Referendum Brexit Sengit

| dilihat 2469

LONDON, AKARPADINEWS.COM | 23 Juni 2016, masyarakat Inggris menggelar referendum untuk menyatakan pro atau kontra Brexit (Britain Exit). Hasil referendum itu akan menentukan kepastian posisi Inggris, hengkang atau bertahan di Uni Eropa.

Lembaga-lembaga survei menggambarkan peta pertarungan kedua dukungan hampir sama kuat, dengan besaran angka masing-masing sangat ketat, tidak terpaut terlampau jauh.

Sepekan jelang referendum, dukungan terhadap hengkangnya Inggris dari UE memerlihatkan lonjakan berarti. Hasil survei lembaga riset dan survei Ipsos Mori terhadap 1.257 orang dewasa pada 11-14 Juni menunjukkan 53% responden berketetapan Inggris hengkang.

Sementara 47% lainnya ingin bertahan pada perserikatan regional UE. Dukungan terhadap pro Brexit meningkat 16% dari hasil survei serupa pada bulan Mei silam, dengan keunggulan kubu kontra Brexit 55%.

Lonjakan raihan kubu pro Brexit dipicu serangkaian kampanye “loses ground” Boris Johnson, mantan Walikota London, selama sebulan terakhir, dengan fokus utama pada isu imigran. Kubu pro Brexit memainkan kampanye lunak dan terhangat, soal amnesti bagi imigran ilegal, untuk menjungkal usungan kampanye kubu seteru berkait lemahnya perekonomian Inggris bila hengkang dari UE.

Johnson sebagai pengusung utama pro Brexit, seturut lansiran The Independent, menilai amnesti bagi imigran ilegal yang telah menetap selama 12 tahun, tidak hanya menguntungkan dari segi ekonomi, melainkan “hal manusiawi yang harus dilakukan,” ujar politikus partai konservatif. Johnson pun meminta agar Inggris mengambil kendali penuh terhadap sistem imigrasi, tak perlu mengikuti aturan main UE. “Ya. Mari kita ambil kendali perbatasan kita dengan sistem yang masuk akal, adil dan tidak memihak”.

Johnson menawarkan adopsi sistem imigrasi berbasis poin gaya Australia. Seorang imigran harus memenuhi minimal 60 poin meliputi umur, IELTS, keahlian, pengalaman kerja, dan kualifikasi pendidikan agar dapat meraih visa General Skilled Migration (GSM).

Dengan sistem tersebut, “Anda akan bersepakat secara adil dan merata pada setiap bagian dunia, dan menetralkan orang di negara ini dan seluruh Eropa yang berkepentingan dengan politik imigrasi dan menentang imigran. Dan itu adalah jalan panjang ke depan untuk membuat netral ekstrimis dengan mengambil kembali kendali sistem imigrasi kami,” tutupnya.

Amnesti imigran sesungguhnya bukan alasan tunggal pihak pro Brexit berkehendak hengkang dari Uni Eropa (UE). Ketika ide awal tercetus dari partai konservatif pada tahun 2012, alasan dominan Brexit adalah kedaulatan penuh Inggris di pelbagai bidang, khususnya ekonomi. Mereka beralasan, Inggris akan semakin kokoh ketahanan ekonominya bila dapat mengatur perekonomiannya secara mandiri, terlepas dari rambu-rambu perserikatan UE. Pro Brexit begitu skeptis dengan stabilitas ekonomi UE.

Saat krisis ekonomi melanda Eropa juga Amerika Serikat pada tahun 2008, muncul istilah Euroskepticism lantaran kinerja UE buruk kala menghadapi krisis. Kondisi perekonomian Eropa sangat terpuruk bila berbanding AS saat itu. Bank sentral AS merespon cepat penurunan ekonomi, sementara Eropa melakukan skema menaikan suku bunga. Hasilnya, perekonomian AS perlahan membaik, bertolak belakang dengan Eropa yang kembali mengalami resesi.

Resesi terparah menimpa Yunani dengan beban hutang mencapai US$1,7 miliar. Perekonomian Eropa kembali terguncang. Negara-negara anggota UE mau tak mau sudi merogoh kocek lebih dalam demi menyelamatkan Yunani dari jurang resesi. Euroskeptisicm makin menebal. Episentrum kekacauan tersebut terletak pada mata uang perserikatan, Euro.

Inggris menolak menggunakan Euro, dan tetap memberlakukan Poundsterling. Namun dorongan Kongres UE agar Inggris berpaling ke mata uang tunggal Eropa, terus menggeliat. “Euro telah menjadi bencanan ekonomi. Menciptakan tingkat pengangguran tinggi di negara-negara UE periferal, seperti Yunani dan Spanyol,” ujar ekonom Inggris, Andrew Lilico, dikutip Vox.

Sejak bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa tahun 1973 kemudian bersalin UE pada 1992, Inggris tak leluasa berpendapat dan mengatur kebijakan. Pro Brexit menganggap UE terlampau banyak mengatur kehidupan sehari-hari warga Inggris. Johnson bahkan menilai kebijakan EU begitu merepotkan dan tidak masuk akal. “Terkadang aturan Uni Eropa terdengar cukup menggelikan, seperti aturan bahwa anda tidak dapat mendaur ulang kantung teh, anak-anak di bawah usia delapan tahun tidak boleh meniup balon, atau mengatur batas-batas kekuatan alat penyedot debu,” ungkap Johnson, dinukil dari Vox.

Hasil pelbagai lembaga survei sepekan tearkhir, ICM, Yougov, ORB, dan ComRes menempatkan dukungan terhadap pro Brexit berada di tempat teratas, unggul tipis atas kubu seteru, dan hanya lembaga Opinium merilis hasil sama kuat untuk kedua dukungan, 40%-40%. Tarik-menarik dukungan semakin membuat panas kontestasi jelang jajak pendapat. Kampanye keduanya sempat terhenti selama beberapa hari paska-pembunuhan anggota parlemen, Jo Cox (Baca: Rasisme di Balik Pembunuhan Jo Cox).

Jo Cox merupakan simpatisan kubu kontra Brexit. Saat hakim meminta terdakwa pembunuhan Jo Cox, Thomas Mair, 52 tahun, dia menjawab “Nama saya adalah kematian untuk pengkhianat, kebebasan bagi Inggris”.

Inggris terbelah dua. Pro dan kontra brexit. Meski kebanyakan hasil survei menunding pihak pro Brexit meraih tempat teratas, keputusan akhir tetap berpegang pada hasil referendum.

Bila Inggris Hengkang dari UE

Di seberang sisi, kampanye penolakan Brexit juga tak kalah masif. Mereka menamakan gerakannya “Britain Stronger in Europe” yang berharap Inggris bertahan di UE. Fokus kampanye mereka berkait stabilitas ekonomi Inggris dan UE. Perdana Menteri Inggris, David Cameron, salah seorang motor gerakan kontra Brexit, menilai hengkangnya Inggris dari UE akan menimbulkan lubang hitam besar bagi perekonomian Inggris. “Jadi tanyakan pada diri sendiri, apakah saya telah berketetapan untuk memilih keluar dari UE akan menjadi hal terbaik bagi kemanan perekonomian dan keluarga saya?” tulisnya pada kolom Sunday Telegraph.

Argumen Cameron memang sangat beralasan. Keluarnya Inggris dari UE akan memicu goncangan besar, sebab Inggris sebagai salah satu dengan perekonomian terbesar UE, dan terkoneksi dengan sekutu dagang terbesar semisal AS. Inggris merupakan salah satu destinasi investasi terbesar AS. Pengusaha AS menjadi investor asing terbesar di Inggris dengan mempekerjakan satu juta orang lebih. Tentu, bagi pebisnis AS, Inggris adalah gerbang menuju perdagangan bebas dengan anggota-anggota UE, namun Brexit menutup akses tersebut dengan risiko turunnya pendapatan.

Tak pelak, jika para investor AS menyerukan dukungan “Britain Stronger in Europe”. Produsen mobil asal AS, Ford, seperti dilansir Reuters, telah mengirim surat kepada 14.000 karyawan Inggris berisi pesan pentingnya menjaga stabilitas dengan memilih Inggris bertahan pada UE.

Ford berkepentingan dengan hasil referendum, sebab Inggris merupakan pasar mobil terbesar nomor dua di Eropa. Tak hanya Ford, mengekor pula Citigroup, Goldman Sachs, JP Morgan dan Morgan Stanley ikut menjaga asa dengan memberi donasi ratusan ribu dolar untuk kampanye “Britain Stronger in Europe”.

Dampak besar hengkangnya Inggris dari UE tak luput dari pandangan IMF (International Monetary Fund). IMF menaksir pertumbuhan ekonomi Inggris akan terpangkas sebesar 5,6% dalam rentang tiga tahun paska-Brexit. Lesunya pertumbuhan ekonomi, berdampak pada melemahnya nilai tukar Poundsterling juga renegosiasi perjanjian dagang dengan sejumlah negara UE, bahkan seluruh dunia. Renegosiasi beroleh masa waktu tak sebentar, bisa menahun, dan berisiko membuat bisnis mangkrak.

Brexit pun memiliki dampak buruk bagi tunjangan triple lock, menggaransi pensiunan Inggris dan sistem kesehatan (The Nastional Health Service) akibat tekanan terhadap keuangan publik. Anggaran militer pun kena dampak pemotongan 1-1,5 miliar Pound per tahun menyusul semakin lemahnya perekonomian Inggris.

Bahkan, Menteri Keuangan Inggris, George Osborne, menunjukan bukti kuat Inggris bisa menjadi negara miskin bila memilih Brexit, berupa menghilangnya uang dalam jumlah besar dari Inggris.

Dia bersandar pada laporan bulanan Bank of England, dengan kisaran kehilangan uang sebesar GBP 65 Miliyar Pound. Brexit, menurut Osborne, memicu banyak investor menarik uang mereka dan mengubahnya ke mata uang lain karena kekhawatiran kestabilan Inggris paska-hengkang dari UE.

“Pasar finansial mengatakan kepada kita semua bukti-bukti, Inggris akan menjadi miskin permanen jika memilih keluar UE dan pasar tunggal,” kata Osborne, selaik nukilan dari Sky News.

Usaha membendung dukungan kelompok pro Brexit telah diupayakan Cameron dengan mengajukan reformasi UE melalui naskah kesepakatan keanggotaan UE. Naskah tersebut merupakan permintaan negosiasi ulang berkait keanggotan UE. Rancangan naskah, termasuk salah satunya soal klaim kesejahteraan migran Eropa setelah empat tahun bekerja dan perlindungan bagi negara-negara yang memilih tidak menggunakan mata uang tunggal Euro, telah disampaikan kepada Presiden UE Donald Tusk.

Tusk menyambut baik usaha Cameron tetap mempertahankan keutuhan Inggris pada UE. Dia pun sependapat dengan Cameron bahwa Brexit akan membawa petaka bagi Inggris. “Mengapa begitu berbahaya? Karena tidak ada yang bisa meramalkan konsekuensi jangka panjang yang mungkin terjadi,” ungkap Tusk, dikutip dari Reuters. “Sebagai sejarawan, saya takut bila Brexit akan menjadi awal kehancuran tidak hanya bagi UE tetapi juga peradaban politik Barat”.

Naskah kesepakatan Cameron, ternyata mendapat gunjingan dari kubu pro Brexit. Mereka menganggap langkah Cameron sebagai usaha “menyemir kotoran”, jelang referendum Brexit. Surat kabar Inggris turut menyumbang komentar pedas terhadap aksi Cameron. “Kesepakatan UE-Cameron Lelucon,” demikian judul Daily Express. Sementara Dairy Mail menyebut aksi itu sebagai “Delusi Besar!”. Sejumlah menteri kabinet Inggris, sebagaiman termuat Daily Telegraph, mengancam memboikot naskah kesepakatan tersebut, dan menyebutnya sebagai kesepakatan “cair”.

Kedua kubu, baik pro maupun kontra Brexit mengeras pada masing-masing argumen melemahkan atau memperkuat Brexit. Penentuan keputusan selangkah lagi akan berlangsung pada jajak pendapat tanggal 23 Juni 2016. Jajak pendapat digelar pada 382 tempat pemungutan suara di pelbagai wilayah Inggris Raya. Warga Inggris Raya memiliki hak suara dapat menjawab “Ya” atau “Tidak” teradap pertanyaan meilih hengkang atau bertahan pada UE.

Dirga Adinata 

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Daily Mail/Mirror/The Telegraph/Reuters
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 913
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1151
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1406
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1550
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 706
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 865
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 817
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya