Hawa

| dilihat 1811

Pengantar Redaksi

Atas usul dan saran pembaca, mulai edisi hari ini (Senin: 26/12/2016), Celoteh Bang Sem akan menurunkan cerita ringan dengan sejumlah tokoh imajiner yang meminjam nama sejumlah tokoh khas - global dan lokal yang dikenal di lingkungan masyarakat kita sehari-hari. Dan, celoteh ini hanya sekadar celoteh | Redaksi

***

ATAS undangan Sawerigading, Malin Kundang mengajak Abu Nuwas berkunjung ke Luwu Timur di Sulawesi Selatan, yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. 

Sejak dari Bandara Hasanuddin, mereka sudah dijemput dan didampingi oleh Daeng Te’ne. Lelaki keren, lembut hati dan santun.

Ketika menumpang pesawat kecil yang membawanya ke lapangan terbang Sorowako, Abu Nuwas sudah berdecak kagum.

“Tak salah, bila Raja Fahd dari Arab Saudi pernah menyatakan, negeri Zamrud di Khatulistiwa ini, laksana surga di dunia. Firdausi fid duniya,” cetusnya.

Menjelang mendarat di Sorowako, kekaguman itu kian membuncah.

Saat menyaksikan tiga danau di antara gunung, bukit, dan lembah, di bawah, Abunuwas segera bertanya kepada Daeng Te’ne.

“Wadhi apa, itu?”

“Wadhi?” Daeng Te’ne balas bertanya.

Abunuwas pun menunjuk ke ketiga danau itu.

“Ooo.. itu danau-danau mashur,” jawab Daeng Te’ne.

Danau terluas bernama Danau Towuti, danau terkecil yang molek bernama Mahalona, dan danau yang nampak membiru adalah danau Matano, danau terdalam kedua di dunia.

“Sungguh indah. Tak pernah kutemukan wadhi seperti ini. Di negeriku lebih banyak padang pasir,” seru Abu Nuwas.

Pesawat kecil itu mendarat. Sawerigading menjemput Abu Nuwas. Lalu, lelaki bersorban itu, itu diajak melintasi suasana kota pertambangan nickel Sorowako yang mungil.

Beberapa saat, mereka istirahat di warung ikan bakar dekat pasar Sorowako, menikmati ikan bakar khas yang tak ditemukan di tempat lain.

Selepas itu, Sawerigading menugaskan Daeng Te’ne, mengantarkan tamunya itu ke rumah singgah, tak jauh dari Pantai Ide. Sawerigading sendiri pamit, karena harus pergi ke Malili.

“Ba’da isya’ saya akan datang ke tempat tuan,” tukas Sawerigading. Abu Nuwas mengangguk. Mereka berpelukan sekejap. Ketika Sawerigading pergi, Abu Nuwas istirahat sesaat. Ia duduk selonjor, sambil bersandar di dinding kayu rumah singgah itu.

Selepas Ashar, Daeng Te’ne datang. Lalu mengajak Abu Nuwas berjalan di Pantai Ide, tepian Danau Matano. Beberapa buah dengen jatuh dan singgah ke serban Abu Nuwas.

“Buah apa ini?” tanya Abu Nuwas

“Itu buah dengen. Buah ini hanya ada di sini,”jelas Daeng Te’ne.

Buah dengen bekelopak, rasanya masam sunkist. Ini memang buah endemik yang hanya ada di Luwu Timur, persisnya di Sorowako.

Keduanya kembali melintas Pantai Ide, tepian danau Matano.  Tiba-tiba gerimis turun. Abu Nuwas dan Daeng Te’ne segera bergegas kembali ke rumah singgah.

Hujan turun lebat, bagai dicurahkan dari langit. Sambil berdiri di beranda rumah singgah, Abu Nuwas nampak berdo’a.

“Kalian mesti bersyukur, Allah menurunkan banyak karunia di negeri ini,”cetus Abu Nuwas. Daeng Te’ne mengangguk.

“Bagaimana iklim di sini. Di negeriku yang dikenal hanya musim panas dan musim panas sekali,” cetus Abu Nuwas.

Daeng Te’ne tak mau kalah. Dia langsung menjawab, “Oo.. di sini juga hanya dikenal musim hujan dan musim hujan lebat.”

Abu Nuwas tersenyum. Daeng Te’ne balas tersenyum.

“Tak ada hujan kah di negeri Wan Abu?” tanya Daeng Te’ne.

“Tentu ada. Tapi hanya sekali sekala,” ujarnya. “Itu pun tak lama. Sekadar meredam debu beterbangan dari gurun pasir.”

“Bagaimana mungkin tak ada pergantian musim, Wan?” kejar Daeng Te’ne.

“Ya mungkin saja. Karena itu, di negeri saya, satu-satunya yang tak mungkin diharap adalah hujan turun berhari-hari. Dan satu-satunya yang tak mungkin kami kendalikan, adalah angin panas dari gurun pasir,” tanggap Abu Nuwas.

“Kami bersyukur, negeri kami ini negeri yang kaya. Tuan sudah lihat sendiri kan? Meskipun kami hanya mengenal musim kemarau dan musim hujan, kini kami sudah bisa merekayasa hujan turun di musim kemarau dan panas terik di musim penghujan,”ungkap Daeng Te’ne.

Abu Nuwas mengangguk. Daeng Te’ne terus bercerita.

“Alhamdulillah, semua bisa kami kendalikan di negeri ini, termasuk iklim. Dengan begitu, kami bisa beradaptasi dengan macam-macam hawa,” ujar Daeng Te’ne dengan bangga.

Abu Nuwas mengernyitkan kening.

“Di negeri ini tuan bisa kendalikan hawa?” tanya Abu Nuwas.

Daeng Te’ne mengangguk.

 “Ah, Daeng berbohong,” tukas Abu Nuwas. “Saya tak yakin bangsa tuan bisa mengendalikan hawa. Mengendalikan satu hawa saja kalian pening..,” lanjut Abu Nuwas.

Kini giliran Daeng Te’ne yang terperangah.

Abu Nuwas terus ngoceh. “Semenjak berada di negeri ini, lewat televisi saya menyaksikan berbagai peristiwa, seperti kerusakan alam dan lingkungan, termasuk kebakaran hutan. Itu semua merupakan bukti, bangsa tuan tak mampu mengendalikan hawa,” cetus Abu Nuwas.

Daeng Te’ne mengernyitkan kening. Ia menolak argumentasi Abu Nuwas.

“Coba sebut satu saja hawa yang tak bisa kami kendalikan...,” tantang Daeng Te’ne.

Abu Nawas terkekeh, lalu menukas, “Bangsa tuan tak mampu mengendalikan hawa nafsu.”

Daeng Te’ne tercekat. Dia menyesal telah menantang Abu Nuwas. |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya