Benahi Minda, WAG Cerdas

| dilihat 1607

Sem Haesy

SEJAK sebulan terakhir, alhamdulillah, saya berhasil keluar dari sekitar 15 grup whatsapp. Pasalnya? Saya tak mau terjebak oleh situasi apapun yang tak perlu. Saya juga risau, karena tak banyak beroleh informasi cerlang.

Di semua grup yang saya left, itu yang saya dapatkan hanya informasi sampah. Termasuk copy paste materi dan format informasi yang tak jelas juntrungannya. Dan, nyaris tak mencerminkan kreativitas anggotanya untuk menyampaikan gagasan atau ide-ide tangkas dalam membahas masalah. Selebihnya, WAG hanya berisi gerutuan kaum yang tak berdaya.

Beberapa kali saya mencoba untuk menawarkan hal lain, memancing lahirnya gagasan kreatif dan segar. Responnya? Hanya satu kata yang menyebalkan, "viralkan!"

Selebihnya, WAG sudah keluar dari esensinya untuk bertukar informasi segar yang original dalam menyikapi fenomena sosial yang sedang berkembang. Ironisnya, yang menjadi anggota WAG itu bukan kaum amah. Rata-rata berpendidikan tinggi, bahkan ada yang menyandang jabatan akademis sebagai guru besar, Professor.

Saya masih mereview sisa WAG di bimbit saya, sehingga hanya yang sungguh bermanfaat (setidaknya menambah wawasan dan sikap kritis yang proporsional dalam memandang sesuatu).

Beberapa WAG yang tersisa memang bermanfaat dan dewasa. Saya masih mengikuti satu WAG tentang politik yang fokus membahas soal-soal politik mutakhir. Informasinya segar dan dapat dipercaya. Anggotanya heterogen. Diskusinya menarik, karena jauh dari sikap cultus individu, jauh juga dari 'sentak sengor,' alias debat kusir 'mencari ketiak ular,' yang berujung pada friksi bodoh. Diskusinya tajam, terbuka, dan bernas. Tapi pilihan narasi dan sikap anggotanya cerdas dan bijak. Diskusi-diskusi di WAG berlanjut dengan diskusi bulanan secara face to face, yang mengkaribkan relasi para anggotanya.

WAG lain yang saya ikuti fokus pada kajian filsafat dan tasawuf. Anggotanya tersebar dari berbagai daerah berbagai kampus di dalam dan luar negeri. Ini juga heterogen, masing-masing anggota menganut beragam mazhab dalam memanifestasikan keyakinan agamanya. Diskusi berlangsung tajam, fokus, dan substantif. Seluruh anggota konsisten dengan kesepakatan, tidak akan masuk ke dalam wilayah fikih.

WAG lain yang saya ikuti terbilang ringan. Hanya berisi sendagurau yang sangat dewasa, para peserta aktif saling mengingatkan admin, bila ada anggota yang keluar dari kesepakatan, misalnya: tidak merepost materi copy paste yang tidak relevan. Bila masih ngotot juga, diberikan sanksi, dan diumumkan secara terbuka sebelum dikeluarkan dengan tidak hormat.

WAG lain yang masih saya ikuti, terkait dengan hubungan komunitas antarabangsa: Malaysia-Indonesia. Selain membahas isu-isu mutakhir, juga menggelar diskusi ihwal seni, resam budaya dan dimensi peradaban Melayu. Lewat WAG ini kemudian digagas beberapa aksi, termasuk pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Mohammad dan para tokoh lain, yang kemudian diundang menjadi anggota grup.

Saya juga masih mengikuti WAG yang anggotanya para jurnalis senior dan pemimpin redaksi. Ini juga WAG yang membuka ruang kebebasan berekspresi, berdebat, dan berdiskusi. Anggota yang berbeda pandangan dan sikap politik, merdeka menyatakan pendapat dan sikapnya. Termasuk saling melontar argumen tentang sikap media yang sebagian cenderung tak independen (istilah lain yang kami pakai: menghina jurnalisme).

Satu WAG lagi yang masih saya ikuti, terdiri dari para mantan aktivis 70-an, mantan politisi ( termasuk mantan anggota parlemen, menteri, pejabat eselon satu, dosen, hakim, pengacara, budayawan, agamawan, dan aktivis perempuan). Tak laki, tak perempuan, anggota grup ini tangkas dalam merespon isu-isu mutakhir. Anggota yang biasa repost copy paste informasi sampah, akan jadi sasaran kritik dan kecaman bertubi-tubi dan diklasifikasi ke dalam kategori 'belum layak jadi anggota.'

Belakangan, karena sebagian kami meninggalkan WAG dan bermigrasi ke platform lain, TG (Telegram Grup), HiG, Taringa dan FN (facenama), WAG yang dipertahankan hanya yang bersifat lebih spesifik. Termasuk WAG terkait dengan kiprah organisasi, kegiatan mengajar, dan informasi bisnis. Satu yang unik, WAG khas terkait dengan kuliner nusantara yang di dalamnya bertukar gagasan ihwal teknologi sampai cara penyajian kuliner. Misalnya, bagaimana mengolah jengkol (dalam aneka masakan) dengan menurunkan intensitas bau dan dampak konsumsinya.

Beberapa teman yang memelopori WAG-WAG tersebut mengingatkan, bahwa bersosialisasi dan berkomunikasi lewat WAG pada dasarnya merupakan bagian dari upaya membenahi minda, cara berfikir, bersikap, dan beraksi. Menegaskan fungsi WAG sebagai ajang silaturahim dan mencegahnya menjadi sekadar ajang untuk misu-misu alias geremengan.

Tentu, mengendalikan WAG, sehingga tidak menjadi trash basket atau rubbish bin, sekaligus memilih dan memilah konten yang akan di-repost dan di-share: mana yang rubbish information dengan polish information. Membenahi minda personal, dengan sendirinya akan membenahi minda WAG menjadi cerdas, sekaligus bijak. Antara lain dengan memelihara akal budi dan membuang jauh emosi, kala menuliskan konten atau akan melakukan reposting (share).

WA atau medsos pada umumnya, tidak mendesain fitur-fiturnya untuk menebar kedunguan atau kepandiran yang hanya menghabiskan waktu secara sia-sia. WA dan seluruh platform medsos didisain untuk menambah nilai bagi penggunanya. Termasuk menambah cerdas dan bermanfaat.

Kita bisa menjadikan WAG sebagai medium yang membantu kita menjadi pencerah, atau sebaliknya, menjadikan kita menjadi korban jebakan fantasi dan tenggelam dalam kejumudan. Semua berpulang pada kita. Benahi minda bermedsos, jadikan WAG cerdas dan menambah nilai.. |  

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1502
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1320
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Energi & Tambang