HAFID duduk bersandar di salah satu kursi Warönk Uma, hanya berjarak 30 senti saja dari pembatas ruang salat.
Saya tengok matanya mengerjap. Ade yang duduk di sebelahnya, memperhatikan sambil tersenyum.
Hafid menatap saya dengan tatapan mata jonga.
Tiba-tiba dia bertanya, “Bang.. dalam sejarah Islam, sejak kapan keberadaan polisi dikenal?”
Saya menggaruk kepala, meski tak gatal.
Sesaat saya teringat karya besar Ibnu Khaldun, Mukaddimah.
Dalam kajian sejarah Islam, Kepala Polisi untuk pertama kali dikenal pada masa daulat Bani Abbas, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai Era Abbasiyah. Lalu berkembang pada masa kekuasaan Turki Otsmani yang menebar pula sekularisma.
Ade menimpali. “Ketika seorang muslim menjadi polisi, apa yang harus dia lakukan? Apa tugasnya?”
Cak Ipul datang sambil tersenyum, dan menyalami setiap kami yang duduk di sayap kiri kedai makan.
Saya melanjutkan santapan lezat Woku dengan ikan segar, lalu merespon Ade.
“Tugas utama Kepala Polisi adalah menegakkan hukum, membanteras korupsi, menghentikan namimah (adu domba), menghancurkan pusat-pusat kriminalitas, memaksakan hukum positif yang sudah ditetapkan syari’at Islam, dan hukum-hukum muamalat yang dihasilkan oleh penyelenggaraan kekuasaan politik.”
“Wah.. polisi ngurusi hoax sudah sejak dulu ya?”sambar Hafid.
“Ya.. tapi esensinya bukan sekadar mengurusi hoax alias perwadulan. Ada yang lebih mendasar dari itu,”lanjut saya, sambil melirik Madi memotret kami.
“Apa itu?” sambar Cak Ipul, yang duduk agak jauh.
“Menciptakan kondisi kehidupan sosial yang aman, damai, tertib, dan harmonis sebagai cara menegakkan keadilan untuk semua,”lanjut saya.
Tampak Hafid mengangguk. Ade pun begitu. Saya tak bisa menduga, apakah anggukan itu tanda keduanya paham apa yang saya utarakan.
Maklum, Cak Hafid senang berprinsip, “Gua paham tapi gak mao ngerti..”
Saya melanjutkan. Saya katakan, karena tugas-tugasnya itulah Kepala Polisi, di Ifriqiyah, pernah disebut sebagai ‘hakim’, penegak hukum (bukan qadli – hakim pengadilan).
Pun begitu di Andalusia, kepala polisi disebut shahib al madinah, karena tugas rangkapnya sebagai walikota.
Sedangkan di Mesir, kepala Polisi disebut sebagai gubernur, karena Kepala Polisi sekaligus menyandang hudud, kewenangan memutuskan (hukum) atas masyarakat secara lebih luas.
Menurut Ibn Khaldun, kedudukan Kepala Polisi, sangat politis. Tidak berhubungan dengan para hukama yang menetapkan syari’at agama, yang lebih banyak mengurusi penetapan hukum dasar.
“Jadi Kepala Polisi sekaligus menjadi orang kanan khalifah? Sambar Cak Ipul. Hafid melirik Ipul.
“Ya, begitulah.. Orang kepercayaan khalifah dalam melakukan pencegahan, penanggulangan, dan pemberantasan kejahatan kriminal, jenayah. Karenanya, kepada Kepala Polisi dan seluruh orang-orang pilihan yang menerima amanah sebagai polisi, diberikan qarinah, yaitu hak untuk memaksa semua pelaku kriminal menghentikan kejahatannya,”jawab saya.
“Jadi jelas. Polisi harus berjarak dengan siapapun yang berpotensi melakukan jenayah, tindakan kriminal?”sambar Ade.
Saya mengangguk.
Menurut Ibnu Khaldun, untuk menjalankan fungsi kepolisian semacam, itu Daulat Abbasiyah memberikan tugas yurisdiksi kepada polisi : mengawasi dan melayani pejabat pemerintahan, melindungi mereka dari kecenderungan raswah (kolusi - korupsi – sogok menyogok) yang biasa (atau berpotensi) dilakukan oleh sanak kerabat dan kelompok ashobiyah para pemilik otoritas, serta para mawla-nya.
Akan halnya petugas polisi awam di tataran khalayak ramai yang berhubungan langsung dengan rakyat, tugas utama polisi adalah melayani dan melindungi masyarakat.
Menjadi Kepala Polisi pada jaman khilafah, pasca khulafa ur rasyidiin, merupakan batu loncatan untuk menjadi wizarah dan hijabah yang merupakan posisi fungsional tertinggi dalam pemerintahan, sesudah khalifah.
Dalam konteks trias politica, wizarah dan hijabah termasuk dalam ruang otoritas yudikatif, bersama Jaksa dan Hakim.
Saya lihat Hafid, Ade dan Ipul mengangguk. Lalu diam seketika, kala terdengar adzan yang lirih dan mengekspresikan derita kaum pinggiran.
Konon, cerita Sofhian, adzan itu dikumandangkan muadzin di masjid persis di belakang warung. Muadzin itu berprofesi sehari-hari sebagai pemungut sampah di kampung sebelah warung.. |