Harriny Yulianty: Bekerja Untuk Menciptakan Nilai

| dilihat 8299

AKARPADINEWS.COM | KAMIS, 4 Agustus 2016. Hari sudah melewati jam kerja, ketika Harriny Yulianty, Vice President Corporate Communication PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk ditemui di Gedung BNI Sudirman lantai 24, Jakarta. 

Jabatannya menuntut kesibukan tinggi. Dia terbiasa bekerja hingga larut malam dan pergi ke luar kota untuk menjalankan tugasnya. Namun, ketika ditemui Akarpadinews, wajahnya masih terlihat segar. Sesekali, dia pun menebar tawa.

Dengan setelan batik cokelat dan sepatu hak tinggi, perempuan yang akrab disapa Yanti itu terlihat energik, berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, sembari berdiskusi singkat dengan rekan kerjanya seputar program yang dijalankan. 

Leadership itu bukan karena omongan dan instruksinya yang perlu didengar. Tetapi, tindakan dia sebagai pemimpin, sikapnya bisa jadi panutan, jadi role model untuk anak buahnya. Karena, begitu nanti dia tidak menjabat di situ lagi, legacy (warisan) pola dan sistemnya yang akan dipakai. That’s it real leadership,” tutur Yanti membuka pembicaraan tentang pola dan sistem kepemimpinannya.

Sebagai salah satu pimpinan di bank milik pemerintah itu, yang terpenting baginya adalah jajaran stafnya tahu tujuan yang dikerjakan dan memahami peran masing-masing untuk mencapai tujuan itu.

Untuk memastikan performa optimal sehingga dapat mencapai target yang diharapkan, Yanti kerap mengeksplorasi kerja-kerja stafnya secara holistik. Mulai dari kinerja, kecepatan, potensi hingga passion, dari tingkat Assistant Vice President (AVP) hingga ke level manager.

Tak lupa, dia selalu mengingatkan pentingnya kerjasama tim. “Jadi, saya selalu menganalogikan ke teman-teman, kerja tim itu kayak sepeda, kalau jerujinya satu mati, maka jalannya jadi gak mulus,” ujarnya.  Dalam menjalankan tugasnya, meski berorientasi target (target oriented), Yanti tetap easy going. “Manusia itu like an art yah, gak bisa dipaksa kayak robot.”

*****

Yanti meniti karir di dunia perbankan dari nol. Profesi yang dilakoninya, mengalir begitu saja. Dia sendiri tak menduga menjalani profesi sebagai bankir karena latar belakang ilmu yang didalaminya adalah ilmu sosial, bukan ekonomi yang spesifik mengupas akuntansi, keuangan, makro dan mikro ekonomi, maupun hal-hal yang menyangkut perbankan. Yanti adalah lulusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI).

Disiplin ilmu itu lebih banyak mengulas pembangunan sosial, pemberdayaan masyarakat, kebijakan sosial, dan sebagainya. Namun, kecakapannya dalam berkomunikasi yang diraihnya saat kuliah dan berorganisasi dan kemampuannya mendesain program sosial, menjadikan bekal baginya meraih sukses di dunia perbankan, yang menggawangi fungsi public relation, termasuk pengembangan program Corporate Social Responsibility (CSR).

Perempuan yang baru saja berulang tahun tanggal 28 Juli itu lalu menceritakan memori perjalanan hidupnya. Dia ingat betul pesan orang tuanya agar menjaga integritas dan kedisplinan dalam menjalani tugas.

Orang tuanya pun mengajarkan dirinya mengelola keuangan dengan baik, dengan cara menabung. Meski rutin diberikan uang saku, Yanti selalu menyisihkan uangnya untuk ditabung. Orang tuanya juga menanamkan kemandirian dan kreatifitas sejak dini. Karenanya, sejak remaja, Yanti bekerja, mencari uang tambahan sesuai kemampuan kreatifitasnya. “Ibu saya bilang, dari kecil, saya gak bisa diam. Jadi, saya terpacu. Kalau kita mau maju, harus usaha, harus kreatif,” katanya.

Pesan orang tuanya itu diterapkannya sejak Yanti duduk di bangku Kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kala itu, dia berbisnis kartu valentine buatannya sendiri dengan renda yang lucu. Dia menjual karyanya itu kepada teman-temannya di sekolahnya.

Naluri bisnisnya pun terus berkembang. Di kala duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), Yanti berbisnis produk kecantikan. Dia sepertinya paham betul kebutuhan seorang remaja putri yang tentunya ingin tampil mempesona. Tak hanya itu, Yanti juga melatih menari.

Di tahun 1986, saat menjadi mahasiswa di UI, Yanti bukan tipikal mahasiswa yang hanya berkutat dengan aktivitas perkuliahan. Namun, dia juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI. Sebagai aktivis kampus, dia tetap memperhatikan pentingnya perkuliahan. Prestasi akademik tidak diabaikannya. Karenanya, sejak mahasiswa, dia sempat dipercaya menjadi asisten dosen, membantu Prof Tapi Omas Ihromi, guru besar Antropologi Hukum UI.

Dia juga pernah menangani pengelolaan dana Islamic Development Bank (IDB) dan World Bank untuk dosen-dosen seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang mengajukan dana penelitian maupun penerbitan buku. Dan, Yanti membantu memasarkannya.

Ketekunannya itu berbuah manis. Ketika memasuki ujung perkuliahan dan baru menulis skripsi, dia mendapatkan beasiswa ke Jepang dari Nakamura Scholarship. Sepulang dari Jepang, barulah Yanti bekerja untuk pertama kali di dunia perbankan, di HSBC Securities, sembari mengerjakan skripsinya. Di HSBC, dia bekerja selama 2,5 tahun.  

Rupanya, dunia perbankan itu sempat ditinggalkannya. Setelah lulus kuliah, dia justru memilih dunia broadcasting, dengan bekerja di stasiun Surya Citra Televisi (SCTV). Namun, hanya dijalaninya selama setahun.

Selanjutnya, Yanti memilih hijrah ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan menjalani fungsi public relation. Di sanalah, passion-nya di bidang sekuritas muncul. “Saya 10 tahun di bursa, passion saya keluar di situ. Jadi, di industri keuangan, di mana pusat dan akar semua bisnis itu muaranya di industri keuangan.”

Rupanya, Yanti mencoba peruntungan yang baru. Setelah tak lagi bergelut dengan bursa, dia menerima tawaran bekerja di Microsoft Indonesia. Sebagai pegawai baru, dia mengikuti orientasi bekerja di Seattle, Amerika Serikat (AS). Di Microsoft, dia belajar dan beradaptasi untuk bekerja di global player dan multinasional company dengan fokus di bidang public relation.

“Jadi kita menangani bagaimana mengedukasi beberapa negara berkembang. Microsoft itu background-nya adalah IT (Information Technology). IT jadi sebuah kebutuhan. Jadi, waktu itu saya jadi Lesson Compare Manager selama 2,5 tahun,” jelasnya.

Tak puas bekerja di perusahaan mapan berskala multinasional, Yanti merintis perusahaan yang go public. Di tahun 2007, dia berpindah ke Trada Maritime. Saat itu, Trada Maritime juga mencari tenaga public relation untuk menangani holding dengan anak perusahaan yang mempunyai pengalaman di pasar modal karena ingin go public. "Saya bergabung di tahun 2007 sampai mengantarkannya go public."

Lantas bagaimana ceritanya dia bisa bekerja di BNI? Yanti bercerita, sekitar tahun 2008, sebelum bergabung di BNI, dia ditugaskan untuk mengelola Trada Foundation dan membuat program CSR untuk anak-anak karyawan kapal tanker. Trada Maritime adalah perusahaan penyedia kapal, logistik dan jasa yang terkait dengan industri minyak, gas, pertambangan dan energi.

Hatinya tergugah ketika melihat kebanyakan karyawan kontrak yang tidak punya asuransi, dengan masa depan yang abu-abu. Sementara bekerja di laut lepas, rawan kecelakaan yang dapat berakibat kematian. “Jadi kita bikin program untuk karyawan-karyawan kontrak yang gak punya insurance. Itu tabungan berencana yang ada proteksi asuransi. Jadi, suatu ketika karyawan di PHK atau meninggal dunia karena kecelakaan kerja, ini duit bisa keluar. Jadi, ada yang buat SD, SMP, SMA," katanya.  

"Setelah pitching, waktu itu BNI punya program Tabungan Perencanaan Masa Depan (Tapenas). Harganya sesuai dengan budget kita," imbuhnya. Rupanya, dari pengalaman tersebut, Yanti diajak bergabung ke BNI. Awalnya, dia menolak tawaran itu. Namun, setelah dipikir-pikir, di akhir tahun 2009, dia menerima pinangan BNI. Yanti dipercaya menjadi APV dana dan jasa konsumen, lalu ditugaskan menjadi APV riset dan strategi pemasaran. “Jadi saya, joint 2010 dari APV dana dan jasa konsumen, terus pindah ke divisi marketing communication. Saya bicara dan bekerja soal segmentasi dan bikin packaging produk buat nasabah ritel tahun 2011-2012, terus joint ke sini (Divisi Komunikasi Perusahaan dan Kesekretariatan) tahun 2013.”

Terkait program yang disusunnya, Yanti lebih fokus pada program yang dapat dikembangkan secara intensif. Salah satunya, program Kampoeng BNI yang fokus pada pemberdayaan masyarakat (community development). Menurut dia, program tersebut, setelah diriset dan dikaji, memiliki dampak bagi bisnis. “Memang (program) sosial, tapi kita harus menciptakan social entrepreneurship.

Terkait dengan Quality Performance Indicators (QPI) atau indikator kinerja kualitas, Yanti  melihatnya dari komitmen pemerintah daerah (local government) masyarakat (yang menjadi target sasaran), dan BNI. Ketiganya menunjukan komitmen sehingga Kampoeng BNI berpotensi menjadi tujuan wisata.

“Sekarang kita receiving, Kampoeng BNI ini berpotensi menjadi tujuan wisata. Jadi, itu ada, siap dulu produknya, siap sadar wisata people-nya, jadi bedahnya mirip pakai konsep marketing 4P (Product, People, Place, dan Packaging), dan terakhir marketing. Jadi, saya challenge anak-anak, kalau dengan konsep 4P itu marketable dan terukur,” tuturnya panjang lebar. Yanti menambahkan, Kampoeng BNI juga berorientasi pada pengembangan industri kreatif, agrowisata, ketahanan pangan, dan kemaritiman.

Dalam mengembangkan program CSR, Yanti menekankan pentingnya model intervensi yang dapat menghasilkan return of business dengan tujuan menjaga keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat yang menjadi target sasaran. “The real CSR is sustainable, it's not filantropi.  Awalnya orang-orang menganggap CSR itu filatropi, ngasih duit, buang duit dari sebagian laba. Padahal, sebenarnya sustainable (keberlanjutan). Di luar negeri, laporannya bukan CSR, tapi sustainable report,” jelasnya.

Sesuai ketentuan pemerintah, dana CSR memang dimanfaatkan untuk kesehatan, pendidikan, lingkungan, sarana dan prasarana, sarana ibadah, dan pengentasan kemiskinan masyarakat. Namun, dalam mendesain program CSR itu, Yanti menekankan program yang berdampak keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat. Misalnya, program pengentasan kemiskinan dengan mengajak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk menjadi nasabah, sekaligus memberi bantuan untuk pengembangan kampungnya.

Menciptakan Nilai

Dalam menjalankan tugasnya, Yanti tidak sekedar berorientasi mendapatkan keuntungan finansial. Namun, sebagai seorang profesional, dia memegang prinsip pentingnya create value (menciptakan nilai). "Kalau saya tidak bisa creat value, I leave from company. Makanya, orang lihat saya kutu loncat pindah-pindah. Padahal, saya gak mau kalau gak bisa kasih value. Saya harus bisa kasih value. Untuk diri sendiri, company dan orang banyak," tegasnya.

Setelah sekian lama bekerja di BNI, dan mencapai salah satu posisi tinggi, Yanti terkenang dengan kedua orang tuanya. “Waktu saya balik ke sini (BNI) yang paling bersyukur itu ibu saya. Awalnya, saya gak mau kerja di bank, saya lebih tertarik di UNDP dan World Bank. Lama-lama, jalan hidup membuat saya ke sini (BNI). Lama kelamaan, saya sadar, oh iya memang banyak yang bisa kita kerjakan.” 

Sang ayah yang menginspirasinya lantaran pernah bekerja di BNI juga mengajarkan pentingnya menjaga integritas. Dia teringat pesan ayahnya untuk tidak tergiur dengan uang. “Omongan ayah saya, kalau jadi bankir, anggap saja duit itu bukan duit kita. Itu kertas, supaya kamu tidak tergiur. Karena itu bukan uang kamu, itu uang negara. Itu filosofinya.” tutur Yanti mengenang pesan ayahnya.

Meski sibuk dengan rutinitas kerjanya, Yanti tak lupa dengan tanggungjawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dalam menjalankan tugas tersebut, ibu dua anak ini menekankan pentingnya kualitas dalam berkomunikasi dengan memanfaatkan berbagai media seperti line dan skype. Ketika libur, dia senantiasa meluangkan waktu untuk makan bersama dan mendengar cerita anak-anaknya.

Yanti pun bangga dengan putera sulungnya yang kuliah di UI. Sementara si putri bungsu, duduk di bangku SMA dan mulai mengikuti jejaknya lantaran memiliki jiwa entrepreneurship. Sesekali, Yanti mengisi waktunya untuk merawat kecantikan dan berenang bersama kedua anaknya.

Atas pencapaian karir yang dijalaninya, dia senantiasa bersyukur atas Allah SWT. Tak lupa, dia berbagi sebagian rezeki kepada orang lain yang membutuhkan. "Kamu kasih uangmu, artinya dibersihkan hartamu buat yang berhak," katanya seraya menyakini beramal kepada orang lain yang tak mampu akan dibalas rezeki oleh Tuhan dengan nilai yang lebih besar. "(Rezeki) tidak datang dari satu sumber saja, tapi dari mana-mana."

Dan, Yanti kembali terkenang pesan ayahnya. Dua minggu sebelum meninggal dunia, ayahnya berpesan, "Kalau ayah tidak ada (meninggal dunia) dia, dia... (fakir miskin yang sering ke tempatnya), gak boleh ditolak. Tetap (beramal) jangan putus. Saya pegang banget (pesan ayah).” 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya