Kambing

| dilihat 2048

ABU NUWAS meninggalkan kampung Kabayan. Dia dijemput Barok, anak Betawi untuk segera ke Betawi.

Sopir taksi online itu disuruh Mualim Cepol menjemput Abu, lantaran bakal ada kenduri besar yang kudu dihadirinya.

Belum lagi Abu Nuwas naik ke mobil. Iteung menghampiri.

“Wan Abu bade ka Batawi?” tanya Iteung.

“Heu’euh..”jawab Kabayan.

“Mampir heula di Bandung, teu?”

Kabayan mengangguk.

“Mun kitu.. sorban na dicopot heula atuh..”

“Naha kitu?”

“Sieun kang.. sieun..,”jelas Iteung sambol bergidik.

“Sieun kunaon?”

“Aya borokokok milarian jelema nu nganggo sorban... Bade diontrog jeung digebug ku dolken..”

Kabayan mengerutkan keningnya. Ia menjelaskan kepada Abu Nuwas, Iteung isterinya baru saja menjelaskan, bila mau mampir di Bandung, sebaiknya Wan Abu melepas sorbannya. Iteung takut. Karena di Bandung ada segerombolan orang mencari siapa saja yang pakai sorban, mau digerudug dan dipukuli pakai balok kayu.

Abu Nuwas mengernyitkan dahinya?

“Kenapa bisa begitu?” tanya Abu Nuwas kepada Iteung, yang wajahnya masih nampak pasi.

“Naha kitu, Iteung?”sela Kabayan meneruskan pertanyaan Wan Abu kepada Iteung.

Iteung menggeleng. Dia hanya menjelaskan, baru saja menonton televisi, sejumlah preman berhias tatto menggerudug sejumlah orang bersorban dan berpakaian macam Abu Nuwas, mengenakan thub.

Abu Nuwas tersenyum. Dia meyakinkan Kabayan dan Iteung, insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.

“Allah ma’anaa.. La tahzan..,”ujarnya. Allah bersamanya dan tak perlu kuatir. Tapi, wajah Iteung tetap saja kuatir menyaksikan Abu Nuwas masuk ke dalam mobil. Kemudian berlalu.

Caúk yang semula kuatir, jadi percaya diri. Mobil yang dikemudikannya pun bergerak perlahan meninggalkan kampung tempat tinggal Kabayan di perbatasan Garut dan Tasikmalaya itu.

Melaju di jalan tol Purbaleunyi, Ca’uk memacu kendaraanny, kemudian menurunkan kecepatan di atas jembatan Cisomang. Lepas dari Purwakarta, mobil masuk ke rest area untuk shalat dzuhur dan makan siang.

Tak lama kemudian keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke Jakarta. Lepas Ashar mereka tiba di kediaman Mualim Cepol.

Nama aselinya sih bukan Cepol, tapi Saiful. Tapi, karena ketika nyantri di dengan Mamak Safri di Sempur (sekarang sudah tenggelam jadi bendungan) Cirata, jagoan silat dan jago cepol, jadilah dia dijuluki Si Cepol.

Nama itu terbawa sampai kini, ketika usianya sudah 60 tahun lebih.

 Abu Nuwas buru-buru shalat Ashar, kemudian berbincang dengan sang Mualim di beranda mushalla. Abu Nuwas bercerita tentang apa yang diceritakan Iteung sebelum berangkat.

“Negeri kami sedang riuh, Wan.. Kejadian-kejadian konflik antar kelompok masyarakat, termasuk antara preman dengan Mualim sangat mudah terjadi,” ujar Mualim Cepol.

Abu Nuwas mengernyitkan dahinya.

“Bagaimana mungkin bisa terjadi. Hadza firdausi fid duniya.. (Ini setelempap surga di dunia),” balas Abu Nuwas.

“Sangat mungkin terjadi Wan Abu. Ketika akhlak tergerus, apapun bisa terjadi.”

Abu Nuwas mengangguk.

Keduanya asyik mengobrol, sampai masuk waktu shalat mahgrib. Jama’ah mushalla datang. Muadzin mengumandangkan adzan. Shalat maghrib yang dipadati jama’ah itu diimami oleh Abu Nuwas.

Selepas maghrib, usai berdoá, Abu Nuwas melanjutkan perbincangannya. Beberapa keponakan Mualim Cepol yang pernah kuliah di Al Azhar – Mesir dan di Baghdad datang, lalu ikut berbincang. Abu Nuwas senang hatinya, karena mendapat banyak cerita, informasi, dan pengetahuan tentang negeri Zamrud Khatulistiwa ini.

Abu Nuwas tersenyum, ketika salah satu kemenakan Mualim Cepol bercerita tentang praktik demokrasi di negeri, yang katanya berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.

"Kenapa Wan Abu tersenyum?" tanya salah satu keponakan.

Abu Nuwas meneruskan senyumnnya.

“Sudah hampir sebulan, saya rajin tersenyum. Saya senang sekali ada di negeri ini. Negeri tuan-tuan lucu sekali,” ungkapnya.

Mualim Cepol dan keponakan yang satu lagi tersenyum. Mualim Cepol tak mengingkari fakta, sejak usai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, penghujung 2014 memang banyak sekali hal lucu di negeri ini. Terutama karena banyak cerdik pandai dan mereka yang menyandang sebutan sebagai ulama dan Mualim, terseret arus politik praktis.

“Saya beroleh kabar dari Daeng Te’ne dan Kabayan, serta banyak orang yang bertemu dengan saya, ternyata siyasah begitu penting di negeri ini,” jelas Wan Abu.

“Lalu, karena siyasah itu, banyak sekali orang bergaduh tentang banyak hal. Akibatnya negeri ini riuh dan riuh sekali..” lanjut Abu Nuwas.

Keponakan Mualim Cepol yang lulusan Mesir bicara. Dia katakan, di negeri demokrasi, hal semacam itu kan biasa saja.

“Menjadi tidak biasa, ketika orang bergaduh tanpa sebab yang jelas, yang menjadi alasan mereka bergaduh,”respon Abu Nawas, cepat sambil tersenyum.

Sambil tersenyum tipis, Abu Nuwas mengatakan,  "Saya harus tersenyum yang lebar, karena ternyata, ilmu siyasah di negeri ini, dahsyat. Bagai pusaran air. Tapi, kehilangan makna", lanjut Abu.

Mualim Cepol tertunduk. Dia mengakui dalam hatinya, sebagian besar petinggi politik, masih sibuk berpolitik dengan naluri. Belum menggunakan nalar politik atau nalar siyasah yang baik. Akal-akalan politik menelikung akal sehat.

Ta'awun politik yang dimaksudkan untuk berkhidmat kepada rakyat secara lebih berkualitas, tereduksi oleh kehendak berkongsi kuasa.

“Saya tidak tahu, di negeri ini, di mana kearifan politik tersembunyi?" tanya Abu, yang kali ini kehilangan rasa humor.

Abu Nuwas tertawa. Tawanya berderai. Sambil terkekeh dia berkata, "Ketika medan siyasah sudah menjadi pasar kambing, ahli politisi sibuk berdagang kambing, terutama kambing hitam, partai politik mengkapitalisasi rakyat dalam transaksi perdagangan kambing itu. "

Suasana perbualan mereka bertiga, tiba-tiba dibuyarkan oleh Oyot, yang terlihat lari tunggang langgang masuk Dewan. Mukanya agak pucat. Ia tersungkur dekat dengan kaki Abu Nuwas.

“Kambing? Tuan maksud politik dagang kambing?” tanya salah seorang keponakan Mualim Cepol.

Abu Nuwas mengangguk. “Sapi Wan.. sapi. Politik dagang sapi..,” ungkap sang keponakan.

Abu Nuwas keukeuh dengan istilahnya, politik dagang kambing. “Bagaimana mungkin saya sebut dagang sapi, kalau faktanya masih berdagang kambing,”jelas Abu Nuwas.

“Politisi tak berdagang sapi, karena masih sibuk dengan kambing hitam,”seru Abu Nuwas.

“Ane gak sepaham ame ente, Wan Abu. Ente kan belon tahu banyak, gimane tiap tahun pedagang daging kelojotan lantaran stock sapi abis. Makenye, terus-terusan deh kebijakan impor sapi berlangsung,” jelas Mualim Cepol.

“Tiap mao lebaran, harga dagang sapi ngelonjak. Gak kire-kire harganye..,” sambung Mualim Cepol.

“Ah Cing.. kalo soal harga yang ngelonjak dan ngelunjak.. bukan cuman daging sapi doang. Harga cabe sekarang ude ngelonjak dan ngelunjak, nyamain harga daging sapi,”balas keponakannya yang lain.

Usai berbincang dan shalat Isya’ di mushalla, Mualim Cepol  mengajak Abu Nuwas menuju ke rumahnya, yang berjarak hanya beberapa meter saja. Belum lagi tiba di rumah Mualim Cepol, tiba-tiba Abu Nuwas mendengar sesuatu..

“Embeeeeekkkkk...,”terdengar suara kambing mengembik. Abu Nuwas spontan menoleh ke arah datangnya suara, lalu berbisik kepada Mualim Cepol. “Kambing kan? Bukan sapi.. “serunya. Mualim Cepol tersipu. Dua keponakannya tersenyum.  |

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 208
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 414
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 420
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 391
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya