DALAM kehidupan sehari-hari, seringkali kita menyaksikan banyak di antara kita yang melakukan sesuatu terburu-buru, tergesa-gesa, dan grasa grusu. Mulai dari hal-hal sederhana yang sangat personal sampai menangani urusan-urusan mengelola kenegaraan.
Sejumlah sahabat mengatakan, bila tidak ada ketergesa-gesaan, Republik Indonesia (RI) tidak merdeka. Mereka memberi ilustrasi, bagaimana sejumlah pemuda ‘menculik’ Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok – Karawang dan memaksa mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Bahkan, teks proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno, juga ditulis secara tergesa-gesa, sehingga ada bagian kata yang harus dicoret dan diganti dengan kata lain.
Apa yang dikatakan para sahabat, itu boleh jadi benar. Hasilnya? Ketergesa-gesaan itu membuat bangsa ini kurang berkinerja baik, bahkan dibandingkan dengan negara-negara jiran yang merdeka belakangan.
Bila ibadah salat berjamaah sebagai cermin bagaimana mengelola pengabdian paripurna kita dalam mengelola begitu banyak kewajiban dalam hidup, termasuk mengelola negara, maka jelas dan terang benderang, apa yang disabdakan Rasulullah Muhammad SAW: “Ketenangan itu dari Allah dan tergesa-gesa itu dari syaitan” (HR. Turmudzi dalam Sunan Turmudzi Bab Maa Jaa fii al-Ta’anni wa al-’Ajalah hadis no. 1935 juga terdapat dalam al-Muntaqa syarh Muwattha’ Malik).
Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan kita untuk melakukan sesuatu secara tartil, matang perencanaan, jelas agenda, tegas time-line-nya, teliti dan berdimensi jauh ke masa depan. Dalam Syahr al-Jami’ al Shaghir, al manwiy menjelaskan, tergesa-gesar dilarang, karena akan mendatangkan was-was dan kelak tak menghasilkan kinerja optimum.
Ketergesa-gesaan atau grasa-grusu dalam pandangan al-Manawiy menghalangi keteguhan dan pemikiran matang. Bahkan kemudian menimbulkan persoalan berkepanjangan. Contoh konkret terkait suksesi kepemimpinan, dapat dipelajari dari proses menemukan kepemimpinan, selepas Rasulullah Muhammad SAW wafat. Akibatnya, seperti kita alami kini, begitu firqah (kelompok) yang kemudian berkembang menjadi mazhab-mazhab.
Di dalam agama kristen dan agama-agama lain juga demikian. Ketergesa-gesaan dalam menyimpulkan sesuatu menimbulkan begitu banyak sekter dan aliran yang dalam banyak hal mudah terpicu oleh friksi dan perpecahan.
Abdullah al Hadaad, seorang pemikir Islam, menjelaskan, ketenangan dan ketelitian adalah bagian dari akhlak, yang memungkinkan sesuatu aksi atau suatu kerja yang ditujukan untuk memperoleh kebaikan dan kebajikan kolektif dapat menghasilkan kinerja yang positif. Meskipun kadang kala, secara subyektif oleh kalangan yang tak menyukainya (karena gelap hati) tak mampu melihat kebaikan itu.
Al Hadaad menasihati, lakukanlah sesuatu dengan hati yang jernih dan terang benderang, sehingga selalu dapat memperoleh kebaikan. Termasuk mampu melihat realitas secara obyektif dan adil. Hal itu sesuai dengan pandangan, sikap, dan tindakan Imam Ali bin Abi Thalib karamahuwajhah agar dalam melakukan aksi kehidupan, harus dilakukan secara tenang, terorganisasi dengan baik, dan proporsional.
Kita bersyukur, dalam proses alih kepemimpinan di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyiapkannya secara matang. Presiden SBY ingin agar penggantinya kelak dapat melaksanakan tugas dan melaksanakan amanat rakyat yang diberikan kepadanya dengan baik, serta berkinerja sukses. Sikap baik ini semestinya merupakan modal awal yang baik agar penerusnya tidak bertindak grasa-grusu dalam alih kepemimpinan itu.
Presiden SBY sadar sekali dan sangat tahu diri, sehingga memberikan kemudahan akses kepada siapa saja yang kelak diputuskan Mahkamah Konstitusi untuk memimpin. Meskipun, kala menjabat sebagai Presiden RI tahun 2004, pemimpin sebelumnya tak memberi akses lebih dulu kepadanya.
Bila segala sesuatu terkait transisi tidak dilakukan secara grasa-grusu dan tetap memegang akhlak (termasuk akhlak politik), insha Allah ke depan, proses transformasi dapat berjalan dengan baik. Semoga.. |