SBY : Bantu Jokowi dan Pemerintah

Ekonomi Melambat Rakyat Makin Susah

| dilihat 2829

AKARPADINEWS.COM | PEREKONOMIAN Indonesia sedang menukik dari masa sebelumnya (2014). Dalam enam bulan kepemimpinan Jokowi – JK, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan, menjadi sekitar 4 persen dari ambisi pertumbuhan 5,7 persen. Sebelumnya, Jokowi pernah sesumbar akan menggenjot sampai 7 persen.

Perlambatan itu disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari riuh gaduh politik praktis di awal pemerintahan, pemilihan menteri-menteri ekonomi yang tidak sepenuhnya kapabel dan kompeten, juga sisik melik persoalan. Plus, senang melempar kambing, alias menyalahkan orang lain.

Sejak Januari 2015 sudah diduga perekonomian Indonesia akan melambat. Mulai dari melemahnya nilai tukar rupiah, kebijakan menaik-turunkan harga BBM, penetapan orang-orang tidak kompeten di sejumlah BUMN, dan politik pencitraan untuk kepentingan sesaat. Termasuk penyelesaian lamban atas masalah penegakan hukum, yang membuat investor jengah dan menarik diri.

Belakangan, juga dipicu oleh pengambilan keputusan yang tidak dan kurang pas dalam menentukan pejabat eselon 1 di sejumlah kementerian. Salah satu kelemahan yang menonjol adalah sektor industri dan pertanian, yang terkesan tidak memiliki policy design yang bisa mendorong pertumbuhan lebih baik.

Sebenarnya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia prospektif. Ketika mengakhiri jabatannya pada 20 Oktober 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninggalkan pertumbuhan sekitar 5.4 persen. Dengan angka pertumbuhan itu, Indonesia bisa bertahan dengan rata-rata pertumbuhan normal.

Kebijakan menaik-turunkan harga BBM tanpa disertai dengan stabilisasi harga bahan pokok dan transportasi, dan kelambatan mengendalikan nilai tukar rupiah, membuat situasi menjadi fluktuatif. Untuk menangani stabilisasi nilai tukar rupiah terjadi penggerogotan devisa, dan akhirnya membuat terjadinya penurunan devisa dari USD111,6 miliar (Maret 2015) menjadi USD110,9 miliar (April 2015).

Meskipun posisi cadangan devisa per akhir April 2015, masih cukup membiayai 6,9 bulan impor dan masih di atas kecukupan internasional (3 bulan impor). Bila tak ada aksi menggenjot pertumbuhan di sektor migas dan pertambangan dan perdagangan, akan sulit mendorong pertumbuhan ekonomi kembali menjadi 5,4 persen atau 5,7 persen pada semester 1 2015. Kecuali, posisi devisa pada bulan Mei meningkat lagi, sehingga mampu mendukung ketahanan sektor eksternal untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan.

Sayangnya, akibat lack of capacity para petinggi di sekitar Presiden Jokowi, terjadi langkah keliru. Tidak menanggapi situasi dengan policy design, melainkan dengan politik retorika yang akhirnya menimbulkan public confusing. Misalnya, polemik soal utang Indonesia kepada IMF, yang akhirnya dibantah oleh IMF sendiri, dan menegaskan bahwa orang-orang kanan Jokowi, memang gemar beretorika.

Bila mau sedikit belajar andap asor dan tidak pongah, mestinya para orang kanan Jokowi bisa mengakaji realitas yang terjadi tahun 2014 sebagai benchmark. Tahun 2014 merupakan tahun penuh tantangan. Terutama karena kondisi ekonomi global, tidak secerah prakiraan semula.

Harga komoditas dunia yang terus melemah karena permintaan belum cukup kuat, khususnya dari Tiongkok, memberi dampak sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sektor keuangan, ketidakpastian kebijakan the Fed telah meningkatkan kerentanan dan volatilitas di pasar keuangan dunia, dan terbukti, ketika nilai tukar USD terus menguat. Dampaknya terasa langsung terhadap perekonomian Indonesia.

Di sisi lain, politik retorika Jokowi juga berdampak pada hengkangnya arus modal ke luar negeri, antara lain dengan penutupan sejumlah industri di Indonesia. Termasuk industri otomotif. Indonesia sebagai emerging market, pasti merasakan langsung dampak pergeseran arus modal asing keluar dari Indonesia. Termasuk, misalnya, ketidak-tangguhan menghadapi divergensi kebijakan moneter di negara-negara maju.

Hal itu terjadi, ketika the Fed justru melakukan normalisasi kebijakan moneternya, yang berbeda dengan bank sentral Jepang dan Eropa masih perlu menempuh kebijakan moneter yang sangat akomodatif. Rakyat sebagai konsumen terus meragukan kemampuan pemerintahan Joko-JK menghadapi situasi.

Survei Konsumen Bank Indonesia pada bulan April 2015 mengindikasikan, tingkat keyakinan konsumen melemah, sebesar 9,5 poin menjadi 107,4. Pelemahan IKK tersebut didorong oleh penurunan Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masing-masing turun sebesar 8,6 dan 10,3 poin dari bulan sebelumnya.

Hasil survei juga mengindikasikan, konsumen memperkirakan tekanan kenaikan harga pada Juli 2015 semakin meningkat sejalan dengan tingginya permintaan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Meningkatnya tekanan kenaikan harga diperkirakan terjadi pada semua kelompok komoditas, dengan kenaikan tertinggi pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan.

Kondisi itu berlangsung ketika proses pelemahan terjadi, sebagai akibat dari dampak langsung pelemahan pertumbuhan ekonomi, seperti terjadinya pemutusan hubungan kerja di sektor industri. Juga, melambatnya peningkatan jumlah tabungan 6 bulan mendatang sebesar 127,5, turun 9,4 poin dari indeks bulan sebelumnya.

Jangan Banyak Beretorika

INILAH antara lain yang terjadi di balik, perbincangan hangat pekan ini terkait ekonomi Indonesia. Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Republik Indonesia (2004-2009) melalui kicauannya di akun twitter-nya mengungkapkan, “Kecemasan atas memburuknya situasi perekonomian bukan hanya disuarakan oleh pelaku pasar, tetapi juga oleh masyarakat luas.”

SBY mengemukakan, sebaiknya kita tidak perlu panik. Keadaan seperti ini setiap saat bisa terjadi. Masa kini dunia ekonomi mudah dan sering mengalami gejolak. “Yang penting, pemimpin dan pemerintah menyadari & mengakui bahwa memang ada persoalan yang harus ditangani secara serius” ungkap Ketua Umum Partai Demokrat itu.

SBY mengemukakan, perlu gerak cepat dan solusi yang efektif untuk atasi persoalan fiskal dan APBN, pertumbuhan yang melambat dan kelesuan investasi dan bisnis. Selain itu, menurutnya, juga pemerintah harus mengantisipasi kemungkinan meningkatnya pengangguran, serta gangguan terhadap kecukupan & stabilitas harga bahan pokok.

Kalau berbagai persoalan ini tidak ditangani secara efektif, menurut SBY, bisa saja keadaannya menjadi lebih buruk. “Ini harus kita cegah,” ungkapnya.

Bagi pemerintah, jelas SBY, apapun opsi dan kebijakan yang dipilih selalu ada plus - minusnya. Ada pro dan kontranya. Tetapi tetap harus diambil. Yang penting, pemerintah beri solusi. Tetapkan "policy response" yang realistik dan sungguh dijalankan. Jangan terlalu banyak beretorika.

“Dulu, sebagai Presiden, persoalan seperti ini sering saya hadapi. Juga tidak mudah. Tetapi dengan kerja keras & tindakan tepat, selesai juga,” ungkap SBY. Rakyat perlu beri kesempatan dan dukungan kepada Pak Jokowi dan pemerintah, untuk atasi permasalahan di bidang ekonomi ini.

Saya menilai situasinya belum masuk krisis. Masih ada waktu. Masih tersedia solusi. Penurunan ekonomi masih bisa dibalikkan. Tentu, maksud SBY, masih ada jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi itu.. Ingat : pertumbuhan ekonomi melambat, rakyat makin susah. | Bang Sem

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 516
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1602
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1390
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 234
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 457
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 449
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 417
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya