Bang Sèm
Banyak pahlawan di negeri ini. Bahkan, mereka yang dipuji perannya tapi diabaikan nasibnya : pahlawan tanpa tanda jasa dan pahlawan devisa.
Mereka yang memperoleh penghargaan negara dan diberi status sebagai pahlawan nasional, tentu mereka yang sungguh berjasa. Tak hanya dalam memerdekaan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Jauh dari itu, mereka yang menjadi khashshas - elite yang sesungguhnya -- yang keberadaannya mencerahkan bangsa, yang eksistensinya menjadi suluh teladan berbangsa secara total, pun pahlawan yang patut beroleh sandangan pahlawan nasional dari negara.
Lebih dari dua dasawarsa lalu, dalam berbagai artikel dan kolom saya di berbagai media cetak, saya memaknai pahlawan adalah mereka yang sampai akhir hayatnya konsisten mewujudkan prinsip civil servant dan civic mission dalam beragam bentuk dan pola aksinya di tengah masyarakat - negara - bangsa.
Tentu, pemahaman saya tentang pahlawan berbeda dengan pemahaman Michelet (1874) yang menyebut spirit keilahiahan dalam laku kehidupan insaniah. Manusia setengah dewa.
Saya cenderung sepaham dengan gambaran pahlawan seperti karakter Rhine dalam legenda Nibelungen, pembelajar dari Göttingen. Gambaran peran substantif manusia di tengah lingkungan sosialnya, seperti digambarkan Van der Meersch (1935) : pahlawan adalah mereka yang mampu mewujudkan sistem nilai tertentu (dari suatu masyarakat, negara dan bangsa) yang merupakan cita-cita kekuatan jiwa dan peninggian moral. Manusia yang ada dan karyanya meresonansi kebajikan.
Mereka adalah manusia yang berani dan mampu mengorbankan kepentingan personal untuk sebuah ide yang semayam di kepala mereka, lantas mereka wujudkan untuk kebaikan kolektif. Tentu dengan menghadapi segala risk atas dirinya sendiri.
Alhasil, pahlawan adalah pejuang luar biasa untuk keberanian dan rasa pengorbanannya, termasuk Grande Armée, dari suatu revolusi dan perubahan yang menambah-baik suatu bangsa. Bukan mereka yang hanya sekadar mampu meninggalkan monumentasi di masa berperan formal.
Tapi, seperti diramalkan Mallarmé (1874), akan tiba masa (saya yakini, masa itu adalah saat ini) pahlawan hanyalah mereka yang populer, menjadi objek perhatian dan pertimbangan umum, seolah-olah telah berjasa kepada bangsanya. Padahal mereka sedang melakukan reduksi sistem nilai terbaik.
Saya bersyukur, pada peringatan Hari Pahlawan 2018 ini, Negara menabalkan perjuangan Abdurrahman (AR) Baswedan, Pangeran Noor, Kasman Singodimedjo, KH Syam'un, Depati Amir, dan Agung Hajjah Andi Depu sebagai Pahlawan Nasional. Nama-nama yang sejak saya kecil -- karena cerita orangtua -- sebagai figur-figur teladan yang berjasa bagi bangsa ini.
Bukan karena mereka (di antaranya) menyandang peran fungsional dan posisi struktural sebagai petinggi negeri (Menteri, misalnya). Melainkan karena mereka memberi kontribusi besar yang nyata bagi bangsa ini, melalui perjuangan dan pengorbanan mereka masing-masing.
Keenam sosok pahlawan nasional yang ditabalkan tahun 2018 ini merupakan teladan untuk memahami lebih mendalam dan mendasar ihwal Indonesia dan ke-Indonesia-an. Khasnya kemampuan mendistribusikan spirit dan gagasan ihwal "Persatuan" - sila ketiga Pancasila. Satu-satunya sila berawalan "per." Akan halnya Pangeran Noor, mesti diteladani ihwal bagaimana memilih prioritas pembangunan awal bangsa ini yang berdampak kemakmuran berkeadilan.
Keenam Pahlawan Nasional ini memperjelas esensi pahlawan dan kepahlawanan dalam dimensi kebangsaan yang luas, menghilangkan "aku, kau, kami, kalian," menjelma menjadi "kita." Memahami realitas kebangsaan sejati, karena ber-bhinneka, maka prime of mind-nya adalah tunggal ika. Tidak terbolak-balik. tanpa klaim, sesanti, dan sticker.
Mereka adalah pahlawan sukma.
Kelak, ketika kemerdekaan bangsa ini mencapai seabad, masih akan adakah tokoh-tokoh bernilai kepahlawanan sebagaimana mereka? |