PUISI

Selarik Kata untuk Jakarta

| dilihat 546

refleksi Sem Haesy

 

Ada dua puisi karya penyair Indonesia, selalu menyertai saya hampir 24 purnama.

Selama masa itu, saya membaca fenomena realita kehidupan sosial sehari-hari dalam diam.

Satu puisi bertajuk Malam Lebaran, ditulis oleh Sitor Situmorang pada dekade 50-an. Sebuah puisi sederhana, hanya terdiri dari selarik judul, selarik isi: Malam Lebaran // Bulan di atas kuburan.

Sebuah puisi yang lahir lantaran sang penyair tersesat di pekuburan Kober, usai gagal menjumpai sahabatnya.

Sebuah puisi sederhana yang menyimpan hening dalam galau, namun direspon dengan riuh tafsir para penikmatnya.

Kesederhanaan ini, mungkin, melebihi keheningan dan kesederhanaan karya-karya Matsuo Basho, yang kita kenal sebagai haiku - Jepang.

Satu puisi lagi adalah karya Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, yang dimuat Majalah Sastra Horison, No. 4 / Tahun 1991. Puisi itu bertajuk Tanah Air Mata.

Sutardji, mengubah hening makrokosmis yang ada di dalam diri manusia, untuk membaca mikrokosmis yang kita sebut semesta. Mengiris realita kasad mata dengan tajam mata hati, lewat runcing mata pena.

Tanah airmata tanah tumpah darahku / Mata air airmata kami  / Air mata tanah air kami / Di sinilah kami berdiri  / Menyanyikan airmata kami /  Di balik gembur subur tanahmu  / Kami simpan perih kami / Di balik etalase megah gedung-gedungmu / Kami coba sembunyikan derita kami  / Kami coba simpan nestapa  / Kami coba kuburkan duka lara  / Tapi perih tak bisa sembunyi  / Ia merebak kemana-mana  / Bumi memang tak sebatas pandang  / Dan udara luas menunggu  / Namun kalian takkan bisa menyingkir  / Kemana pun melangkah  / Kalian pijak air mata kami  / Kemana pun terbang  / Kalian hinggap di air mata kami  / Kemana pun berlayar / Kalian arungi air mata kami  / Kalian sudah terkepung  / Takkan bisa mengelak  / Takkan bisa kemana pergi  / Menyerahlah pada kedalaman air mata kami..

Meminjam pemahaman kritikus sastra Arnaud Villani, saya menyebut kedua puisi ini, sebagai resonansi kontemplatif atas realitas kehidupan kemanusiaan kita yang belum akan usai, entah sampai bila.

Kedua puisi ini menghadapkan kita pada pemahaman, bahwa postulat puisi, menyimpan ruang fantasi dan imaji penyair yang luas tanpa batas, yang jauh tanpa ujung.

Melampaui mimpi para para 'akademisi' yang 'tersesat di gumpalan fantasi,' yang tak pernah berubah menjadi imajinasi, lalu menyeret kita ke dalam 'jebakan fantasi' yang mereka sebut visi.

Dua puisi yang ditulis oleh penyair besar Indonesia, ini memandu saya untuk memahami empirisma selama hampir dua tahun terakhir. Masa yang setiap saat, menghadapkan kita dengan kabar yang mencekam. Lalu sejak dua pekan terakhir sedang bergerak sangat cepat mencapai kemuncak.

Ketika nanomonster Covid-19 adu cepat dengan sains; adu cepat dengan realitas lara, nestapa dan duka yang sansai. Adu cepat dengan ketersediaan rumah sakit, tenaga kesehatan, lahan pemakaman, aksi alat-alat berat menggali liang lahat, kesigapan petugas pemakaman, dan bilangan jenazah yang bukan sekadar angka-angka statistik.

Adu cepat antara nafas yang tersengal dengan oksigen, yang membenturkan kita pada ironi, alangkah selama ini kita merampas hak kemanusiaan atas udara bersih yang kita lakukan dengan mengizinkan korporasi membabat lalu membakar hutan, membiarkan mereka mencemari udara dan air, dengan laku tamak homo economicus, laku lajak homofaber, yang mengabaikan harta termahal yang diberikan Tuhan, yaitu kesehatan.

Malam lebaran // Bulan di atas kuburan, hinggap lagi di benak, ketika pada malam lebaran belakangan hari, kita saksikan di langit tanah air mata kita, rembulan redup menatap hampa. Menyaksikan orang-orang bergaduh, sentak sengor, memperdebatkan kepentingan-kepentingan sesat, sesaat atas nama pragmatisme politik yang menyuburkan politik transaksional .

Seorang lelaki, yang mengemban amanah berat di punggungnya, mengubah realitas puitik seperti bulan di atas kuburan. Menghadirkan puisi tanpa kata-kata di antara liang-liang lahat, di antara do'a-do'a sanak keluarga, menyelami rasa kehilangan.. seolah menggumamkan larik puisi: "Di balik gembur subur tanahmu  / Kami simpan perih kami .."

Hidup kita tetiba menjadi daya puitika, menjadi lirik liris di larik-larik kehidupan, yang mengubah kata menjadi pertemuan nurani pemimpin dengan rakyatnya di gundukan tanah makam.

Menghayati makna sumpah di bawah kitab suci untuk melayani rakyat, memaknai perjuangan, seperti kata Rendra, adalah melaksanakan dan mewujudkan kata-kata.

Menghimpun kesadaran kolektif untuk mewujudkan visi dan aksi bersama. Sekurang-kurangnya menjawab pertanyaan sederhana : Siapa yang harus menghapus air mata di tanah air mata kita?; Bagaimana kita menghapusnya, agar tanah air mata itu kembali menjadi menjadi tanah air, sumber mata air kemanusiaan dan keadilan?

Allah Yang Menghidupkan dan Mematikan Penyair, yang mewanti-wanti agar penyair tak menjadi penderhaka melalui Surah Asy Syu'ara, yang mendidik dan mengajar Rasulullah Muhammad SAW dengan kalam, yang mewajibkan setiap manusia membaca seluruh fenomena dan menemukan jejak-jejak penciptaan-Nya di alam semesta, memberikan sebuah kata sebagai cara, yaitu: ta'awun.

Sebuah kata, yang menginspirasi penyair-penyair nusantara menghimpun resonansi mereka tentang Jakarta dan Betawi, mengubah minda untuk menemukan cara baru di tengah konvergensi budaya, dari budaya aksara terestrial ke budaya digital. Memberi makna atas budaya media baru yang lebih membuka luas ruang artistika, estetika, dan etika, yang memperluas literasi Indonesia.

Ta'awuun, sebuah kata yang menciptakan rangkaian sejarah perjalanan panjang bangsa ini, sejak 1905, 1908, 1911, 1912, 1926, 1928, 1945, 1966, 1998, lalu 2021.

Kita menyaksikan, seorang lelaki memandang bulan di atas kuburan Pondok Rangon, merasakan hening resonansi lara di pemakaman Rorotan. Lantas, lelaki itu  menemukan postulat kekinian atas kata ta'awun,  pada hari Senin, 24 Mei 2021 di Balaikota DKI Jakarta, yakni: Kolaborasi. Lalu menjadi sesanti kota ini: Jakarta Kota Kolaborasi. Mempertemukan nalar, naluri, nurani, rasa dan indria dalam nafas harmoni kebudayaan.

Lelaki, itu mungkin penyair cendekia yang berseragam, yang bersama-sama kita, memaknai puisi sebagai salah satu medium kolaborasi, menghidupkan kembali hakikat kata sebagai komitmen perjuangan.

gambang rancak merdu suara / merangkum pantun menjadi rawi // rangkaian puisi penyair nusantara / kolaborasi lewat Jakarta dan Betawi

 

JAKARTA, 22 JULI 2021 | disampaikan pada peluncuran buku Penyair Nusantara tentang Jakarta dan Betawi

Editor : eCatri | Sumber : foto berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 102
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 518
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 446
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya