Geliat Kaum Bika di Ranjang Birahi dan Panggung Sosiopolitik

| dilihat 1772

Catatan Bang Sem

Awal tahun 2019 khalayak dihebohkan oleh kasus penggerebegan alias operasi tangkap tangan pelacuran online kelas atas di sebuah hotel di Surabaya.

Pelakunya seorang pelacur berselubung artis dan seorang pengusaha tambang. Celakanya, yang dipersoalkan hanya soal tarif yang aduhai. Bukan aksi pelacuran itu sendiri.

Sebelumnya, seorang model cantik dihadirkan dalam sidang pengadilan kasus penipuan. Jalannya juga soal pelacuran khas.

Sang pelacur yang berselimut profesi sebagai model mengaku, ditipu dan dirompak setelah melayani hubungan seks seorang lelaki binal.

Selebihnya, hampir setiap hari pengguna media sosial disalam sapa oleh pelacur yang menjajakan dirinya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Saya menyebut para pelacur itu sebagai Kaum Bika, yang memperdagangkan kehormatannya di ranjang seksual dan panggung parlemen.

Pelacuran dianggap sebagai 'profesi' tertua di dunia, seperti tercatat dalam berbagai tulisan kuno, seperti Raja Uruk dan Gilgames di Mesopotamia.

Pada masanya, sekira 640 SM (sebelum masehi), Raja Yosia di Yerusalem, menghapuskan apa yang disebut prostitusi suci. Para gadis belia menjual pesona personanya, setidaknya sekali di kuil dewa Ishtar. Itu sebabnya, pelacur belia dan molek disebut sebagai Ishtaritu.

Pelacuran atau profesi pelacur menjadi 'musuh yang disenangi' sejak ajaran monoteisme berlaku.

Pelacuran khas menjadi heboh, ketika kaum reformis Solon di Athena, jengkel akibat ekses sosial yang ditimbulkan praktik pelacuran, sejak berbagai kasus pembunuhan dan dehumanitas berlaku dan memaksakan klaustrasi di rumah-rumah bordil.

Rumah-rumah bordil atau lupanar yang berada di bawah perlindungan tinggi Venus, menjadi titik-titik dehumanitas. Para pengelolanya hanya tunduk kepada pemerintah kota, seperti di Roma. Pada masa itu, terbentuk lokalisasi lupanar di distrik populer Trastevere dan di lorong bawah Fornix.

Pelacuran merebak lagi, ketika Raja Perancis Louis IX memperbarui kewajiban bagi pelacur untuk mempraktikkan aksi mereka -- yang disebut seniseksual -- di tempat-tempat tertutup. Kebijakan ini, memaksa pelacur-pelacur meninggalkan tepian Sungai Seine pada zona pinggiran kota yang populer dengan Belle Époque.

Lokalisasi itu ditutup pada 13 April 1946, atas perintah Marthe Richard, seorang mantan pelacur. Tapi kemudian tumbuh lagi di lokasi lain. Pada era modern lokalisasi itu tumbuh dan berkembang di Pigale dan Lido.

Tak semua pelacur bernasib buruk. Ada juga yang bernasib baik dan diperisteri oleh Kaisar Justinian. Pelacur itu bernama Theodora, yang dikenal energetik, progressif, dan luar biasa.

Di sejumlah kota Yunani, para pelacur khas berkamuflase dengan membuka salon kecantikan dan rumah-rumah perawatan tubuh. Itu sebabnya mereka disebut hétaïres atau "sahabat."

Tradisi ini diabadikan, meskipun dalam skala yang lebih kecil, di salon-salon Paris pada abad ketujuh belas, dengan wanita yang sama sensualnya seperti Marion de Lorme dan Ninon de Lenclos.

Karena hanya melayani para petinggi dan saudagar, para hétaïres terbilang sebagai kalangan khas, yang juga kaya raya dan mampu mengelola bisnis. Salah satunya, Aspasie de Milet, yang mendapat kehormatan untuk menjadi pendamping Pericles kala berdebat dengan Socrates.

Pola relasi sosial para pelacur dengan petinggi atau saudagar itu, selepas masa renaissance memberi warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat dan politik di Italia, terutama di Venesia.

Sepanjang abad ke 20, dari kalangan pelacur dan bintang porno, seperti Ilona Anna Staller merambah karir sebagai politisi dan terpilih sebagai anggota parlemen.

Pola operasi para pelacur khas pun berubah. Mereka menawarkan diri mereka dengan imbalan kemewahan, sekaligus sebagai subyek yang menentukan dengan siapa dia akan berhubungan seksual. Termasuk menetapkan tarif mereka dan merupakan kesenangan para pelancong kaya, hakim Republik Tenang dan seniman seperti Titian (Venus of Urbino).

Di kalangan seniman Perancis sampai dekade 90-an masih berkembang pameo, sastra Perancis berutang kepada para pelacur khas, itu. Karena sejumlah pelacur khas, itu telah mendorong kreativitas dan merawat fantasi sebagian besar penulis klasik Grand Siècle ini, dari Corneille sampai La Fontaine.

Beberapa pelacur khas ini, yang sadar tentang batas masa kemolekan dan energi melayani 'pelanggan'-nya, kemudian menempa diri sebagai nyonya rumah yang dipujikan dan berkelas, antara lain Marie-Anne Detourbay yang menjadi Countess of Loynes.  

Berbeda dengan Ilona Anna Staller yang berjuang mengubah posisi mereka dari ranjang seksual (porno aksi) dan pornografi, di panggung sosial politik ragamnya lebih bervariasi.

Ada politisi, saudagar dan petinggi yang terperosok ke jebakan pelacur, dari yang harafiah, bahkan sukacita mengabadikan perzinahan dengan rekaman video. Pun dalam pengertian simbolis, yang akhirnya direkam kamera jurnalis, kemudian dipublikasikan luas. Mereka itu, para pelacur politik yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi.

Para pelacur itu ( pelacur seksual dan pelacur politik ) mempunyai persoalan yang sama, yakni tak sanggup mengelola hawa nafsu. Tak cukup pandai mengharmonisasi nalar, naluri, perasaan, dan dria mereka. Aksinya juga sama: menjualbelikan kehormatan.

Alasannya boleh jadi sama: dendam pada kemiskinan, karena sektor riil seolah tak memberi peluang besar bagi diri mereka.

Geliat kaum bika atau pelacur sosial, mungkin level tarif dan bilangan angka-angkanya hanya sampai bilangan mio (kabar mutakhir sekitar 100 juta rupiah). Pelacur sosiopolitik, bilangannya ribuan dollar Amerika dan dolar Singapura.

Kaum bika yang beroperasi di atas ranjang sosial, boleh jadi hanya menarik uang dari kocek pelanggannya, siapapun dia. Tapi para pelacur sosiopolitik merogoh kocek negara. Keduanya sama tak berhormat, lantaran sudah berdagang kekuasaan dan kewenangan yang seharusnya dipergunakan untuk menyejahterakan rakyat.

Sejak beberapa waktu berselang, begitu banyak kaum bika di ranjang kekuasaan sosiopolitik yang terciduk oleh KPK, mudah-mudahan jelang Pemilu Serentak 2019, Bawaslu (badan Pengawas Pemilu) juga musti waspada pada kemungkinan terjadinya aksi pelacuran lain: jual beli suara rakyat.

Kita, rakyat, kudu kian waspada mengawasi seluruh prosesnya sampai ke muara. |  #Ciletuh070119

Editor : Web Administrator | Sumber : herodote dan berbagai sumber
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 100
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 517
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 526
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 445
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya