Ironi Krisis Minda

| dilihat 4612

KETIKA Pascal menulis sesanti: “Kemuliaan manusia terletak pada pikirannya” dan Victor Hugo menuliskan: “Pikiran merupakan kekuatan yang sangat efektif,“ kita perlu tercenung menyaksikan realitas kehidupan sehari-hari. Di sini  Pascal dan Hugo hanya menggarisbawahi apa yang diisyaratkan Tuhan tentang kewajiban manusia untuk berfikir. Khasnya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tersaji melalui realitas fenomena kehidupan (manusia dan alam semesta).

Pascal, Victor Hugo dan para begawan lainnya sampai pada kesimpulan semacam itu, karena mereka berfikir proporsional tentang kemurah-hatian Ilahi memberikan akal sebagai alat berpikir kepada setiap manusia. Dalam ilmu imagineering, pikiran manusia merupakan selektor utama untuk menyeleksi mimpi menjadi imajinasi, yang kemudian diformulasikan sebagai aksi kreatif pendorong inovasi.

Pikiran manusia, tidak membiarkan mimpi hanya melahirkan ilusi dan fantasi, melainkan menyeleksinya sehingga dapat berkembang imajinasi. Pikiran tidak membiarkan diri kita masuk perangkap fantacy trap (jebakan fantasi). Bahkan mendorong, agar manusia mampu menentukan visi sebagai buah nyata dari imajinasi. Oleh sebab itulah Tuhan memberikan akal, serta naluri dan rasa, agar manusia berpikir komprehensip dan integratif.

Beranjak dari realitas semacam itu, Winston Churchill berkeyakinan, “Pikiran dan perasaan kita harus mengilhami diri sendiri sebelum mengilhami orang lain. Di dalamnya, harus tersimpan kebenaran faktual.” Inilah yang disebut manajemen integratif pikiran, naluri dan rasa, yang oleh Dwight Eisenhower dipandang sebagai modal untuk mengelola masyarakat, negara, dan bangsa.

Manajemen integratif pikiran, naluri, dan rasa memandu manusia untuk mampu membedakan fantacy trap dengan visi. Terutama, karena visi mengandung nilai dasar sebagai cerminan kehendak kolek­tif yang menegaskan prinsip want to be, berdimensi jauh ke masa depan. Di dalam visi menyatu nilai-nilai inspirasi dan aspirasi kolektif, yang memengaruhi kreativitas, inovasi, serta kinerja manusia. Nilai-nilai itulah yang membentuk tata pikir semestinya, yang kita sebut sebagai mindset atau minda.

Banyak persoalan bangsa saat ini, bermula dari minda yang semrawut, sehingga kita sulit membedakan mana ilusi, fantasi, dan imajinasi. Akibatnya, seringkali kita menganggap fantacy trap (jebakan fantasi) sebagai visi. Akibatnya, seringkali kita tak bisa mengurai dengan cerdas, beragam persoalan yang menyumbat kehidupan bangsa ini. Energi bangsa sering terkuras oleh persoalan-persoalan elementer yang diabaikan. Misalnya: tata niaga cabe, bawang, kedele, daging, dan lainnya yang kita tahu menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari.

Persoalan itu bercampur aduk dengan persoalan substantif tentang kebijakan fiskal, moneter, politik anggaran, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, transformasi demokrasi, infrastruktur dan suprastruktur peradaban, tata kelola sumberdaya alam, lingkungan hidup, dan sebagainya. Kesemrawutan minda bangsa ini sudah berkembang menjadi ironi tragis.

Kebebasan berpikir yang diperoleh dengan social cost sangat mahal, tidak termanfaatkan menjadi energi positif bagi bangsa ini. Bahkan menyumbat sinergi minda antar pengelola negara dan pemerintahan. Sekaligus melemahkan kemampuan untuk melakukan defragmentasi pemikiran. Hasilnya? Berbagai pemikiran kreatif dan inovatif berbuncahan dan berkembang secara sporadis, dan tak nampak di tengah dinamika sosial yang terus bergerak.

Penyebab semua itu adalah karena bangsa ini sedang mengalami surplus petinggi dan krisis elite, terutama di sektor politik dan pemerintahan. Elite yang kita maksudkan adalah (seperti diintroduksi begawan Thusi), yaitu kalangan yang dengan kemampuan intelektual dan otoritasnya, berkontribusi penuh mencerahkan kehidupan bangsa. Bukan sekadar kalangan yang menyandang posisi dan jabatan tinggi.

Akibatnya, bangsa ini kini, tengah dikepung fakta-fakta brutal: Kawung mabur carulukna, gula leungiteun ganduan, samak tingaleun pandanna. Cai herang kintun kiruhna, cai amis karih paitna. Kyai leungiteun aji. Pandita ilang komara. Kahuruan kunapsuna. Bangsa ini sedang mengalami degenerasi dan degradasi kader negarawan, kehilangan takaran (parameter) nilai, karena pemikiran yang keruh dan manipulatif. Lalu, rakyat tercekat kepahitan hidup. Para wiseman, hilang kearifan dan tak makbul lagi doanya. Para akademisi dan petinggi tak lagi berwibawa di mata rakyatnya. Mereka lumat, terbakar napsunya (untuk berkuasa).

Lantas? Segeralah kembali menjadi manusia cerdas yang mau dan mampu becermin mengenali diri. Introspeksi. Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengingatkan, “manusia cerdas adalah manusia yang tahu diri, sedangkan orang bebal adalah mereka yang tidak tahu dan tidak mau tahu dirinya.” |

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Energi & Tambang