Lupakan Wonderful Indonesia

Indonesia Surga di Timur Matahari

| dilihat 4013

Catatan Pariwisata N. Syamsuddin Ch. Haesy

BANGKIT melalui pariwisata adalah keniscayaan bagi Indonesia. Apalagi kini, ketika pertumbuhan ekonomi melambat dan nilai tukar rupiah mengalami tekanan hebat.

Pariwisata secara umum dapat dipahami sebagai fenomena yang terkait dengan mobilitas manusia, baik di dalam negerinya sendiri atau melintasi batas negara (mancanegara).

Fenomena itu ditimbulkan oleh proses interaksi antara wisatawan, negara atau daerah tujuan wisata, tuan rumah, pemerintah, dan pelaku bisnis wisata (baik di lingkup transportasi, akomodasi, dan konsumsi). Termasuk nilai-nilai sosial yang hidup di dalamnya. Karenanya, pariwisata dapat disebut sebagai salah satu sub dari interaksi budaya masyarakat.

Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumberdaya wisata, baik alam (laut dan gunung), dan budaya (khususnya tradisi dan sistem nilai yang memengaruhinya). Sebagai negara kepulauan, Indonesia merupakan negara tujuan wisata, yang sesungguhnya mencerminkan realitas kehidupan masyarakat dunia.

Multikulturalisme dan pluralisme yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dapat ditemukan di Indonesia, mulai dari Tanjung Teuku di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sampai Raja Ampat di Papua, dari Pulau Bangkit (Sulawesi Utara) yang berbatasan dengan Filipina sampai Pulau Rote (Nusa Tenggara Timur), dari Pulau Nongsa yang berbatasan dengan Singapura sampai pulau Alor yang berbatasan dengan Timor Leste.

WISATAWAN ASING MENIKMATI SELAT IBOIH - TANJUNG TEUKU - PULAU WEH NANGRO ACEH DARUSSALAM | FOTO: SEM HAESY

Benar kata Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli, Industri Pariwisata sebenarnya dapat menjadi sumber pendapatan negara utama yang dapat berkontribusi besar terhadap devisa. Soalnya tinggal, bagaimana industri pariwisata dikelola secara tepat dan benar, dengan tata kelola yang lebih profesional dan agresif.

Sebagai imagineer yang kerap melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan negara, saya memandang target untuk mencapai kunjungan sebanyak 20 juta wisatawan mancanegara, bukan sesuatu yang rumit bagi Indonesia. Sepanjang, seluruh pemangku kepentingan industri pariwisata menyadari betul keperluan (want, need, interest) wisatawan. Terutama ketika masyarakat berbagai belahan dunia, mengalami situasi depressif akibat dinamika politik, sosial, dan ekonomi.

Dalam konteks budaya, harus dikatakan, bahwa Indonesia merupakan motherland bangsa-bangsa di Asia Selata? dan Tenggara. Kalau Malaysia berani menggunakan tagline: The Truly Asia. Padahal, secara sosiologis dan antropologis (khasnya anthropografi), sesungguhnya Malaysia adalah part of Indonesia.

Dari aspek lingua franca, Indonesia merupakan mother land bagi bahasa Melayu, yang kini diturukan oleh separuh dari jumlah penduduk ASEAN. Mulai dari zona budaya Siam, Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina Selatan. Bahkan, beberapa komunitas masyarakat di beberapa negara lain, seperti Madagaskar, menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa melayu Indonesia.

Indonesia merupakan titik temu pola tutur melayu Riau ? Semenanjung Malaysia dengan bahasa melayu Austronesia. Kesaksian Magelen (Magelhains) menegaskan hal itu. Di sisi lain, dari kajian Aryoso Santos dari Brazil dan kajian Stephen Oppenheimer, boleh diyakini, Indonesia merupakan atlantis yang hilang di penghujung era peradaban es.

KEINDAHAN LAUT PULAU DERAWAN - KALIMANTAN TIMUR | FOTO : INDONESIA TOURISM

Dari berbagai indikator yang mengemuka dalam berbagai kajian para geolog, arkeolog, dan antropolog saya meyakini, bahwa Indonesia merupakan ?surga hilang? dalam kajian Stephen Oppenheimer yang ditemukan kembali.

Penelitian mutakhir yang dilakukan di Gunung Padang ? Cianjur Selatan dan Pelabuhan Ratu (Jawa Barat) dan Maros (Sulawesi Selatan) menunjukkan indikasi konkret tentang bermulanya era bahari dan peradaban baru. Tak hanya sebatas perkakas kehidupan manusia.

Dari kajian imagineering terkait dengan futurisme, jelas sampai kini di Indonesia lah terjadi titik temu semasa gelombang peradaban manusia. Mulai dari era agraris, industri, informasi, sampai era konseptual yang sedang berproses.

Karenanya, di Indonesia juga berlangsung pertemuan arus peradaban yang dipengaruhi oleh ajaran agama ardhi dan agama samawi. Baik dalam konteks ajaran tentang kesadaran spiritual ? ruhaniah maupun perilaku melalui agama-agama lokal yang tersebar, Budha, Hindu, Kristen, dan Islam.

Konsep-konsep keyakinan spiritual tentang Tritangtu, Tri Hita Karana, Tellutoa, Trinitas sampai ajaran tauhid ? monoteistik berpadu serasi. Begitu juga dengan beragam konsep nilai kehidupan sosial, mulai dari Dalihan Natolu (Sumatera Utara), Tigo Tungku Sajarangan (Minangkabau), sampai Tellu Kappa (Sulawesi Selatan) berada di Indonesia.

PANTAI ALOR ?| FOTO NICK HANO

Saya meyakini, apa yang dikuliti Oppenheimer dalam Eden of The East maupun Aryoso dalam Atlantis, semua ada di Indonesia. Ketika menulis buku tentang Cawandatu dan Alor, dengan menelusuri jejak-jejak kajian antropologi ? sosiologi ? arkeologi saya sampai pada pemahaman, bahwa dalam konteks pariwisata, Indonesia harus lebih percaya diri.

Sesanti Wonderful Indonesia atau Pesona Indonesia bagi saya adalah tagline usang yang tak lagi bunyi untuk melakukan sosialisasi dan pemasaran wisata. Indonesia harus berani menyatakan dirinya sebagai Surga di Timur Matahari, seperti yang diisyaratkan Ibnu Rusd.

Pernyataan semacam itu, pernah diungkapkan Raja Fahd ketika berkunjung ke Indonesia, dalam gumamnya: hadza firdausi fid duniya, inilah sekeping surga di dunia. Terutama, karena sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia (khasnya laut dan gunung) mempunyai karakter yang khas sebagai kawasan di lintasan matahari (equator).

Upaya yang dilakukan Menteri Pariwisata Arief Yahya untuk membentang kembali jalur sutra perjalanan laut Laksamana Cheng Ho dan Sam Pho Kong, bermula dari Batam, perlu disupport. Demikian juga halnya dengan upaya pembangunan kawasan ekonomi khusus pariwisata. Tetapi, jangan dilupakan, jauh sebelum itu sudah terjadi jalur laut para pelaut Sulawesi ke seluruh alur laut Nusantara, Autralia, Laut China Selatan, sampai Miyazaki Prefecture (Jepang).

Dalam konteks Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata juga jangan dilupakan Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan. Khusus untuk Kalimantan, bisa fokus kepada spirit yang tengah berkembang tentang Borneo sebagai center of concervation.? Meskipun Sabang sangat strategis, agaknya masih banyak kendala untuk menjadikannya sebagai salah satu KEK Pariwisata.|

?

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 711
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 868
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 819
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya