Saatnya Geli dan Terbahak

| dilihat 1167

Bang Sem

Di tengah beragam masalah yang sedang menghimpit rakyat di berbagai bidang (politik, sosial, ekonomi, hankam), baiknya kita memang tertawa, agar bahaknya terdengar ke seantero dunia.

Di sebuah bangsa yang menganggap fantacy trap alias jebakan fantasi sebagai visi,  dan banyak pemimpinnya sibuk berkalkulasi dengan angka-angka dalam ilusi, lantas terjebak ke dalam palung intuitive reason, memang harus ada orang-orang kreatif, menciptakan dagelan-dagelan baru.

Rakyat mesti diajak tertawa terbahak-bahak.

Jauhkan rakyat dari kisah sansai dan melodius, kala di berbagai rumah sakit tak terlayani dengan baik, lantaran belanja BPJS (Badan Pengelola Jaminan Kesehatan) defisit dan mesti menunggak pembayaran klaim rumah sakit.

Jauhkan juga dari kisah grey commedy, -- karena tak lucu -- kala nelayan China enggan meninggalkan wilayah zona ekonomi laut di Natuna, lantaran memburu ikan dari negerinya yang berlari ke kawasan laut yang tak henti menjadi titik konflik bersama antara pemerintah China, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Indonesia.

Rakyat juga tak berminat lagi menonton dengan serius drama tanpa dramaturgi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah tak berdaya menghadapi fakta, mesti punya izin Dewan Pengawas untuk menindak-lanjuti kasus operasi tangkap tangan (OTT) suap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Rakyat yang kian terhimpit karena pendapatan menurun, dirangsek pajak dan diburu debt collector, terlampau pedih terluka menyaksikan ulah sejumlah kaum yang semena-mena mengelola BUMN. Mulai dari seludupan barang mewah lewat kedatangan pesawat Garuda Indonesia, ketidak-mampuan asuransi Jiwasraya yang gagal bayar klaim nasabahnya, kasus salah urus ASABRI - meski mampu bayar klaim, dan rangkaian masalah yang terus menghimpit.

Rakyat sudah habis suara lagi untuk menyanyikan lagu sansai: Kulihat ibu pertiwi / Sedang bersusah hati / Air matanya berlinang / Mas intannya terkenang / Hutan, gunung, sawah, lautan / Simpanan kekayaan/ Kini ibu sedang lara / Merintih dan berdoa//. Bukankah hidup harus optimistis dan wajib menghidup-hidupkan semangat, bak 'dian tak pernah padam?'

Di tengah situasi parodial dalam aneka lakon, jadikanlah lelakon Kraton Sejagad di Purworejo sebagai pergelaran ilusi berformat ketoprak yang keluar dari pakem. Bukankah kita memang senang berlakon dan berbusana ketoprak? Struktur cerita, boleh pinjam lakon 'Petruk dadi Ratu.' Tak perlu format dan platform teater Tonil Bangsawan yang mirip opera musikal dengan syair yang menuntun rakyat. Tentu diselang-seling parikan dan guyonan.

Pun begitu dengan Sunda Empire (dengan juru bicara dari Brebes), yang sudah menggunakan wardrop yang lebih menampilkan kostum kekinian dan kedisinian, meniru para pelakon drama ilutif 'seolah-olah' dengan aneka seragam.

Bolehjadi, inisiator dan Sunda Empire punya referensi model kostum -- tata busana dan tata rias -- a la Tonil Bangsawan yang hidup subur di era ketika ekspedisi Magellen -- dengan membawa story writer Pigafetta -- atau era Laksamana Cheng Ho mendarat di Ujung Karawang dan meninggalkan beberapa anggota ekspedisi di situ, bahkan bermukim di bantaran Muara Gembong.

Kalau perlu bikin cerita kolosal lebih menarik dan menawan yang tujuannya : membuat rakyat terbahak, melupakan duka lara.

Kita barangkali, sedang memasuki periode, di mana realitas kedua dengan lakon-lakon black commedy didahulukan, dan menepikan realitas pertama yang serius-serius.

Periode ketika inkonsistensi para petinggi sampai kepandiran para pecundang yang mencari nafkah dengan menebar rumors (ghibah), hoax (buhtan) dan fitnah dianggap sebagai menu utama santapan ruhani rakyat sehari-hari.

Periode ketika sebagian petinggi senang membiarkan hidup suburnya paradox di seluruh lini kehidupan, dengan gaya 'sesuka hati.' Sekaligus membiarkan segala benih konflik sosial meruyak ke mana-mana, lewat media sosial yang bergerak sangat cepat mengikuti pergerakan teknologi informasi yang sangat cepat.

Inilah, barangkali, periode kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menyediakan ruang katarsis sedemikian luas bagi rakyat untuk geli dan terbahak-bahak.

Lakonan Kraton Sejagad dan Sunda Empire, cukup menarik, bila dikemas lebih apik dengan pengembaran ilusi yang masuk ke dalam ruang fantasi lebih mutakhir -- boleh dengan tetap menggunakan realitas: ambivalensia (keterbelahan orientasi) sosial -- yang secara ragawi sudah di abad ke 21, tapi alam pikirannya masih di abad ke 11.

Lantas, ketika sedang geli segeli-gelinya dan terbahak sejadi-jadinya, diam-diam wabah virus Corona dari Wuhan merangsek. Lantas kita sibuk bersentak-sengor lewat media sosial, menyalahkan siapa saja yang dianggap 'berbahaya' untuk mengembalikan bangsa ini ke garis azimuth perjuangan kemerdekaan, menegakkan keadilan dan kebahagiaan rakyat. |

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya