Menuju Indonesia Sentra Industri Kreatif ASEAN

| dilihat 2066

Catatan JM Fadhillah

DINAMIKA perkembangan perekonomian Indonesia selama masa 71 tahun merdeka relatif sesuai dengan proses perubahan era. Sejak era kolonial sampai kini, dan bahkan beberapa tahun ke depan, Indonesia masih mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam.

Indonesia yang diberikan berkah oleh Tuhan dengan potensi sumberdaya alam, sekaligus menyimpan potensi masalah yang tidak kecil. Indonesia pernah mengalami laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun 2,34 persen.

Laju pertumbuan penduduk itu berjalan seiringan dengan pertumbuhan ekonomi yang sempat berkisar 7 persen – 8 persen di era Presiden Soeharto, yang masih mengandalkan basis ekonomi pada pertanian (agribisnis).

Ketika Indonesia memasuki era industri yang menampakkan sosoknya pada dekade 70-an, terjadi proses perubahan besar, kendati pemerintah menggunakan prinsip pembangunan industri berbasis pertanian.

Di era ini, Indonesia mengandalkan sangat kuat potensi sumberdaya alam, terutama minyak, gas bumi, dan pertambangan. Pada masa ini, sebagai anggota organisasi pengekspor migas (OPEC), Indonesia sempat memimpin organisasi itu.

Menteri Pertambangan Subroto menjadi sekretaris jenderal OPEC selama beberapa masa, karena Indonesia masih menjadi salah satu negara pengekspor migas. Tapi, migas tak bisa menjadi andalan utama perekonomian nasional. Terutama migas berbasis fosil. Indonesia kemudian mengandalkan produk pertambangan, khasnya emas, nikel, bijih besi dan batubara.

Sampai masa pemerintahan Presiden Joko Widodo kini, Indonesia relatif masih mengandalkan basis ekonomi nasionalnya pada migas dan pertambangan, dengan beberapa varian lain yang memerlukan perhatian lebih serius. Antara lain perikanan.

Sebenarnya, bukan soal bagi Indonesia yang masih dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi pembangunan berbasis sumberdaya alam. Artinya, untuk mempertahankan dinamika pembangunannya menghadapi berbagai fakta brutal (termasuk kondisi perekonomian dunia), Indonesia masih bisa mengandalkan migas, energi, dan mineral.

Namun, dalam satu tarikan nafas, seperti yang beberapa kali dikemukakan Presiden Jokowi, Indonesia sudah harus mulai menggeser basisnya pada industri pariwisata, budaya, dan kreatif.

Artinya, Indonesia dengan berbagai perkembangan kemajuan di bidang sains, teknologi, informasi, dan kreatif sudah saatnya menentukan core business-nya yang lebih visioner dan berorientasi jauh ke masa depan. Yang nampak di depan mata adalah sektor telekomunikasi, yang mengalami kemajuan sangat cepat.

Kemajuan sektor telekomunikasi tak hanya mengubah minda perekonomian bangsa, melainkan jauh dari itu, sekaligus mengubah minda budaya secara keseluruhan. Bila industri pariwisata dan telekomunikasi ditupang oleh infrastruktur yang memadai, khasnya infrastruktur energi, tidak mustahil Indonesia akan dapat terus memainkan peran ekonominya di Asia.

Kini dan di masa depan, kemajuan industri telekomunikasi dengan percepatan perubahannya yang sangat luar biasa, mesti dilihat tidak hanya dalam konteks kemajuan universal. Bahkan mesti juga dilihat dari pengaruhnya atas industri jasa keuangan dan perbankan.

Industri telekomunikasi dengan kemajuan teknologi informasi, merupakan satu-satunya yang paling mampu menafikan industri perbankan kita. Kemajuan industri telekomunikasi telah sangat memungkinkan berlangsungnya transaksi keuangan yang sangat efektif dan efisien. Bahkan, di masa depan, kemajuan teknologi informasi – melalui digitalisasi perbankan – dapat sepenuhnya menggantikan peran perbankan. Karenanya, perkembangan dan kemajuan industri telekomunikasi banyak dipandang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks itu, diperlukan proses transformasi ekonomi berbasis kemajuan industri telekomunikasi. Termasuk di dalamnya, transformasi yang memungkinkan berubahnya kebijakan sistem pembayaran domestik yang lebih efisien dan efektif.

Artinya, kemajuan industri telekomunikasi secara head to head dapat merupakan penggerak transformasi ekonomi untuk penyempurnaan arsitektur sistem pembayaran dan perluasan akses layanan pembayaran. Hal tersebut akan berdampak pada perlunya melakukan penguatan struktur industri domestik, standarisasi teknis dan mekanisme untuk meningkatkan efisiensi, dan perluasan akses layanan pembayaran.

Bila Indonesia menegaskan core business-nya pada industri telekomunikasi, maka dari aspek fiskal akan dapat ditempuh kebijakan untuk melakukan eksplorasi kreatif terhadap berbagai potensi ekonomi yang belum tergali.

Di sisi lain, dari aspek moneter, akan dapat ditempuh jalan: membangun standarisasi dalam industri sistem pembayaran nasional. Termasuk di dalamnya, kebijakan keuangan inklusif yang didukung program edukasi dan perlindungan konsumen.

Bila inklusi keuangan dapat dilakukan secara tepat, boleh diharap akan bertumbuh gerakan kewirausahaan yang kembali akan memperkuat fundamental keuangan nasional. Tentu, dengan sekaligus melakukan upaya-upaya mendasar dalam menentukan arah kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran, dan penguatan kebijakan keuangan inklusif untuk pengembangan UMKM. Khasnya, UMKM sebagai lapisan baru dari industri kreatif yang mampu pula menopang pembangunan di sektor industri pariwisata.

Komunikasi Presiden Jokowi dengan kalangan industriawan telekomunikasi dan media berbasis teknologi informasi berskala dunia, semestinya dapat menjadi rujukan bagi sejumlah menterinya. Khasnya Menteri Perindustrian dan Perdagangan.  Antara lain dengan melakukan berbagai kebijakan yang menopang stabilitas makro ekonomi. Suatu kebijakan berdimensi luas dan berjangka panjang.

Salah satu kebijakan yang bisa diharap dari Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian adalah menjadikan Indonesia sebagai basis industri telco, termasuk perangkat – handset selular yang pertumbuhannya sangat luar biasa.

Secara imajinatif, dihadapkan dengan jumlah penduduk sebagai konsumen dan cepatnya proses konvergensi budaya dalam proses komunikasi sosial, tidak mustahil Indonesia akan mengalami akumulasi pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dua dasawarsa ke depan, sekira USD 1 triliun – USD 20 tiriliun.

Angka imajinatif tersebut akan berubah menjadi angka riil, bila Menteri Perdagangan, misalnya melakukan eksplorasi jasa perdagangan penunjang utama industri pariwisata berbasis kreatif. Antara lain kebijakan tentang waralaba rumah makan. Asumsinya. Waralaba akan memungkinkan pengusaha skala besar, menengah dan kecil akan bertumbuh bersamaan.

Industri telekomunikasi, industri pariwisata, industri pangan, industri kreatif, dan industri serta bisnis ikutannya, ketika dikelola secara baik dan simultan, akan menjadi salah satu tiang sangga utama perekonomian nasional. Bersesanding dengan industri migas, energi, dan mineral. Tinggal lagi kini, perlunya kesadaran kolektif untuk melakukan proses pemberdayaan kolektif yang saling menguatkan satu dengan lainnya.

Dalam konteks itu, para menteri ekonomi, khususnya Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian, perlu memperkuat sinergi dengan Menteri Pariwisata dalam menentukan arah paradigma produk kreatif ekonomi. Terutama untuk membuka secara lebih luas peluang investasi domestik dan regional, sejalan dengan dinamika masyarakat ekonomi ASEAN.

Bila mau melihat potensi ekonomi Indonesia dari cara pandang semacam ini, kita boleh optimistis, Indonesia akan mampu menggali kekuatannya sendiri. Apalagi ketika keadilan sosial ekonomi dan penegakkan hukum menjadi prioritas yang tepat dan benar.

Dalam konteks menentukan brand Indonesia ke depan, agaknya sudah harus difikirkan untuk tidak lagi menyebut Indonesia sebagai negara agraris. Tak perlu juga menghidup-hidupkan terus sesanti Indonesia sebagai Indonesia berbasis sumberdaya alam. Karena kemajuan perekonomian Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemauan dan kemampuannya mengelola industri telekomunikasi dan pariwisata sebagai industri masa depan, berbasis kewirausahaan.

Tak terlalu gegabah untuk mengatakan, Indonesia sebagai sentra industri kreatif ASEAN, yang siap berkompetisi dengan Korea Selatan, Jepang, dan China. Indonesia perlu didorong ke arah yang tepat, sebagai produsen industri kreatif berbasis teknologi informasi. Bukan sebagai konsumen yang tak menghasilkan apapun. | 

Editor : sem haesy
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 524
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1045
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 265
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 739
Momentum Cinta
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 238
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 461
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 452
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 422
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya