Tradisi Imlek Merawat Kekeluargaan

| dilihat 2832

AKAPADINEWS.COM | IMLEK (kongian) merupakan tradisi etnis Tionghoa yang sudah sekian lama mengakar. Di tahun 2016 ini, seluruh warga keturunan Tionghoa yang tersebar di segala penjuru dunia, tentu merayakan Imlek ke-2567, yang jatuh pada tanggal 8 Februari.

Imlek berasal dari dua suku kata, yaitu Im dan Lek yang artinya penanggalan bulan. Jika merunut sejarahnya, tradisi Imlek merupakan tradisi masyarakat petani di Tionghoa. Tradisi itu digelar petani untuk menyambut musim semi yang hangat dan awal tanam. Karenanya, di Negeri Tirai Bambu, Imlek selalu dirayakan saat festival musim semi (chunhye). Perayaan Imlek juga diartikan sebagai kemenangan melawan hewan buas bernama Nian.

Kini, Imlek pun menjadi tradisi universal. Masyarakat keturunan Tionghoa yang menyebar di seluruh penjuru dunia, umumnya merayakan Imlek. Di Indonesia, tradisi Imlek dirayakan warga negara Indonesia keturunan etnis Tionghoa dengan penuh keceriaan dan kehangatan.

Bagi Edy Hermanto, warga keturunan Tionghoa asal Lampung yang bekerja sebagai supervisi perusahaan swasta, perayaan tahun baru Imlek adalah ungkapan rasa syukur, selamat tahun baru dan permohonan kebaikan pada tahun ini. Edy bersama keluarga besarnya bersemangat merayakan Imlek yang dimulai malam sebelum tahun baru sampai Cap Go Meh (hari ke 15 dari masa perayaan Imlek). 

Imlek adalah perayaan perubahan, yang lama pergi dan yang baru datang. Menurut Edy, sebenarnya Imlek bukan sebuah tradisi keagamaan, tapi tradisi Tionghoa. Namun, ada nuansa religisnya, khususnya saat sembahyang. Perayaan Imlek juga serupa dengan lebaran Idul Fitri yang dirayakan umat Islam di Indonesia. Karena, perayaan Imlek menjadi momentum untuk mengunjungi orang tua dan berkumpul bersama sanak keluarga.

Setiap tahun, Edy merayakan imlek di rumah orang tuanya, di Lampung atau di rumah mertuanya di Jakarta.  “Biasanya orang tua lebih senang bila anak dan cucunya datang, jadi merasa bila saya punya keluarga besar,” kata Edy ketika diwawancarai.

Kemeriahan Imlek

Sebelum merayakan Imlek, persiapan pun dilakukan. Rumah dibersihkan dan dihiasi lampion dan tirai berwarna merah. Warna itu, selain menjadi simbol untuk mengusir Nian, juga dimaknai sebagai kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemakmuran.

Sebelum perayaan malam tahun baru Imlek, pada sorenya digelar sembahyang untuk dipersembahkan kepada leluhur dan keluarga yang sudah meninggal dunia. Selanjutnya, jamuan makan besar, pembagian angpao, dan pesta kembang api. 

Dalam perayaan Imlek beragam makanan disuguhkan. Biasanya, disajikan kue keranjang (nian gao) bertingkat, sebagai simbol pengharapan agar masa yang akan datang akan lebih baik. Kue keranjang yang lengket dan rasa yang manis dimaknai agar di tahun baru ini, kehidupan akan lebih manis dan sukses mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga. Bentuk bulat dan lengket dimaknai sebagai harapan agar keluarga selalu rekat, akrab, dan bersatu.

Kemudian, Ikan Bandeng yang biasanya disajikan oleh keluarga Tionghoa menjadi penanda kelimpahan rezeki. Disuguhkan pula haisom atau disebut teripang, lintah laut dan rebung (akar bambu) yang harganya cukup mahal. Lalu, bakso goreng dan mie sebagai lambang panjang umur. Disajikan pula kue apem, lapis legit, dan lainnya. Dan, yang tidak terlewatkan adalah jeruk Mandarin yang berwarna kuning emas sebagai simbol kemakmuran dan kekayaan.

Saat jamuan besar digelar, anggota keluarga biasanya membicarakan peristiwa-peristiwa yang menyenangkan. “Ibu saya bilang, tidak apa-apa setahun sekali kita makan mewah dan enak,” ujar Edy yang selalu mengenang Imlek dengan baju baru sebagai kebahagiaan di masa kecilnya.

Pemberian angpao dengan amplop berwarna merah dilakukan dengan tujuan berbagi rezeki, khususnya pada sanak keluarga yang belum menikah. Bagi yang sudah menikah, angpao juga diberikan kepada orang tua sendiri. Usai pemberian angpao, satu sama lain saling mengucapkan, “Gong xi fa cai” yang artinya, semoga mendapatkan kemakmuran dan kekayaan.  

Usai jamuan makan besar, pada malam tahun baru tersebut, mereka bersembahyang ke Vihara, klenteng atau Tua Pek Kong  untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan. Ungkapan syukur karena selama setahun ini, keluarga mendapatkan kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan. Sembahyang juga dilakukan untuk memohon agar tahun yang akan datang diraih kebaikan dan kemakmuran yang lebih baik.

Dalam perayaan Imlek juga disuguhkan tarian barongsai dan liong (tarian naga). Lalu, suara petasan dan mercon yang makin memeriahkan perayaan imlek.

Di Indonesia, perayaan Imlek pernah dilarang setelah diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 pada masa Presiden Soeharto. Inpres melarang tradisi Tionghoa yang berbau Konghucu, termasuk imlek, Cengbeng, dan tradisi lainnya.

Edy mengenang, pada masa itu, perayaan Imlek dilakukan di rumah dengan malu-malu, dan sembunyi-sembunyi. Terkadang teman sebaya dan masyarakat bersikap antipati.

Semenjak Inpres itu dicabut oleh pemerintah di era Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur), etnis Tionghoa dapat dengan bebas merayakan Imlek. Bahkan, masyarakat lain pun dapat bersama-sama merayakannya sebagai sikap saling menghormati dan menghargai.

Edy berharap agar seluruh keluarganya bisa sehat, bahagia, dan usaha bisa lancar. Dan, yang terpenting semoga stabilitas negara dan global diberikan keamanan agar pemerintah Indonesia bisa menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 234
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 457
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 449
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 417
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 516
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1602
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1390
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya