PITUTUR

| dilihat 6070

MALAM temaram oleh cahya rembulan. Di atas amben yang terletak di pojok beranda rumahnya, Cangik tengah melantunkan tembang. Lantunan Asmarandana dengan suara yang kadang tinggi, itu ia seolah tengah melayang ke balik awan.

Fantasinya mengembara. Seolah-olah di balik awan itu, ia tengah bermesra kasih dengan Sawerigading. Memang,  sejak melihat Sawerigading di kedai gambuh, Cangik bagai sedang dimabuk asmara. Limbuk membiarkannya sendiri.

Ia lelap dalam tidur dan mengembara dengan mimpinya sendiri. Di alam mimpinya, itu ia seolah sedang berada di balairung istana kerajaan yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

Cangik membangunkan puterinya, itu dan memapahnya ke dalam. Melihat Limbak terlelap, Cangik kembali ke beranda. Duduk kembali di amben, sambil bersandar ke dinding rumah. Tembang Asmarandana, terus mengalir dari celah bibirnya. Kadang terasa menggetarkan sukmanya yang terdalam.

Bilung yang sedang mendampingi Sawerigading keliling desa, sempat berhenti sejenak di pertelon tak jauh dari rumah Cangik. Ia terpana dengan suara perempuan yang kerap malu-malu acap jumpa dengannya itu.

Suara Cangik juga menggugah Sawerigading. Bilung agak gedhe rumangsa mendengar tembang asmarandana yang mengekspresikan kerinduan, keprihatinan karena hidup sendiri, amarga ketamaan asmara.

Mendengar tembang itu, Sawerigading teringat sinrilik berpadan pakacaping, dua pola tutur sastra lisan yang biasa disajikan dengan iringan kecapi Bugis. Fantasinya tentang sinrilik segera hadir, ketika keduanya kian dekat dengan rumah Cangik.

Ketika itu, Cangik tengah menembang sekar gambuh. Tembang bernada lima gatra mengekspresikan sikap lugas, blaka, tanpa ragu-ragu dengan ungkapan lirik berisi nasihat. Pitutur.

 “Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa kapatuh, katuruh pan dadi awon,” lantun Cangik. Bilung menjelaskan maknanya: Sekar gambuh pola yang keempat. Yang menjadi bahan perbincangan adalah perlaku yang tidak teratur. (Watak manusia yang) tidak mau mendengar nasihat, semakin lama kian tak terkendali, (tanpa disadari) hal itu akan berakibat buruk.

Sawerigading menyerap tembang itu sambil terus melangkah dan mendengarkan penjelasan Bilung. Cangik terus melantunkan sekar gambuh, dengan lirik penuh nasihat.

Aja nganti kabanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos,” lantunnya. Syair dalam lirik itu biasa disampaikan orang tua kepada anaknya.

Maknanya, ungkap Bilung, “Jangan sampai kau terlanjur dengan perilaku yang tidak jujur. Jika sudah telanjur akan mecelakakan. Hal itu tidak baik. Oleh karena itu, berusahalah (mengamalkan) ajaran yang sejati.” Ajaran sejati itu bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan yang menjelma sebagai hukum sosial seperti diceramahkan Sawerigading.

Ajaran sejati itu adalah ajaran yang benar. Ajaran berisi nilai-nilai yang patut diikuti, walaupun ajaran itu datang dari mereka yang rendah derajatnya. Namun, jika baik dalam mentransformasikannya, pantas diterima. “Tutur bener puniku, sayektine apantes tiniru, nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo,” ujar Bilung.

Kepada Bilung, Sawerigading mengatakan, di kampung halamannya, terkenal cendekiawan Nenek Mallomo.’ Meski tidak datang dari kalangan bangsawan, nasihat-nasihatnya diterima para raja. Termasuk ajarannya tentang penegakan hukum.

Bahkan Nenek Mallomo’ sendiri yang merekomendasikan kepada raja hukum yang harus ditimpakan kepada anaknya, ketika sang anak bersalah, melanggar hukum.

“Dalam hal menegakkan hukum, tak berlaku pilih kasih. Semua manusia harus diposisikan sama dan setara di hadapan hukum,” tegas Sawerigading.

Keduanya terus melangkah, menjauh dari kediaman Cangik. Tembang gambuh dengan suara Cangik yang khas, pun kian terdengar sayup-sayup.

Aja ngandelaken sira iku, suteng nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digang, ing wasana dadi asor.” Janganlah menyombongkan diri karena (posisi sebagai) putra raja, sehingga merasa tidak mungkin ada yang berani. (Sikap) itu (merupakan) tabiat adigang, yang berujung pada keadaan yang (dapat) merendahkan martabat.

Sawerigading mengangguk, ketika Bilung mengatakan, kini banyak sekali manusia terjebak sikap adigang. Merasa diri punya kuasa dan akan dilindungi bila terperosok masalah hukum.

Pemimpin yang baik, tak akan melindungi ‘anak-anaknya’ bila terkena kasus hukum. Apalagi kasus-kasus terkait suap, korupsi, upeti, dan pemerasan.|

Editor : sem haesy
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 918
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1411
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1557
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1157
Rumput Tetangga
Selanjutnya