Bila Rezim Pasar Kendalikan Harga BBM

| dilihat 1763
 
AKARPADINEWS.COM | Masyarakat dan kalangan pengusaha dibuat bingung oleh pemerintah. Pasalnya, pemerintah tiba-tiba menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM jenis premium yang semula Rp6.800 per liter, naik menjadi Rp7.300 per liter. Sementara harga solar dari Rp6.400 per liter naik menjadi Rp6.900 per liter.
 
"Biasanya, pemerintah dan Pertamina memberikan sosialisasi. Kenaikan saat ini mendadak, sehingga banyak warga yang tidak tahu," kata Arini, warga Sumbersari, Jember, Jawa Timur, akhir pekan lalu. 
 
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Istimewa Yogyakarta, Gonang Djuliastono menilai, kebijakan pemerintah yang terlalu cepat mengubah harga BBM berdampak ketidakpastian usaha. "Kalau (harga) BBM terlalu cepat berubah, pengusaha bingung menetapkan harga jual produknya di pasaran," ucapnya di Yogyakarta, Minggu (29/3). 
 
Bagi pengusaha, kenaikan harga BBM yang berakibat meningkatnya biaya produksi, memaksa dilakukan penyesuaian pembelian harga bahan baku maupun tarif transportasi. Akibatnya, daya saing produk pun menurun. 
 
Kekecewaan juga disampaikan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah. Dia memperkirakan, kenaikan harga BBM akan mempersulit pengendalian inflasi. "Kenaikan harga BBM otomatis membuat harga bahan pokok meningkat, ini mempersulit pengendalian inflasi," katanya di kantor Gubernur Bengkulu, Senin (30/3). Junaiidi mengaku kerepotan menyikapi kebijakan naik turun harga BBM dalam beberapa bulan terakhir. "Kalau harga BBM fluktuatif maka harga bahan pokok di pasaran menjadi tidak stabil," ucapnya.
 
Kenaikan harga BBM sudah pasti diikuti dengan kenaikan harga lainnya, khususnya sembako. Jika harga sembako naik, pemerintah sering kelimpungan mengendalikan pasar. Di Denpasar, Bali misalnya, harga buah tomat melonjak hingga Rp7 ribu per kilogram. Menurut Wayan Windi, pedagang di Pasar Kumbasari, Denpasar, kenaikan buah tomat sudah terjadi sejak Minggu (29/3) karena distribusi dari agen dibatasi akibat kenaikan BBM dan belum adanya panen raya dari petani. "Saat ini harga tomat per kilogram saya jual Rp7 ribu, sebelum harga BBM harganya anjlok hingga Rp3 ribu per kilogram," ujarnya. 
 
Ketua Komisi VII DPR, Kardaya Warnika menyesalkan kebijakan pemerintah yang tidak transparan itu. Sebelum reses pada Februari lalu, dia mengatakan, DPR menggelar rapat dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai mekanisme penetapan harga. Dalam kesimpulan rapat tersebut, Pemerintah akan menurunkan harga solar menjadi Rp6.400 per liter. "Kenapa sekarang malah dinaikkan?" katanya di Jakarta, Minggu (29/3).
 
Bukan kali pertama pemerintah menaikan harga BBM secara tiba-tiba. 1 Maret 2015 lalu, pemerintah menaikkan harga BBM Premium sebesar Rp200 per liter menjadi Rp 6.900 dari Rp 6.700. Setiap harga BBM dinaikan, Presiden Jokowi selalu berupaya mengelak menjelaskan. Jokowi meminta awak media agar menanyakan soal kenaikan harga BBM kepada Menteri ESDM. "Tanya ke Menteri ESDM," kata Jokowi singkat usai bertemu dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di Hainan, pada Jumat (27/3) malam. 
 
 
Idealnya, sebuah kebijakan, apalagi yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, harusnya diwacanakan dulu sebelumnya diimplementasi. Dari situ, akan diketahui pandangan pro dan kontra. Lalu, pemerintah mengidentifikasi masalah yang bakal muncul dan mencari strategi guna mengantisipasi agar tidak memicu persoalan baru. 
 
Masalahnya, pengumuman rencana kenaikan harga BBM sering dimanfaatkan spekulan untuk melakukan penimbunan. Namun, pemerintah juga harusnya paham psikologis masyarakat yang belum siap dengan penerapan kebijakan naik turun BBM. Lihat saja, demonstrasi menentang kenaikan harga BBM terjadi di sejumlah daerah. Jangan sampai, resistensi itu berubah anarkis dan semakin anjloknya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.  
 
Kebijakan juga harus dapat memprediksi masalah yang akan terjadi. Karenanya, pemerintah harus mengestimasi akibat dari kebijakan, termasuk implikasi politik yang muncul. Setelah itu, dilakukan monitoring dan evaluasi kebijakan guna mengetahui akibat dari pelaksanaannya sehingga dapat ditemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan. 
 
Namun, Menteri ESDM Sudirman Said nampaknya enggan berpolemik soal harga BBM. Dia menegaskan, masalah energi tidak hanya mengenai harga BBM. "Masa depan kita itu bukan lagi BBM, tapi energi baru dan terbarukan serta konservasi energi," katanya dalam seminar kelistrikan di Universitas Indonesia, Depok, Senin (30/3). 
 
Akibat terlalu mengurus BBM, kata dia, Indonesia lupa membangun ketahanan energi di masa mendatang. "Betapa banyak energi dan emosi kita habis untuk hanya memikirkan BBM, padahal sebetulnya masa depan kita itu bukan lagi minyak dan gas," ujarnya.
 
Sudirman mencontohkan potensi minyak dan gas bumi, batubara, energi baru dan terbarukan serta konservasi energi yang bisa dibangun untuk memenuhi kebutuhan energi. Karenanya, dia mengingatkan agar tidak lagi bicara kenaikan harga BBM. "Sudah harus mulai mengurangi komponen politik dan mulai ditumpuk komponen-komponen teknisnya. Karena penjara politik harus segera diabaikan, itu membuat kita lupa membangun hal yang sifatnya fundamental," katanya.
 
 
Indonesia memang harus mulai melepaskan diri dari ketergantungan BBM sebagai sumber energi. Namun, apakah pemerintah saat ini sudah memiliki roapmap tentang ketahanan energi ke depan? Sebenarnya, berbagai kebijakan sudah diterbitkan untuk mendorong ketahanan energi. Misalnya, Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang bertujuan mengamankan pasokan energi dalam negeri. 
 
Arah kebijakan itu adalah pada tahun 2025 dimaksimalkan energi primer mix sehingga peran minyak bumi hanya 20 persen. Lalu, peran gas bumi meningkat lebih dari 30 persen, batubara 33 persen, bahan bakar nabati (biofuel) meningkat lebih dari 5 persen, panas bumi menjadi 5 persen, serta energi baru dan energi terbarukan yang harus meningkat lebih dari 20 persen. 
 
Kemudian diterbitkan pula Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2006 tentang Penyediaan Bahan Bakar Nabati. Inpres tersebut adalah penugasan dari Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden kala itu, kepada 13 kementerian, dan seluruh kepala daerah untuk melakukan percepatan penyediaan dan pemanfaatan biofuel sesuai tugas dan fungsi masing-masing instansi. 
 
Selanjutnya, lewat Keputusan Presiden No.10 Tahun 2006, telah dibentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk pengurangan kemiskinan dan pengangguran lewat pengembangan biofuel, meliputi biodisel, bioethanol, maupun biooil.  Namun, berbagai kebijakan itu tidak optimal karena koordinasi antarkementerian dan instansi terkait  masih lemah. Kebijakan energi belum diikuti oleh langkah-langkah konkret dari masing-masing kementerian teknis dan instansi terkait. 
 
Indonesia seharusnya mencontoh Brasil, yang mengupayakan biofuel 20 persen di bawah kendali Menteri Pertanian sebagai pihak yang bertanggungjawab memasok tebu dan menyediakan lahan. Atau di Jerman, yang mengembangkan energi angin dengan otoritas kendali di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup. Pertanyaannya, sudah sejauhmana upaya pemerintah saat ini memastikan koordinasi antarinstansi dalam upaya menggejot produksi energi selain bahan bakar minyak? 
 
Belum lagi kendala politis. Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pengurangan subsidi juga sudah digelontorkan. Namun, parlemen menentang karena kebijakan itu dianggap merugikan rakyat. Dan, kubu yang paling gencar menentang itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kini berkuasa. 
 
Pemerintah juga sah-sah saja berdalih, kenaikan harga BBM tak bisa dihindari lantaran terjadi kenaikan harga minyak dunia dan nilai kurs dolar AS terhadap rupiah. Data Pertamina menyebut, harga indeks pasar dunia untuk premium meningkat 13 persen, sedangkan untuk solar meningkat 9 persen. Peningkatan harga itu lebih besar karena nilai kurs dollar terhadap rupiah mengalami peningkatan sebesar 3,4%.
 
Kenaikan harga minyak dunia memang sulit diperkirakan. Situasi politik dan keamanan di kawasan timur tengah paling dominan berpengaruh terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Jum'at (27/3), harga minyak merangkak naik akibat serangan jet-jet tempur Arab Saudi ke arah pemberontak di Yaman. Serangan itu memicu kekhawatiran produsen minyak mentah di Timur Tengah. 
 
Minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei, melonjak 2,22 dolar AS, atau 4,5 persen, menjadi 51,43 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Mei, melonjak 2,71 dolar AS menjadi di 59,19 dolar AS per barel.
 
Faktor penyebab naiknya harga minyak dunia juga karena ulah spekulan. Jangankan pemerintah, organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia (OPEC) saja tak kuasa menghadapi ulah spekulan. Upaya OPEC menggenjot produksi tidak serta merta menaklukan liarnya harga minyak. 
 
Dalih pemerintah yang menyebut kenaikan harga minyak dunia karena naiknya nilai tukar dolar merupakan cara paling mudah menghadapi tekanan publik yang menentang kenaikan harga BBM. Nilai tukar mata uang dolar AS hingga kini masih digjaya di hadapan rupiah, yakni  bertengger di atas Rp13 ribu per dolar AS. 
 
Masalahnya, pemerintah sendiri terkesan adem ayem mencermati pergerakan dolar. Pergerakan dolar AS diyakini tidak akan menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Memang, kondisi fiskal saat ini masih stabil. Gubernur BI, Agus Martowardojo menyatakan, cadangan devisa pada Februari 2015 berada di kisaran 114 miliar dolar AS. Cadangan devisa bisa digunakan untuk melakukan intervensi untuk beberapa bulan. 
 
 
Pemerintahan Jokowi-JK nampaknya tak mau repot menghadapi beban kenaikan harga minyak dunia sehingga menyerahkan sepenuhnya harga BBM kepada mekanisme pasar. Karenanya, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi BBM kepada rakyat. "Pemerintah tidak akan lagi subsidi terhadap BBM premium, harga ditetapkan sesuai dengan harga keekonomian," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil di Hainan, Tiongkok, Jumat (27/3) lalu. 
 
Kebijakan pemerintah yang memangkas subsidi BBM, menunjukan pemerintah Jokowi-JK tunduk pada rezim pasar, yang menentang intervensi pemerintah dalam menentukan harga BBM. 
 
Jika demikian, jangan berharap rakyat kecil dapat menikmati BBM yang bahan bakunya bersumber dari perut bumi Indonesia yang merupakan milik rakyat. Kebijakan itu jelas melabrak Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." 
 
Mekanisme pasar yang diperkenalkan Adam Smith pada dasarnya diarahkan untuk mendorong efisiensi dalam kegiatan perekonomian. Karenanya, Smith menentang intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian karena dapat menimbulkan inefisiensi. Smith menekankan pentingnya perluasan pasar yang memicu kegiatan produksi dengan tujuan memenuhi produk yang dibutuhkan masyarakat. 
 
Masalahnya, untuk komoditas utama, khususnya bahan bakar, keputusan pemerintah yang lepas tangan itu sangat menguntungkan segelintir orang dan merugikan rakyat banyak. Segelintir orang itu adalah mereka yang menguasai sarana-sarana produksi. Siapakah para pihak yang menguasai sarana produksi itu? Tak lain, perusahaan-perusahaan minyak asing yang mengeksploitasi kekayaan migas Indonesia. Di negara ini, hampir sebagian besar sumber-sumber minyak dan gas di eksploitasi perusahaan-perusahaan asing. 
 
M. Yamin Panca Setia
Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 84
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 239
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 270
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 714
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 871
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 822
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya