Balikpapan - Kalimantan Timur

Mencari Batis Kutung

| dilihat 1977

 

AKARPADINEWS.COM | APA yang bisa kukatakan tentang Balikpapan? Kota termahal di dunia? Terlalu berlebihan agaknya, meski pada kenyataannya, fluktuasi perkembangan harga-harga di kota ini memang begitu dinamis. Bahkan, nyaris tak terkendali. Tak terkecuali harga gas rumah tangga. Karenanya, tak jarang kudengar sungut ibu rumah tangga, membincangkan ironi.

 

Biarlah sungut itu terus berkembang, untuk menyadarkan kita, betapa kehidupan sehari-hari di kota berkilang minyak dan gas bumi ini, memang karib dengan ironi. Sejak dari masa lalu, masyarakat Balikpapan telah terbiasa dengan lonjakan harga barang. Mulai dari barang kebutuhan primer maupun sekunder. Boleh jadi lantaran demikian, migrasi antar penduduk dari kota ini ke Jawa, dan dari Jawa ke kota ini sedemikian tinggi.

 

Risiko sebuah kota di sebuah pulau yang kaya potensi minyak bumi, gas, batubara, dan hasil hutan memang demikian. Banyak perusahaan eksplorasi yang menanamkan investasinya di sini, meski kantor pusat yang memegang kendali berada di Jakarta. Karenanya, ke kota ini banyak berdatangan para ekspatriat. Baik yang menetap untuk beberapa waktu lamanya, atau sekadar transit saja.

 

 

Barangkali karena itu juga, dalam banyak hal, ukuran harga barang di kota ini – sebagaimana halnya di Samarinda, Sangata, Bontang, dan lainnya di Kalimantan Timur – menggunakan ukuran mata uang asing. Kita memang sering terkecoh dengan standar nilai tukar mata uang dalam menentukan harga barang. Tak tekecuali barang konsumsi.

 

Di kota ini, memang berlaku rumusan kapitalistik ihwal harga, mengikuti beragam kebiasaan yang berlaku di berbagai belahan negara dunia ketiga. Berbeda, misalnya, dengan kota-kota lain di negeri penghasil minyak bumi dan gas alam. Sebutlah, sebagai bandingan, Jeddah, Ryadh, Dubai, dan Bahrain. Di sana, keberlimpahan potensi minyak bumi dan gas, selain memakmurkan penduduk, juga mampu mengendalikan fluktuasi harga produk barang konsumsi.

 

Adakah realitas ekonomi di Balikpapan dan berbagai kota di kawasan pertambangan, khususnya kawasan eksplorasi minyak dan gas bumi, selalu harus menjadi pisau bermata dua bagi sumberdaya alam dan lingkungan (dalam pengertian yang luas)? Prof. Dr. Ahmad Fauzi, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, ketika menyampaikan orasi ilmiah-nya belum lama ini menyebut, “Sumberdaya alam merupakan hal yang sentral bagi keberlanjutan ekonomi negara berkembang”. Karena itukah masyarakat di wilayah ini menjadi gamang? Meminjam teori Barbier, Fauzi mengatakan, banyak negara berkembang yang memiliki sumberdaya alam tinggi, justru sering menunjukkan performa ekonomi yang rendah. Bahkan tak mampu menentukan keberpihakannya terhadap kepentingan rakyat secara luas.

 

 

Pada kasus Balikpapan dan kota-kota sejenisnya, kita menemukan dan merasakan fenomena Dutsch Disease, yang pertama kali diungkap majalah The Economist, tahun 1977. Suatu sintesis, yang menurut Fauzi, sangat popular untuk menggambarkan dampak negatif penemuan dan ekstraksi sumberdaya alam – khususnya mineral – terhadap pembangunan. Dalam hal mana, peningkatan penerimaan dari sumberdaya mineral akan menyebabkan terjadinya deagrikulturisasi, dengan meningkatnya nilai tukar, sehingga industri manufaktur (atau pertanian) menjadi tidak kompetitif.

 

Jangan-jangan, seperti tesis Richard Auty (1993), ihwal Resource Curse. Sedang tumbuh fenomena ketidakmampuan memanfaatkan kekayaan sumberdaya mineral yang melimpah untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi rakyat. Akibatnya, rakyat tetap miskin dan jadi bulan-bulanan fluktuasi harga kebutuhan primer dan sekunder, lantaran daya belinya belum kuat. Lantaran pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah dibandingkan dengan kota-kota di negara-negara, yang justru tak diberkahi kekayaan sumberdaya mineral.

 

Kutukan keberlimpahan sumberdaya mineral? Atau, kekurang-mampuan menempatkan rakyat sebagai subyek. Boleh jadi, kita memang masih terpesona oleh permainan masa bocah: sibuk mencari batis kutung, lantaran ‘pisangku balum masak’. Kemudian, ikhlas menerima ‘kutukan sumber daya’ lantaran masih belum mampu mengelola kekayaan secara mandiri. Paling tidak berkesetaraan dengan para pemburu berkah sumberdaya mineral dari negeri-negeri yang jauh. Negeri para penjelajah, yang secara alamiah, berubah menjadi penjajah.© Bang Sem

 

Editor : N Syamsuddin Ch. Haesy
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 100
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 517
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 445
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 275
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 138
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya