Hilang

| dilihat 2570

 

APA bukti fana dan kefanaan hidup manusia di dunia? Bagi saya, jawabnya adalah hilang. Sesuatu yang kerap bersama kita dan kita anggap sebagai milik kita, lalu tiba-tiba raib, tanpa kita ketahui musababnya, itulah yang disebut hilang.

Dalam bahasa lain, saya memaknakan hilang, sebagai ‘kembalinya sesuatu yang tiada kepada tiada. Maknanya bisa jasadi atau fisikal, bisa juga ruhi, non fisikal. Bentuknya bisa beragam. Mulai dari kehilangan benda, status, jabatan, dan bahkan nyawa.

Hilang dan kehilangan adalah sesuatu yang akan selalu mungkin dialami manusia. Siapapun dia. Dan sepanjang kita masih berada dalam kehidupan fana, yang amat sementara, hilang dan kehilangan akan menjadi bagian dari kita. Tak seorangpun bisa menghindar dari hilang dan kehilangan.

Hilang dan kehilangan tak bisa direncanakan, dan tak mungkin direncanakan. Karenanya, ketika hilang dan kehilangan menghampiri, yang boleh dilakukan adalah menerima realitas itu dengan tulus. Lantas, tak pernah mempersoalkannya lagi.

Bila kemudian hilang dan kehilangan memengaruhi kehidupan manusia, lalu menimbulkan dampak sosial, itulah takdir, realitas yang tak terhindari. Jalani saja. Sebagaimana kita menjalani hari-hari kehidupan yang selalu mempersandingkan keberadaan dengan ketiadaan.

Kewajiban manusia bukanlah mempersoalkan hilang dan kehilangan. Melainkan bagaimana memelihara sesuatu secara bertanggungjawab, agar ketika suatu saat raib begitu saja, kita memperoleh nilai lebih atasnya. Bahkan, untuk sesesuatu yang kehilangannya dapat direncanakan, kita perlu menjalani tanggungjawab itu dengan sebaik-baiknya.  Itulah pentingnya memahami hakekat amanah.

Dalam dimensi spiritual, yang paling asasi adalah saat manusia sampai pada kenyataan: raibnya nyawa atau ruh, saat kembali ke dimensi keabadian Ilahiyah. Pada saat itu, manusia hanya tinggal seonggok raga, yang perlahan juga akan lenyap ditelan bumi. Kemudian sirna begitu saja menjadi bagian dari anasir tanah secara kimiawi dan alamiah.

Pada titik tertentu, manusia yang bermula dari ketiadaan dan akan kembali kepada ketiadaan, Tuhan memberikan pelajaran tentang hilang dan kehilangan dari hal-hal sederhana. Mulai dari hilangnya benda yang menjadi tools dalam bekerja dan berkehidupan, sampai hilangnya ruh dari jasad. Pada titik itulah, Tuhan mengingatkan, bahwa manusia bukanlah sesuatu.

Karenanya, segala hal yang berkaitan dengan atribut dan status manusia, bukanlah sesuatu yang penting dan utama untuk dipertahankan. Apalagi hanya sekadar jabatan. Tugas manusia bukanlah mempertahankan jabatan sebagai sesuatu yang utama dan luar biasa. Karena kapan saja jabatan bisa hilang, raib meninggalkan kita.

Satu-satunya hal yang harus dilakukan manusia saat menyandang jabatan, adalah memperlakukan jabatannya sebagai amanah. Kemudian bertanggungjawab atas amanah itu.

Manusia boleh kehilangan segala hal, kecuali tanggungjawabnya kepada Tuhan, insan sesamanya, dan ghirah ilahiyah. Kecemburuan untuk selalu menjadi insan terbaik di sisi Allah. Termasuk di dalamnya, gairah untuk selalu mengabdi dan membaktikan diri kepada Allah: sumber segala sumber kehidupan.

Di tengah dinamika manusia memburu jabatan dan kekuasaan, yang perlu kita ingatkan adalah apa yang diburu, hanya mempunyai dua kemungkinan. Jabatan diperoleh sebagai amanah, sebagai peluang berbuat kebajikan, sebagai musibah, atau sebagai bencana. Lalu, setelah diperoleh, pada saatnya akan raib. Maka, jadikanlah jabatan dan kekuasaan, hanya sebagai alat untuk berbuat kebajikan dan beribadah kepada Allah, sepenuh hati. |

 

Editor : Web Administrator
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 821
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1088
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1341
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1481
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya