Dilema Pelabuhan Tanjung Priok

| dilihat 4473

AKARPADINEWS.COM | PELABUHAN Tanjung Priok sejak mula, merupakan pelabuhan untuk perdagangan internasional. Meski dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada abad XVIII, sebagai kelanjutan dari pelabuhan Sunda Kelapa, yang menjadi pelabuhan utama Pakuan Pajajaran.

Prabu Surawisesa, menggunakan Pelabuhan Sunda Kelapa untuk menguatkan hubungan dagang internasional dengan Kesultanan Malaka, abad XIV dan XV yang ketika itu dikuasai Portugis. Persisnya, ketika dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque (Alfonso d’Albuquerque), setelah meninggalkan Goa di Sulawesi Selatan pada 1515.  Ketika itu, Pajajaran melakukan ekspor tamarin (buah asem).

Dari berbagai data dan informasi, diketahui pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok disebabkan oleh padatnya arus barang dan jasa di Pelabuhan Sunda Kelapa. Baik untuk melayani hubungan dagang domestik Nusantara, maupun perdagangan internasional antara Nusantara dengan India, Eropa, Afrika, dan China. Persisnya, setelah Terusan Suez dibuka (1869), yang menyebabkan peningkatan arus kunjungan kapal ke Indonesia.

Artinya, sejak masa lalu, Pelabuhan Tanjung Priok memang telah menjadi pelabuhan dagang internasional, selain sebagai pelabuhan transportasi laut. Kini, dengan wilayah perairan seluas 424 ha dan wilayah daratan seluas 604 ha, dilengkapi dengan lima terminal (penumpang, barang konvensional – general cargo dan bulk -, dan terminal peti kemas), pelabuhan Tanjung Priok sudah tidak memadai lagi untuk menjadi strategic hub pelabuhan internasional.

Aktivitas operasional beberapa terminal, khususnya Terminal Peti Kemas (TPK) I -- beroperasi sejak 1980 -- dan TPK II -- beroperasi sejak 1982 --, yang dikelola oleh JICT (Jakarta International Container Terminal) – perusahaan patungan Pelindo II dan Gossbeak Pte Ltd sejak 1999, tak lagi mampu mewadahi arus barang dan jasa kepelabuhanan. Pun demikian halnya dengan TPK Koja yang dibangun bersama Humpuss Terminal Petikemas, sejak 1997.

Untuk menemukan solusi alternatif penguatan peran Pelabuhan Tanjung Priok ke depan, kini berbagai studi sedang dilakukan. Baik yang dibiayai oleh JICA maupun yang dibiayai oleh World Bank. Termasuk studi yang dilakukan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Studi yang dilakukan World Bank merekomendasikan pembangunan pelabuhan baru di Bojonegara, Banten. Namun sampai kini, masih menghadapi berbagai kendala. Terutama menyangkut pembebasan lahan.

Alternatifnya memang ideal, karena Banten merupakan provinsi dengan potensi industri yang juga berkembang. Namun, potensi itu juga dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat.

Sejak dua dasawarsa lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sudah mempertimbangkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya dan pengembangan Pelabuhan Cirebon. Untuk itu, jauh-jauh hari juga sudah dibangun dry port Gedebage – Bandung, dimaksudkan menjadi feeder, dengan moda transportasi kereta api. Namun, eksekusinya tak semulus rencana.

Banyak tantangan yang harus dijawab.

STUDI yang dilakukan ITB mengajukan rencana pembangunan berskala besar di Tanjung Priok yang dibagi dalam tiga fase: short term (2005), middle term (2010), dan long term (2020).

Lepas dari berbagai persoalan yang melesat belakangan hari, akibat lambatnya waktu bongkar muat (dwelling time), yang membuat Presiden Jokowi bersungut. Meski beberapa Dirjen (terutama dari Kementerian Perdagangan) sudah dicopot dan dijadikan tersangka, dwelling time belum seperti yang diharapkan pengguna jasa pelabuhan.

Sebagai pelabuhan yang sangat berperan penting, Tanjung Priok masih menghadapi beberapa masalah. Mulai dari pengembangan kapasitas, efisiensi – produktivitas, dan lingkungan.

Dari wilayah perairannya, Tanjung Priok mempunyai kendala manuvering kapal keluar masuk pelabuhan. Pelabuhan ini hanya mempunyai pintu masuk, sehingga lalu lintas kapal di seluruh kanal hanya dapat dilakukan satu arah (one way) dan overlapped dengan turning basin kapal. Kondisi ini, memperlambat waktu tunggu kapal yang akan bongkar muat.

Diperlukan waktu 2 sampai 2,5 jam dari pintu masuk sampai sandar di dermaga. Padahal, arus masuk kapal, kini rata-rata 80 kedatangan dan keberangkatan. Kelak, diperkirakan akan mencapai 120 kapal perhari. Kondisi berkaitan dengan pengoperasian dua pintu keluar masuk pelabuhan, dan upaya memperbesar ruang gerak kapal di pelabuhan dengan menggeser breakwater yang ada sekarang.

Keterbatasan ruang gerak kapal, akan menyebabkan utilisasi terminal peti kemas JICT dan TPK Koja akan terbatas hanya sampai sekitar setengah dari kapasitas potensialnya. Hasil perhitungan kapasitas dermaga saat ini adalah 3,4 juta TEUs pertahun, dan akan meningkat hanya menjadi sekitar 3,5 – 3,8 juta TEUs setelah selesainya terminal baru pada tahun 2004/2005. Hal ini jauh di bawah perhitungan forecast demand yang mencapai 4 – 4,5 juta TEUs pada 2012 dan 8 – 9 TEUs pada 2025.

Selebihnya adalah soal crowded-nya lalu lintas akibat manajemen lalu lintas yang tidak efisien dan menyebabkan kongesti di dalam dan di sekitar pelabuhan. Dampaknya, pergerakan barang di pelabuhan, terhambat. Tentu, banyak lagi tantangan dan hambatan.

Berbagai pemikiran tentang pengembangan pelabuhan Tanjung Priok terus berkembang. Antara lain, pemikiran tentang pembangunan Pelabuhan Cilamaya yang kemudian dibatalkan karena berbagai alasan. Termasuk alasan gangguan terhadap pipa gas Pertamina. Tawaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menggeser pembangunan pelabuhan ke Kabupateh Indramayu, seperrti mur tak bertemu skrup.

Pemerintah Pusat, Pemerintah DKI Jakarta, dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta berbagai pemangku kepentingan belum bertemu kesepahaman. Walaupun, masing-masing pihak berusaha menunjukkan mempunyai kepentingan yang sama : meningkatkan kapasitas perdagangan dan perekonomian nasional.

Dari sisi pandang luar, dalam pembangunan alternatif Pelabuhan Tanjung Priok, kepentingan China dan kepentingan Jepang saling bertumbur. Dan, Jepang, yang kecewa dengan Proyek Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung, menarik dirinya. Dua kepentingan itu akan memengaruhi banyak hal terkait dengan peran pelabuhan Tanjung Priok. Setarikan nafas, pembangunan terminal baru di atas laut, belum lagi rampung dan masih terus berlangsung. Diperkirakan baru bisa beroperasi tahun 2018.

Singapura berharap, pelabuhan Tanjung Priok selamanya menjadi hanya feeder port bagi pelabuhannya. Dengan demikian, poros Tanjung Priok – Port Klang akan terhambat selamanya. Dan, dengan begitu Singapura untuk membatasi peningkatan poisisi Tanjung Priok sebagai strategic hub.  Hal ini membuat pelabuhan Tanjung Priok menghadapi dilema. Padahal, dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN, mesti Tanjung Priok menjadi strategic hub untuk kawasan Barat, sedangkan Pelabuhan Soekarno – Hatta Makassar dan Bitung – Sulawesi Utara bisa menjadi strategic hub untuk Asia Timur.  | JM Fadhillah

Editor : sem haesy | Sumber : berbagai sumber
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 423
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 995
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 231
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 707
Momentum Cinta
Selanjutnya
Energi & Tambang