Berharap Rumah Layak

| dilihat 1689

AKARPADINEWS.COM | PRESIDEN Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). PP itu diharapkan dapat mempercepat penyediaan perumahan layak huni, khususnya untuk MBR sesuai target Program Satu Juta Rumah yang tengah direalisasikan pemerintah. Kepemilikan rumah layak huni dengan harga terjangkau menjadi harapan MBR di kala kian melambungnya harga rumah. 

PP yang ditandatangani Presiden pada 29 Desember 2016 itu menjelaskan, pembangunan perumahan untuk MBR, dilakukan di lahan tidak lebih dari lima hektare dan paling kurang 0,5 hektare, serta harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Dalam proses konstruksi, badan hukum yang akan melaksanakannya, terlebih dulu harus menyusun proposal kepada bupati atau walikota, dengan menyertai perencanaan dan perancangan rumah, sarana prasarana, utilitas umum perumahan MBR, perolehan tanah, dan perizinan. Usulan juga dilengkapi sertifikat tanah dan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan tahun terakhir.

Pelaksanaan konstruksinya mengacu pada dokumen rencana teknis yang disetujui dan disahkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PTSP. Lalu, pemerintah daerah melakukan pengawasan pelaksanaan konstruksi agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan hukum kemudian mengajukan penerbitan sertifikat laik fungsi untuk rumah MBR, prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan MBR yang berbentuk gedung kepada PTSP. Sertifikat laik fungsi itu berlaku selama 20 tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret, serta berlaku lima tahun untuk bangunan gedung.  

Sebelumnya, pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII tentang Perumahan untuk MBR. Paket itu menghilang perizinan lokasi (dengan waktu 60 hari kerja), persetujuan gambar masterplan (dengan waktu 7 hari kerja), rekomendasi peil banjir (dengan waktu 30-60 hari kerja), persetujuan dan pengesahan gambar site plan (dengan waktu 5-7 hari kerja), dan Analisa Dampak Lingkungan Lalu Lintas (dengan waktu 30 hari kerja).

Lalu, perizinan yang digabungkan, meliputi Proposal Pengembang (dengan dilampirkan Sertifikat tanah, bukti bayar PBB (tahun terakhir) dengan Surat Pernyataan Tidak Sengketa jika tanah belum bersertifikat, Izin Pemanfaatan Tanah (IPT)/Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) digabung dengan tahap pengecekan kesesuaian RUTR/RDTR wilayah (KRK) dan Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah/Advise Planning.  

Pengesahan site plan diproses bersamaan dengan izin lingkungan yang mencakup Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) sampai dengan luas lahan 5 hektar, dan diproses bersamaan dengan izin lingkungan, rekomendasi damkar, dan retribusi penyediaan lahan pemakaman atau menyediakan pemakaman.

PKE XIII juga mempercepat perizinan Surat Pelepasan Hak (SPH) Atas Tanah dari Pemilik Tanah kepada pihak developer (dari 15 hari menjadi 3 hari kerja), pengukuran dan pembuatan peta bidang tanah (dari 90 hari menjadi 14 hari kerja), penerbitan IMB Induk dan pemecahan IMB (dari 30 hari menjadi 3 hari kerja).

Lalu, evaluasi dan penerbitan SK tentang Penetapan Hak Atas Tanah dipercepat dari 213 hari kerja menjadi 3 hari kerja, pemecahan sertifikat atas nama pengembang (dari 120 hari menjadi 5 hari kerja), dan pemecahan PBB atas nama konsumen (dari 30 hari menjadi 3 hari kerja).

*****

Program Satu Juta Rumah direalisasikan pemerintah pusat dan daerah, bersama dunia usaha dan masyarakat. Program itu memudahkan MBR memiliki rumah layak karena kewajiban uang muka hanya satu persen dari harga jual rumah. Sebelumnya, uang muka mencapai 10 persen sehingga menyulitkan MBR.

Program itu perlu direalisasi secara serius oleh pemerintah. Karena, pemenuhan kebutuhan akan rumah layak huni adalah amanat konstitusi. Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 menyatakan, setiap warga negara berhak tinggal di rumah dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sementara fakta menunjukan, masih banyak warga yang belum memiliki rumah layak huni.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, kebutuhan perumahan hingga tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit atau sekitar 1,2 juta unit per tahun. Karenanya, dibutuhkan intervensi pemerintah lewat kebijakan yang dapat membuat harga rumah terjangkau, memangkas perizinan, penyediaan lahan, insentif bagi swasta, dan sebagainya.

MBR, yang tinggal di bukan rumah milik sendiri, butuh fasilitasi agar dapat memiliki hunian layak, meski secara bertahap. Tanpa stimulan dari pemerintah, sampai kapan pun mereka tidak akan bisa memiliki rumah.

Kebijakan pemerintah di sektor perumahan diharapkan dapat menjadi solusi di kala dukungan dana perbankan yang kurang. Sumber pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada umumnya berasal dari dana jangka pendek (deposito dan tabungan). Sementara sifat kredit kepemilikan rumah umumnya jatuh tempo jangka panjang. Kurangnya sumber pembiayaan perumahan jangka panjang itu yang menyebabkan pasar perumahan menjadi tidak sehat.

Upaya pemerintah merealisasikan Program Satu Juta Rumah patut diapresiasi. Meski belum mencapai target, program tersebut telah terlihat hasilnya. Di tahun 2015, data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut, capaian program yakni sekitar 700 ribuan unit rumah. Di tahun 2016, pencapaiannya meningkat yaitu mencapai 805.169 unit rumah, dengan rincian, 569.382 unit rumah untuk MBR dan 235.787 unit rumah untuk non MBR.

Karena tingkat kebutuhan rumah masih sangat tinggi, di tahun 2017, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan, Program Satu Juta Rumah akan tetap dilanjutkan. “Program Satu Juta Rumah akan tetap dilanjutkan di tahun 2017 ini,” ujarnya di kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (3/1).

Kementerian tersebut optimistis, di tahun 2017, pencapaian program tersebut bisa ditingkatkan karena adanya kemudahan perizinan yang diberikan pemerintah dan dukungan pembiayaan perumahan bagi masyarakat melalui KPR FLPP.

Menurut Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Syarif Burhanuddin, porsi pembangunan untuk MBR dan non MBR di tahun 2017, tidak mengalami perubahan, yaitu 700.000 unit rumah untuk MBR dan 300.000 unit rumah untuk masyarakat non MBR.

Untuk mencapai target tersebut, Kementerian PUPR menggandeng kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, pihak pengembang, perusahaan melalui program corporate social responsibility (CSR), perbankan, dan masyarakat.

Infrastruktur Penunjang

Pemenuhan kebutuhan akan perumahan sangat penting karena menjadi indikator utama kesejahteraan rakyat. Rumah tidak hanya menjadi tempat manusia berlindung. Namun, menjadi ruang pembentukan watak, karakter dan kepribadian individu.

Rumah menjadi institusi sosial pertama yang mengajarkan individu mengembangkan interaksi, ruang tranformasi nilai, budaya dan pembentukan sikap maupun perilaku individu sebelum terjun ke masyarakat. Dengan demikian, rumah menjadi wadah pengembangan sumber daya manusia Indonesia di masa depan.

Sebuah rumah dikatakan layak huni, tidak hanya dilihat dari sisi fisik semata. Namun, mengutip kriteria UN Universal Declaration of Human Rights dalam UNESCAP (2008), keberadaan perumahan harus didukung kemudahan akses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan kemudahan akses pemenuhan kebutuhan pokok (air minum, bahan bakar, penerangan, fasilitas sanitasi, tempat pembuangan sampah, tempat pelayanan kondisi darurat, dan sebagainya.

Aksesibilitas ke tempat kerja, tempat penitipan anak dan fasilitas sosial lainnya, juga sangat penting. Lokasi yang jauh akan mempersulit kehidupan golongan masyarakat bawah. Mereka memang dapat hunian yang murah. Namun, pengeluaran akan bertambah lantaran biaya transportasi menuju tempat kerja, sekolah, pusat pelayanan kesehatan, dan fasilitas umum lainnya.

Sementara di sisi lain, perumahan yang dibangun di titik-titik strategis, sudah pasti harganya selangit. Di Jakarta misalnya. Keterbatasan lahan menjadi masalah utama bagi pemerintah dalam menyediakan perumahan bagi masyarakat.

Indonesia Property Watch juga telah melakukan survei terhadap beberapa pengembang rumah kelas bawah. Hasilnya, stok lahan (land bank) dari pengembang diperkirakan hanya bertahan selama 2 -3 tahun. Artinya, setelah itu, pengembang harus membeli lahan yang tentunya dengan harga yang tinggi bila tidak dikendalikan oleh pemerintah.

Pemerintah juga perlu memfungsikan lahan milik negara yang menganggur, yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk di kawasan perkotaan. Niat memanfaatkan lahan pemerintah itu sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya. Namun, tidak berjalan lantaran tidak sinkronnya masing-masing institusi.  Misalnya, batalnya rencana proyek Rusunami Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Kementerian Perhubungan, PT KAI, dan Perumnas, tidak menemukan kesepakatan.

Kementerian Perhubungan memiliki rencana membangun gedung operasional Balai Teknik Perkeretaapian wilayah Jakarta dan Banten. Sementara Perumnas berniat membangun rusunami berkapasitas 500 unit di atas lahan seluas 1,1 hektare dekat stasiun KRL Tanjung Barat tersebut.

Selain itu, penyediaan prasarana dan sarana prasarana permukiman sangat penting. Keterbatasan dukungan tersebut menyebabkan berkembang kawasan kumuh baru di perkotaan. Kondisi itu sulit dihindari karena tidak sinkronnya struktur infrastruktur kota, (jalan, pasar, lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan) dengan kawasan permukiman yang terbangun. Akibatnya, muncul urban sprawl (pemekaran kota) yang berdampak pada kemacetan dan ketidakteraturan.

Kondisi itu makin menjadi sulit seiring kian bertambahnya jumlah penduduk. Penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 180 juta jiwa, atau 65% dari total penduduk, yang tersebar di 16 kota metropolitan.

Selain penyediaan rumah layak, pemerintah juga perlu memaksimalkan program perumahan swadaya yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat, khususnya untuk MBR. Hal itu dapat membantu masyarakat yang memiliki rumah tidak layak huni lantaran keterbatasan biaya, kurangnya pemahaman akan konstruksi dan teknologi aman dan layak huni, keterbatasan ketrampilan, dan sebagainya.

Program tersebut diarahkan untuk meningkatkan kualitas rumah lewat pemugaran komponen bangunan yang rusak, tanpa perombakan. Dan, hal yang penting, memperhatikan kemampuan fungsi dan daya dukung lingkungan.

Realisasi program pembangunan rumah swadaya dilakukan di rumah pemilik yang pertama di atas tanah yang memiliki surat keterangan keabsahan. Pelaksanaannya membutuhkan partisipasi masyarakat, mulai perencanaan, penyiapan, hingga pelaksanaan dan pengelolaan. Perencanaan dan penyiapan disusun lewat rembug warga, penyepakatan aturan main, serta pendaftaran peserta dan penyusunan proposal.

Untuk memobilisasi partisipasi masyarakat tersebut, dibutuhkan peran organisasi lokal yang menjadi wadah penyampaian dan penyaluran aspirasi, pengambilan keputusan, perencanaan dan pembangunan perumahan dan permukiman. Organisasi lokal perlu dioptimalkan perannya untuk mengidentifikasi kebutuhan dan potensi sosial, mensosialisasikan program dan mengorganisir swadaya masyarakat untuk membantu MBR memperbaiki rumahnya.

Keterlibatan organisasi lokal sangat penting. Dalam proses pembangunan, kontribusi organisasi lokal dapat diarahkan untuk meningkatkan produktifitas masyarakat, menilai kebijakan dan program, menentukan prioritas, melaksanakan dan mengawasi pembangunan. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara/Setkab
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 217
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 430
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 429
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 399
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Energi & Tambang