ketika memamerkan karya-karya monumentalnya, 'menenun bamb,' seperti dalam karyanya Pohon Besar (pohon besar) pada pameran seni kontemporer Indonesia di Frankfurter Kunstverein (2015). Karya jalinan bambunya, membungkus fasad museum yang sohor itu.

Di Yokohama Triennale 2017 Avianto membuat koneksi visual dan simbolis antara karya-karyanya sendiri dan shimenawa, tali kepang Jepang kuno yang sering digantung di pintu gerbang kuil Shinto (torii), membatasi garis sakral dan profan, atau yang ideal dan sekuler.

Avianto menangkap shimenawa sama dengan awan yang mengelilingi Gunung Semeru, nama gunung tertinggi di pulau Jawa yang diperlakukan sebagai pusat kosmologi Buddhis. Awan melambangkan batas antara bumi dan surga, sangat mirip dengan shimenawa. Dengan ketangkasan estetik dia menggunakan pola shimenawa di aula masuk Museum Seni Yokohama yang membentang selebar 13 meter, untuk membuat perbatasan yang menjulang tinggi di pintu masuk museum.

Kala pengunjung memasuki museum, karya Avianto memberi isyarat kepada pengunjung untuk masuk tanpa izin ke perbatasan, dan pindah dari sini ke sana, secara harfiah menghubungkan dua dunia yang berseberangan. Avianto menawarkan kemerdekaan di tengah semesta.

Avianto, seperti Kawana, tidak bekerja sendiri. Ia memboyong pekerja seni dari Bandung untuk dua jenis bambu yang dibawa dari Jawa Barat, berbentuk kriting, dengan membangun pangkalan lebih dulu, sebelum menenun bambu berlapis-lapis.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengapresiasi kerja kreatif Avianto yang mendunia, anak muda Indonesia yang 'bukan berudu dalam kapurung,' tidak juga 'katak dalam tempurung kaca,' yang hanya pandai mencaci dan mencerca. Avianto kreatif dengan daya imajinasi yang hanya bisa direnangi artistika dan estetikanya hanya oleh mereka yang bersih hati. Jauh dari dendam kesumat dan kebuntuan (kejumudan) berpikir dan mengelola rasa.

Anies menantang Avianto membuat karya untuk dipasang permanen di ruang terbuka, di pusar Jakarta, bundaran Hotel Indonesia. Dan, Avianto melakukannya. Maka terwujudlah sclupture bambu artistik bertajuk "Getih Getah," dengan konsep jalinan kepang yang mempertemukan nalar dan naluri, laksana getih dan getah dalam pertemuan 'gerak' sebagai cara mewujudkan harmoni. Memadu padan kemajuan kota dan kebahagiaan warga. Keren.

Gubernur Anies Baswedan yang sungguh good bener, meresmikannya, Kamis (16/8/2018) sehari sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan berpadan tanggungjawab ( liberté d'expression et de responsabilité ). Bukan liberalisasi. "Getih Getah' juga merupakan ekspresi pengorbanan yang merekatkan spirit kebersatuan dan kebersamaan sebagai esensi dari bhinneka tunggal ika secara kontekstual. Dan bambu mewawar dimensi Indonesia, pituin - mukimin, sekaligus karib dengan budaya kaum Betawi yang lentur dalam keteguhan, kosmopolit dan egaliter.

Anies berpesan sederhana, "Bikin kami orang Indonesia bangga dengan bambu Indonesia, hari ini kita merasa bangga dengan bambu Indonesia itu." Paling tidak, selama  6 hingga 12 bulan, sesuai daya tahan material bambu. Sekaligus mengisyaratkan kemungkinan baru ihwal daur ulang, lantaran bambu biodegradable, yang otomatis mudah didaur ulang oleh alam,"

Lewat 'Getih, Getah' perupa instalasi ini, tak sedang mengekspresikan perbatasan antara yang baik dan yang jahat sangat keriting, untuk mengubah pemahaman tentang fuzzy - kekaburan batas antara yang baik dan yang jahat. Melainkan kriting, frizzy. Karena yang jahat dan yang baik terlepas dari kepang kebangsaan, dan menjadi kriting.  

Bagi Indonesia, bambu amat populer di Indonesia, sebagai bahan yang digunakan sebagai material rumah dan kebutuhan hidup sehari-hari karena kelembutan, kekakuan, dan daya tahannya. Karya instalasi berbahan bambu, pada masa tertentu bisa menjadi medium untuk menguji bagaimana kritingnya pemikiran orang jahat, lantaran terbatasnya kemampuan mengharmoni nalar, naluri, rasa dan dria. Tentu memerlukan waktu untuk meluruskannya.

Lewat "Getih, Getah" -- ini menariknya - Avianto mengintervensi ruang publik dan menyerap berbagai sikap dan pandangan, lantas sclupture bambu yang berhadapan dengan patung Tugu Selamat Datang berlatar Hotel Mandarin dan Hotel Indonesia, pun banjaran gedung jangkung sepanjang Jalan Sudirman sampai Patung Pemuda di Senayan.

Seorang yang boleh jadi picik, memotret karya sclupture bambu 'Getih,Getah' dari salah satu gedung jangkung dengan presumsi yang terlahir dari fantasi mesum, seolah-olah karya instalasi itu merefleksikan kemesuman hati, pikiran, dan lakunya. Paduan birahi dan syahwat.

Lantas menyebarlah presumsi yang terlahir dari hasad dan hasud itu lewat media sosial. Tentu dengan bumbu politicking. Tujuannya, menyerang Anies sebagai Gubernur Jakarta, dengan sisa-sisa kerak kepecundangan berupa caci dan cerca. 'Getih,Getah' itu pun viral dengan presumsi buhtan di tengah zaman fithan, akibat keterbatasan nalar dan kemiskinan nurani.

Avianto lewat 'Getih,Getah' berhasil tak hanya menyemai dan menghidupkan kebanggaan melihat karya kreatif perupa Indonesia berkaliber dunia. Pun menjadi cermin, untuk mengelola keseimbangan nalar, naluri, rasa, dan dria dalam suatu jalinan sikap saling asah (demokratisasi yang mendewasakan), saling asuh (edukasi yang mendorong persepsi positif), dan saling asih (apresiasi yang menghidupkan respek) sebagai cara mewujudkan harmoni.

Saya menikmati artistika dan estetika karya instalasi Avianto yang mampu mengintervensi ruang publik dan memandu kita melihat perbedaan presumsi negatif dengan perspeksi positif. Setiap orang merdeka memilih kebiasaan dan cara memandang sesuatu di tengah singularitas yang sedang merayap. |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya