Dut Badut Dut

| dilihat 1923

        SALAH satu yang tak disukai cucu saya adalah badut. Nampaknya dia mengikuti jejak saya, tak suka badut. Meski demikian, saya menghormati hak hidup para badut. Badut yang tak disukai cucu saya adalah badut-badut untuk melucu, yang biasa ada di tempat-tempat wisata.

        Di balik boneka badut, selalu ada manusia yang ‘hidup dalam pengap.’ Beberapa orang yang berprofesi sebagai badut, di suatu tempat hiburan, mengaku bagaimana mereka hidup dalam pengap. Mereka harus pula mengenakan boneka badut yang sama sekali tidak nyaman. Dalam situasi demikian, mereka harus melucu dan menghibur khalayak ramai.

        Mereka menjalani profesi badut sebagai ‘orang upahan’ dengan upah yang tak seberapa. Mereka menjalani hidup seperti itu, karena belum mendapat kesempatan lain. Bila ada pekerjaan yang layak, mereka akan memilih lapangan pekerjaan itu.

       Para badut sebenar badut memang bernasib tak begitu enak. Berbeda dengan badut-badut lain, yang terdiri dari orang-orang pandai, politisi, tokoh, dan para ambisius yang kecewa karena tak memperoleh kesempatan sebagai manusia sesungguh insan. Mereka ‘merendahkan diri’ dan menjadi ‘boneka mainan’ para industriawan badut, yang sedang galau karena berbagai kebijakan ketat diterapkan di negeri ini.  Kebijakan yang secara akal sehat, sebenarnya menunjukkan kepedulian negara terhadap rakyatnya.

        Saya tidak suka badut-badut semacam ini. Tak hanya karena mereka telah ‘merendahkan harkat martabat’ mereka sendiri untuk memenuhi ambisinya. Jauh dari itu, karena saya memandang, mereka sebetulnya para insan yang punya potensi besar. Potensi yang bila dikontribusikan dengan tepat dan benar, akan menjadi energi baru dan terus terbarukan bagi bangsa ini.

        Saya termasuk orang yang sedikit sedih menyaksikan beberapa teman yang – karena menutupi ambisi mereka – akhirnya menjadi para badut. Sayangnya, sebagai badut, mereka tak menghibur siapapun. Aksi mereka di balik boneka indah aneka rupa, tak ada lucu, apalagi menghibur. Sama seperti ketika negara dan pemerintah memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi para petinggi di masa lalu.

       Saya cukup sedih menyaksikan beberapa teman yang menjadi badut, kehilangan sikap humble yang sejati. Mereka hidup dalam kepura-puraan. Termasuk pura-pura menjadi pejuang, pura-pura menjadi para pemuka yang begitu rupa menyintai rakyatnya.

       Ketika sedang berfikir semacam ini sambil mengajak cucu bermain, saya melihat seorang badut terjatuh ke selokan. Ia kesulitan untuk keluar dari situ, dan tak mudah ditolong oleh siapapun. Duh !

N. Syamsuddin Ch. Haesy

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 239
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 463
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 454
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 424
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 227
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 322
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya