R A C A U

| dilihat 2178

BILUNG sedang sarapan pagi bersama Jayeng Tinon, Pahit Lidah, Pak Belalang, dan Kabayan. Para kawula pun ramai di situ. Dalam pandangan Kabayan, bila Kedai Gambuh Mban Pedagangan ramai, tandanya perekonomian desa Indrajaya sedang berkembang baik. Berbeda dengan pandangan Pak Belalang.

“Bila kedai ramai kala pagi, kemungkinannya bisa beragam. Bisa para isteri malas memasak untuk suami dan anak-anaknya. Bisa juga para suami mulai bosan dengan masakan istri,” cetusnya.

Pahit Lidah menyimak pandangan itu. Ia melirik Bilung. “Bagi kita, yang hidup sendiri, sarapan di kedai seperti ini, kan lebih sangkil dan mankus,” cetus Bilung. Maksudnya, lebih efektif dan efisien.

“Sudahlah. Tak ada hubungannya kawula yang banyak sarapan pagi di kedai dengan semua yang kalian omongkan. Ini sudah menjadi gaya hidup baru,” ujarnya.

Percakapan mereka terhenti. Trinil, sahabat Limbuk tergopoh-gopoh datang ke kedai, mencari Bilung. “Paman... Paman, Limbuk nasdem (panas demam) sudah beberapa hari. Dia memanggil-manggil nama paman Bilung terus. Segeralah tengok, Bu Lik Cangik mengharap paman menengok,” ujarnya.

Usai menuntaskan sarapannya dan membayar, Bilung pamit, dia bergegas ke rumah Cangik. Benar, di sana dia mendapati Limbuk sedang tidur menggigil. Panasnya turun naik. Wajah Limbuk pucat pasi.

Cangik menjelaskan, dia sudah memborehi tubuh Limbuk dengan aneka ramuan. “Kidung jampi melawan santet juga sudah kutembangkan sepanjang malam. Tapi Limbuk terus saja nasdem,” ujarnya.

“Ah, mengapa dinda menembangkan kidung jampi melawan santet. Limbuk sedang mengalami pancaroba,” ungkap Bilung. Hatinya trenyuh, Limbuk memanggil-manggil terus namanya.

“Paman sudah di sini, Nduk.. Segera sembuh ya.. !?”

Limbuk membuka matanya. Bibirnya senyum tipis. Bilung meminta Bangik menyediakan sebaskom air sejuk. Juga serbet. Bilung mengompres kening Limbuk. Mulutnya merapalkan do’a. Mata Limbuk terpejam. Bilung juga memijat-mijat telapak kaki anak semata wayang Cangik.

Ketika menyaksikan Limbuk tertidur dan tidak meracau lagi, Bilung terus mengompres kening gadis yang amat berharapnya menjadi ayah. “Beberapa hari ini, dia memang menanyakan sampean terus,” cetus Cangik sambil menjelaskan, Limbuk sakit sejak bertemu Basudewa.

“Saat itu dia ketus sekali. Gak isa jaga lambe. Makanya, saya kuatir Basudewa kesal, lalu merapal santet..,” ungkap Cangik.

“Husy... Jangan biasakan diri berburuk sangka kepada orang.”

“Ini bukan buruk sangka. Wong lagi sehat, habis ngetusi Basudewa koq kontan sakit begini. Siapa yang gak curiga.”

‘Sudahlah. Tak usah dibahas soal itu.”

Bilung menasehati Cangik untuk tidak berfikir yang aneh-aneh. Apalagi mikir soal santet yang akan menjauhkan diri kita dari Tuhan. “Sapa sing nyembah lelembut iku keliru. Jalaran lelembut iku sejatine rowangira. Lan ora perlu disembah kaya dene manembah marang Pangeran,” ujar Bilung. Siapa saja yang mengagungkan lelembut, berarti dia sudah bertindak keliru. Salah jalan. Lelembut itu, temanmu sendiri. Tak lebih hebat dari dirimu.

Percakapan mereka terhenti, ketika tiba-tiba Limbuk seperti meracau. “Lelembut iku, Cangik..,” racau Limbuk. Cangik kaget dan mendelik. Dia pikir Limbuk sedang kesurupan. “Sapa sampean, wani to karo aku?” lanjutnya.

Limbuk tiba-tiba tertawa ngakak. Matanya tetap terpejam. “Cangiiik... Cangiiik.. Siapa yang takut dengan kamu, artinya orang bersalah, orang mencuri dandang dan kendimu. Tapi, siapa yang mencuri hati dan ragamu, dia seorang pemberani dan tidak bersalah,” racau Limbuk lagi.

Cangik dan Bilung saling tetap. “Kalau begitu, sayalah yang akan mencuri hati dan raganya Cangik,” seru Bilung spontan. Cangik tersentak, tersipu, dan merasakan kebahagiaan. Limbuk tertawa. “Ya.., ya.. Bilung memang pemberani,” racau Limbuk, lalu tidur lagi. Bilung terus mengganti kompres di kening Limbuk. Panasnya mulai turun.

Bilung meminta Cangik mengambil ramuan kayu putih dan memborehi tubuh Limbuk dengan ramuan itu. Bilung berjalan ke arah pintu, ketika Cangik memborehi sekujur tubuh gadisnya itu.

Cangik menghampiri Bilung yang duduk di amben depan rumah. “Aku kepikiran Basudewa. Pasti dia nyantet anakku,” ujarnya. Bilung menasehati lagi. “Tak baik menuduh orang berbuat jahat kepada kita,” ujarnya.

“Kalau benar gimana?”

Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe,” jawab Bilung. Maksudnya, siapa yang gemar mengganggu ketentraman orang lain, pasti akan dihukum oleh Tuhan. Dia akan dipermalukan oleh perbuatannya sendiri.

“Sudahlah, jangan menduga-duga. Berbaik sangka saja,” ujarnya. |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang