Demokrasi Pondan

| dilihat 2384

APA sungguh yang sedang dipertontonkan para anggota DPR RI pada Sidang Paripurna DPR RI, Kamis (25/9) terkait pengesahan Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah. Bagi saya, tak lain dan tak bukan, tontonan “Mencari Ketiak Ular.”

Saling silang pendapat – meskipun mengerucut pada Opsi Pemilihan langsung, Pemilihan Melalui DPRD, dan Pemilihan Langsung dengan 10 Syarat --  yang dipertontonkan melalui siaran televisi, menunjukkan bangsa ini sedang menghadapi persoalan fundamental yang parah: kuatnya ‘akal-akalan politik’ yang mengabaikan ‘nalar politik.’

Bila merujuk pada Konstitusi Undang Undang Dasar 1945  -- secara lengkap, termasuk Pancasila di dalamnya -- dengan referensi bandingan UU No. 5/74 dan UU No. 22/1999, termasuk Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, yang nampak tak terlihat selama 36 purnama pembahasan RUU Kepala Daerah, itu adalah logika dasar. Akibatnya, masing-masing pihak yang ada dalam fragmentasi sidang paripurna DPR RI  sama sekali tidak masuk ke dalam esensi persoalan, melainkan sibuk mempersoalkan ekses dan implikasi teknis penyelenggaraan pemilihan kepala daerah itu sendiri.

Saya tak menangkap ada keberanian masing-masing pihak untuk berusaha menempatkan logika politik yang benar. Padahal, persoalannya justru terletak pada logika itu sendiri. Terutama dalam mempertanyakan beberapa hal mendasar terkait dengan bangsa ini.

Semula saya membayangkan, pembahasan RUU Kepala Daerah itu dibahas secara substansial dengan mengajukan pertanyaan mendasar tentang praktik demokrasi yang hendak diterapkan.

Pertanyaan itu adalah: RUU ini hendak ditempatkan dalam konteks Persatuan Indonesia (Sila Ketiga) atau Kesatuan Republik Indonesia?

Bila konteksnya adalah Persatuan, maka berlaku prinsip pluralitas berbasis multikulturalisme, di situ berlaku prinsip otonomi luas – nyata – bertanggungjawab dan desentralisasi. Karenanya teknis demokrasi yang dipilih adalah pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Dalam konteks ini, korelasinya dengan sila ke 4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan – perwakilan bersifat paralel. Untuk itu diperlukan Undang Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), laiknya Pemilihan Umum Legislatif dan undang-undang pemilihan Umum Presiden – Wakil Presiden. Proses penyelenggaraannya bersifat serentak dan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Bila konteksnya adalah Kesatuan, maka berlaku prinsip integralitas berbasis multikulturalisme, dengan memberlakukan prinsip otonomi luas – nyata - bertanggungjawab yang diselenggarakan berdasarkan prinsip dekonsentrasi. Karenanya, teknis demokrasi yang dipilih adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Artinya ruh demokrasi pada sila ke 4 dalam Pancasila bersifat integral. Untuk itu diperlukan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Proses penyelenggaraannya bersifat spasial, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh DPRD.

Bila pilihannya adalah Pemilukada, maka Undang-Undang tentang Pemilihan Umum harus disempurnakan, dengan menegaskan sistem pemilihan anggota legislatif (DPR dan DPRD) harus bersifat proporsional terbuka, alias sistem distrik. Bila pilihannya adalah Pilkada, maka sistem pemilihan anggota legislatif bersifat proporsional tertutup alias demokrasi pondan (banci).

Memilih Pemilukada mengandung makna asasi, daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) adalah daerah otonom murni yang mengurusi rumah tangganya sendiri dan untuk itu memperoleh kewenangan luas dalam hal mengelola sejumlah pasal dan ayat dalam UUD 1945, baik terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, sistem keuangan, sistem fiskal, dan sebagainya.

Bila pilihannya adalah Pemilukada, maka Pemerintah Negara Republik Indonesia yang selama ini dikenal sebagai Pemerintah Pusat harus menyerahkan seluruh urusannya kepada daerah, kecuali Pertahanan dan Keamanan Negara, Tentara Nasional Indonesia, dan Hubungan Luar Negeri. Selebihnya, pemerintah pusat, hanya memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan. Sebaliknya, bila pilihannya adalah Pilkada, maka Pemerintah Daerah Otonom (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) secara eksplisit harus dinyatakan sebagai representasi pemerintah Negara Republik Indonesia di semua urusan pelayanan kepada rakyat. 

Sekali-sekala berfikirlah dengan logika sesuai dengan logika para founding fathers bangsa ini. Lalu, tentukan pilihan substansial dan laksanakan pilihan itu secara konsisten dan konsekuen. Jangan terjemahkan peoples souvereignity dengan akal-akalan politik, nanti murka tanah air tercinta ini …|

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 218
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 430
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 429
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 399
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya