Renungan Selintas Jalan

Warung Beak Kukunyuk

| dilihat 1853

Bang Sem

BEBERAPA hari lalu, saya dipanggil kakak untuk datang ke kediamannya di Cimaja – Kabupaten Sukabumi. Dia sedang sakit.  Ketika tiba di kediamannya, sambil berbaring dia mengingatkan saya tentang amanah almarhum ayah, ihwal tanggung jawab sosial kepada sejumlah masyarakat di Pakidulan.

“Sudah saatnya, amanah almarhum kamu yang teruskan. Selain usiamu akan memasuki enam puluh tahun, kamu sudah tak punya lagi masalah dengan dirimu,” katanya.

Dia tersenyum. “Sudahlah, tidak perlu lagi mengembara di negeri orang. Ke mana pun kamu pergi, kelak ke sini juga kamu harus mencurah seluruh akal budimu. Banten dan Jawa Barat memerlukanmu.”

Saya terdiam dan menyimak dia bergumam lirih. Salah seorang sahabatnya, lelaki berusia di atas 70-tahunan, berbisik pada saya, konon apa yang digumamkan kakak adalah bagian dari uga Siliwangi.

Saya mengangguk untuk menghormati apa yang dikatakannya. Lepas dari benar atau tidak, seringkali menyimak perkataan orang lebih tua, banyak manfaatnya.

Saya rada terkejut, ketika kakak saya seolah berseru:

Derengekeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, rajana ngan bakal nepi ka mangsa, tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo wungkul. Tah, didinya sanagara bakal jadi sampakan kebo barule, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun alun-alun. Ti harita, raja di belenggu ..” (Dengarkan.., yang kini memusuhi kita, rajanya akan sampai pada masa ketika tanah kehidupan tepian Cibantaeun menjadi kandang kerbau belaka. Di situ, (tanah) senegara bakal jadi areal (berkembang biak) kerbau bule, gembalanya gemar memerintah dari alun-alun. Sejak kala itu, penguasa dibelenggu.

Saya menarik nafas sesaat, coba memahami pesan di balik kuplet gumaman yang diperdengarkannya sambil terpejam.

 “Turunan urang loba anu heunteu engeuh, yen jaman ganti lalakon! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku pamuka jalan ; tapi jalan nu kasingsal.. laju sampalan nu diranjah kunyuk! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri heunteu anggeus, sabab kaburu: warung beak ku kunyuk, leuit beak ku kunyuk, kebon beak ku kunyuk, sawah beak ku kunyuk, huma di acak-acak ku kunyuk, cawene rareuneuh ku kunyuk..”

(Keturunan kita banyak yang tak sadar, jaman sudah berganti cerita.  Dari situ (khalayak) gaduh senegara. Pintu-pintu yang tertutup dibongkar oleh pembuka jalan, namun jalan yang sesat... lantas tanah negeri dikuasai monyet. Keturunan kita menikmati tawa, tawa yang tak selesai, karena tiba-tiba tersedar (seperti orang terjaga dari mimpi): sumber ekonomi dikuasai monyet, sawah hilang dikuasai monyet, ladang diobrak-abrik monyet, dan banyak sekali perempuan hamil karena dicumbui monyet).

Ketika pulang, sambil menelusuri gelap jalan berliku melintasi Jampang Tengah, pikiran saya tergoda kuplet gumaman, itu. Sambil menikmati sate kambing selepas pasar Cicurug, saya teringat nasihat almarhum ayah: “Akan tiba masa, tanah subur yang terhampar antara Ujung Karawang – Sempur – Cikundul dan Halimun, yang terbentang dari Pangandaran sampai Krakatau tak lagi dalam kuasa bangsa sendiri, kecuali kita bergerak serempak mendahulukan pekerti dan adab, prigel dan unggul mengelola akal budi.”

Jaman memang sudah berubah. Sistem demokrasi yang kita anut, orientasi pembangunan yang meninggalkan dan menanggalkan kebudayaan, serta kepemimpinan nasional yang belum jelas kompetensinya, menyebabkan begitu banyak sumber ekonomi dan sumber kesejahteraan sosial kita, sudah diobrak-abrik manusia berperangai monyet, karena kebudayaan ditanggalkan dan disalah-maknakan. Beuh !|

 

[monyet yang dimaksud dalam bahasa asli adalah manusia berperangai aneh]

Editor : Web Administrator | Sumber : Pernah dimuat di Inilah Koran Jabar
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 782
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya