SABANG di Pulau Weh adalah sesuatu yang adanya menggenapkan dan tiadanya mengganjilkan. Tak akan ada lagi lagu dari Sabang sampau Merauke, bila kota ini tiada. Meski dalam nada sedikit nyinyir, Sabang sering diamsal dengan singkatan: santai banget. Dinamika kehidupan perekonomian di kota ini menggeliat pukul 10.00 wib, dua jam kemudian istirahat – solat – makan siang. Lalu buka kembali dan berakhir ba’ada ashar sebelum maghrib tiba. Selepas itu, istirahat sampai subuh kelak tiba.
Sabang adalah pintu gerbang Indonesia di kawasan Barat, terletak di Pulau Weh dengan luas kota 156,3 km.² Reliefnya lengkap dari laut sampai bebukitan, dengan ‘puncak’ tertinggi 617 meter di atas permukaan air laut. Pulau Weh sendiri disebut pulau yang lepas, lantaran dipisahkan dengan daratan Sumatera dengan selat Bengal.
Ada yang menarik, meski sesungguhnya Sabang dikepung laut, masyarakat setempat menyebut nama lima danau, yakni : Aneuk laot, Paya Senara, Paya Karieng, Paya Peutapen dan Paya Seumesi. Sambil bergurau saya katakan, Paya yang satu lagi diambil Sultan Perak, kemudian ditempatkan di Temasek (Singapura) menjadi Paya Lebar.
Sabang adalah surga bagi mereka yang memerlukan wisata alam semula jadi. Terutama para wisatawan yang mau mendekatkan diri lebih intens dengan Allah Maha Pencipta. Banyak lokasi yang pas untuk merenung dan menyegarkan batin, termasuk di Pulau Rabiah dan Tanjung Tengku. | teks dan foto-foto bang sem