Sssssssttttt

| dilihat 2026

Perjalanan ke Bukittinggi saat terakhir kali beberapa waktu berselang, sungguh menarik dikenangkan. Tak hanya karena saya bisa mereka-ulang kenangan historis masa bocah, juga karena saya bisa menikmati bagaimana eloknya alam Minangkabau.

Termasuk ekspresi budaya kulinernya yang abadi di ujung lidah. Sate Mak Syukur atau Sate Mak Ajat, nasi kapau, dan randang dun sanak, memang lezat. Di telinga, mengiang dendang tembang Elly Kasim: “luruihlah jalan ka Payakumbuah, basimpang jalan ka Biaro, indaklah hati karusuah, awak takicuah, ai ai ayam den lapeh.” Penghiburan sarat makna.

Syair tembang ini, sebagai salah satu produk kearifan lokal, selain petatah petitih Minang. Tembang itu mengingatkan satu hal: konsistensi. Ada jalan lurus menuju tujuan, visi yang dinyatakan. Diperkuat mission sacre, diekspresikan lewat grand strategy, program, dan program.

Bila terjadi inkonsensistensi, misalnya karena terpengaruh oleh kemungkinan simpang jalan ka Biaro, yang terjadi adalah dissatisfactory factions. Bila ada keraguan mengambil decision (indak lah hati karusuah), boleh jadi, kita tertipu dark imagine (awak takicuah). Akhirnya, hilang lenyaplah opportunity (ai ai ayam den lapeh).

Istana Bung Hatta, memotivasi saya belajar tentang konsistensi pada perjuangan menegakkan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Menguatkan civil society. Perjuangan daulat rakyat, sesuai prinsip dasar, bahwa pemimpin hanya ‘ditinggikan seranting’ dan ‘didahulukan selangkah.’

Dalam konteks inilah good governance sangat penting maknanya, bila diletakkan pada orientasi fungsi: Bundo Kanduang (tanah air, bangsa, negara), Alim Ulama dan Cerdik Pandai (elite, khashshah) yang menjalani fungsi pencerahan, menebar kearifan kritis untuk menunjukkan jalan; dan, ninik mamak anak kemenakan (penyelenggara negara, tentara, polisi, birokrat, dan rakyat) yang memainkan fungsi policy dan operasional.

Dalam konteks itu, jargon: ber¬sama kita bisa, yang pernah kita dengar di masa kampanye, mengekspresikan sentra kepedulian (focal concern) yang mesti dijunjung teguh, konsisten, dan konsekuen. Ketika hadir pertanyaan, sungguhkah kita masih memegang komitmen untuk mewujudkan kebersamaan menyelesaikan persoalan bangsa yang bertumpuk dan kian menggunung?

Tak cukup mudah menjawab pertanyaan ini. Meski Presiden dan Wakil Presiden membuka ruang komunikasi, toh seringkali ruang itu tak dipandang sebagai tempat harmoni hubungan antar lembaga negara tumbuh berkembang, dan saling menguatkan satu dengan lainnya.

Acapkali, kita tergoda oleh beragam kepentingan, yang hanya kepentingan kelompok dan golongan semata. Kita cenderung asyik dengan urusan masing-masing, dan ngotot memperjuangkan diri masing-masing.

Dalam situasi ‘ayam saeko musangko banyak’ (ayam seekor musangnya banyak), kita harus menyadari, bahwa pekerjaan paling berat menjadi pemimpin saat ini adalah: terkelolanya civil society, political society, economic society, law enforcement, dan state aparatus, harus dalam satu tarikan nafas.

Ada yang hilang. Di Pasar Ateh seseorang berbisik: ”Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, penghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka alu japatu..”

Orang Bugis bilang, “Polo pang polopani naposiri ajurange napo mati joe.” Kerakyatan mesti selalu dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Sebagai rakyat, kita berharap, seluruh state aparatus mampu menjawab pertanyaan how to love, to honest, dan how to protect, sehingga rakyat pun akan menjawab pertanyaan how to love, how to honest, dan how to obbey ! ***

Editor : Web Administrator
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 102
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 518
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 446
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 276
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 139
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya