Pesta Sublim dengan Puisi

| dilihat 2280

AKARPADINEWS.COM | Puisi sebagai jalan kesunyian seorang penyair, digaungkan sebagai sebuah perayaan dalam “Pesta Puisi Tiga kota” (PPTK). Digagas di Jogjakarta pada 12 Januari oleh beberapa sastrawan dan Komunitas Kretek, dengan tujuan merayakan puisi di tengah khalayak luas.

Dengan konsep pesta, selain menghadirkan puisi sebagai pengalaman batin yang serius, juga membangun atmosfer kegembiraan, kebahahagiaan dan kejujuran.

Perhelatan ini menyambangi 3 kota besar yaitu Bandung, Jogja dan Bali. Tiga kota ini memang dikenal mwadahi perkembangan sastra yang besar, juga melahirkan banyak komunitas sastra dan penyair dengan bentuk dan gaya yang dinamis. 

Pesta puisi ini mendaulat oleh 3 penyair utama yaitu Matdon (Bandung), Saut Situmorang (Jogja) dan Wayan Jengki Sunarta (Bali). Selain penyair utama, Saut Situmorang hadir sebagai penyair tamu di tiga tempat.

Gelaran pertama PPTK di mulai dari Bandung yang diselenggarakan Minggu (1/2) pukul 14.00 WIB di Gedung Indonesia Menggugat. Di bawah gerimis dan dinginnya Bandung acara ini menjadi ruang pertemuan yang meriah. Para penyair muda: Ratna Ayu Budhiarti, Ratna M. Rochiman, Semi Ikra Anggara, Dedy Koral dan Faisal Syahreza.

Setiap penyair membawakan puisi dengan gaya yang beragam, Semi dan Dedy menyampaikan setiap puisi dengan gaya teatrikal. Faisal membawakan puisi dengan mesra hingga bertelanjang dada.  Mereka membawakan puisi karya masing-masing dan membacakan puisi Matdon sebagai penyair utama.

Matdon sebagai pendiri Majelis Sastra Bandung dalam puisinya turut memberikan sikap dan pandangan kepenyairan menyoal puisi yang memiliki benang merah kuat dengan persoalan politik, ekonomi dan sosial.

“Puisi adalah kesaksian hidup” jelas Matdon.  Ucapan Matdon mengingatkan kita pada kutipan terkenal John. F Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang wafat ditembak.

“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra akan meluruskannya”, persoalannya bagaimana puisi dapat membersihkan politik tergantung pada fungsi puisi. Banyak yang percaya bila puisi itu menyehatkan dan mengasah kepekaan hati.  Selain puisi, musisi lokal, Adew Habtsa dan Mukti-Mukti featuring Sisca Guzheng Harp.

Di Jogja, pesta puisi tak kalah meriah. Beberapa hari sebelum di mulai, tim penyelenggara di bawah arahan Phuthut EA dan Irwan Bajang telah menyebarkan publikasi hingga ke sudut kota. Di Jogja, acara ini berhasil membangun atmosfer di Asmara Café  pada (4/2) pukul 20.00 menjadi pagelaran sastra.  

Menampilkan 5 penyair yaitu Komang Ira Puspitaningsih, Kekal Hamdani, TS.Pinang, Hasta Indriyana dan Irwan Bajang bersama musik Ilalang Zaman. Saut Situmorang sebagai penyair utama dan tamu membawakan puisi yang merepresentasikan dirinya yang memilki daya kritis dan terkenal kontrovesrial dalam mengkritik berbagai ketimpangan yang terjadi di dunia sastra.

Puncak PPTK digelar Warung Tresni, Denpasar pada Sabtu (7/2) 19.00 Wita. Serupa dengan dua acara PPTK sebelumnya, para penyair muda dipilih untuk membawakan puisi-puisi pilihannya dan puisi Wayan Jengki Sunarta sebagai penyair utama.

Pentas PPTK kali ini menjadi ruang pertemuan antar generasi, penyair dan seniman senior seperti Frans Nadjira juga turut mengapresiasi dan menikmati berbagai pembacaan puisi dari ke tujuh penyair: Wayan Jengki Sunarta (penyair utama), Saut Situmorang (penyair tamu), dan lima penyairpendamping, yakni Muda Wijaya, Mira MM Astra, Pranita Dewi, Ayu Winastri, dan Achmad Obe Marzuki.

Di penghujung PPTK Denpasar, Wayan Jengki Sunarta mengungkapkan kredonya dan suka dukanya selama menjadi penyair. Baginya puisi adalah wilayah sunyi dan sublim dimana dia banyak belajar tentang kehidupan, keindahan  dalam maknanya yang tak terbatas. 

Ia mengatakan, setiap penyair semestinya memiliki kepedulian terhadap persoalan di sekitarnya, untuk memberikan perenungan bagi khalayak pembaca. Setiap puisi menemukan jalannya sendiri, disukai khalayak pembaca atau pun tidak. Itu sudah takdir puisi masing-masing.

Tugas penyair adalah melahirkan puisi sebanyak dia mampu dengan kekuatan imajinasi, diksi, atau pun intuisi dan kekayaan pengalaman batin si penyairnya. Seperti salah satu puisi yang dibacanya, “Puisi Untukmu”

“kita lintasi hari-hari cerah kaum tani

Kita lalui pula tahun-tahun kelam

Hembusan angin barat gemuruh

Menghancurkan lading cengkeh dan tembakau

Tapi tak usah cemas, cintaku

 

Pagi senantiasa berganti

Senja segera paripurna

Kangenku tak pernah usai

Cintaku tak habis

Hanya karena sekilas prahara” 

| Ratu Selvi Agnesia

 

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 785
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya