Masih Banyak Profesor Sungguh Cendekiawan

| dilihat 619

Bang Sém

Sejak Agustus 2020 begitu banyak netizen yang menyoal tentang jabatan akademik Profesor alias Guru Besar. Hingga akhir Agustus 2020, "Profesor" menjadi trending topic. Tak kurang dari 11,8 ribu kicauan tentang profesor muncul di media sosial twitter dengan beragam penilaian.

Sampai Oktober 2020, populasi profesor sudah mencapai sekitar 5.665 orang, dan jumlah itu akan terus bertambah. Apalagi, ketika ada lembaga perguruan tinggi yang secara konotatif menganggap jabatan akademik tertinggi, itu laksana padi yang siap panen.

Dengan sukacita, ada perguruan tinggi yang ketika mesti menggelar pengukuhan guru besar, menggunakan istilah "Panen Raya."  Orientasinya lebih kepada kuantitas dan bukan kualitas.

Karenanya wajar saja bila banyak muncul beragam istilah yang memandang jabatan fungsional akademik, itu tidak sebagaimana mestinya. Ada yang menyindirnya dengan 'kompressor,' 'prosesor,' 'profesor kardos,' dan lainnya. Hanya karena banyak mereka yang membanggakan diri jabatan profesor-nya ketika tampil dalam forum publik, termasuk talkshow televisi, tetapi pemikirannya tidak mencerminkan pemikiran seorang guru besar.

Di lingkungan masyarakat yang relasi korelasi sosialnya masih terikat dengan patron client relationship dan traditional authority relationship yang cenderung feodal, jabatan fungsional akademik, itu masih dipandang sebagai simbol status.

Tak sedikit penyandang jabatan akademik ini, yang risau dan galau ketika jabatan itu tak disebutkan di depan namanya ketika hadir dalam acara atau forum yang bukan acara, upacara, atau forum akademik.

Beberapa kali, teman yang menyandang jabatan profesor tak berkenan ketika hanya saya sebut namanya saja dalam suatu perhelatan. Karena saya, biasanya, memang hanya memanggil seseorang dengan jabatan akademik itu, ketika mereka sedang menjalankan fungsi yang sesuai dengan jabatannya.

Sama halnya dengan saya menyebut 'Bapak Presiden,' ketika penyandang jabatan itu sedang menjalankan fungsinya sebagai 'Presiden.' Ketika dalam acara sangat personal dan non formal, saya biasa menyebutnya 'Mas' atau 'Pak' dalam forum setengah formal.

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas menyebut guru besar atau profesor, sebagai jabatan fungsional tertinggi bagi pensyarah (dosen) yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Sejak terbit undang-undang tersebut, jabatan akademik guru besar/profesor, harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Sebelumnya, masih berlaku kriteria umum sebagaimana lazimnya di berbagai negara, seorang guru besar/profesor bisa saja hanya berkualifikasi akademik sarjana atau master.

Selain berkualifikasi akademik doktor (S3), sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) Nomor 46 Tahun 2013, syarat profesor/guru besar juga harus memiliki karya karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi. Sekaligus, kudu mempunyai pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat selama 10 tahun. Kendati begitu, tak sedikit juga teman yang meski tak menjalani profesi sebagai dosen secara konsisten selama satu dekade, beroleh juga jabatan akademik tertinggi, itu.

Di Indonesia, guru besar/profesor mempunyai kewenangan membimbing calon doktor, berkewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah. Pun, menyebarluaskan gagasan dan pemikiran untuk mencerahkan masyarakat.

Guru besar yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental yang sangat istimewa dalam bidang keilmuannya, serta mendapat pengakuan internasional berpeluang diangkat menjadi profesor paripurna.

Sebutan guru besar atau profesor sendiri hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif sebagai pendidik di perguruan tinggi. Meski tidak diatur dengan jelas, di Indonesia, para pensiunan guru besar, masih disebut sebagai profesor emiritus sebagai penghormatan sosial.

Tidak semua penyandang jabatan akademik guru besar / profesor berperilaku sebagaimana yang menjadi trending topic di media sosial, itu. Sangat banyak profesor di Indonesia yang mumpuni, kreatif, inovatif, dan tak pernah henti mengembangkan berbagai gagasan yang sangat mencerahkan masyarakat, yang mau dan mampu memberikan gagasan genial mereka untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi bangsa. Tak sekadar membuat pernyataan-pernyataan untuk konsumsi media yang justru menimbulkan masalah baru.

Dalam kehidupan sehari-hari saya berinteraksi dengan banyak guru besar/profesor -- keluarga, kerabat, sahabat -- yang mempunyai kualitas dan kompetisi tinggi di bidang keilmuannya. Sangat menguasai di bidang akademik yang memang ditekuninyta untuk ditransfer dan diajarkan kepada mahasiswanya. Termasuk tanggungjawab sosial yang tinggi terhadap pengembangan pendidikan dan potensi masyarakat. Tak terkecuali, menyiapkan calon profesor baru untuk tanpa henti melakukan kajian dan riset, bahkan riset mandiri, sekaligus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka.

Beberapa kerabat, yang menjadi guru besar / profesor di beberapa universitas di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, Malaysia, Australia dan di Eropa, menapaki proses penjenjangan, mulai dari asisten dan asosiat profesor, sampai akhirnya menjadi profesor.

Mereka mengikuti proses dan harus lulus uji kelayakan (kepatutan) sebagai guru besar di tingkat nasional negara. Dari posisi asisten ke asosiat dan profesor penuh, mereka intensif melakukan riset dan menulis buku karya ilmiah berkualitas tinggi dan menjadi rujukan akademik secara internasional.

Di Amerika Serikat, misalnya, mereka harus punya pengalaman mengajar dan meneliti -- secara tanpa henti -- selama  12-14 tahun. Termasuk menemukan dan merumuskan suatu teori baru yang di bidang keilmuannya. Kesemuanya tercermin dalam indikator kinerja akademik (Academic Performance Index).  

Secara pribadi saya sangat karib dengan sekurangnya lima guru besar perempuan di berbagai bidang keilmuan dari lembaga tinggi - universitas yang berbeda. Selama masa pandemi nanomonster Covid-19, saya melihat dan terlibat diskusi intensif dalam proses kreativitas, inovasi, dan invensi kelimanya.

Pemikiran dan gagasannya sangat mencerahkan, mulai dari bidang keilmuan seni budaya, ekonomi sumberdaya, antropologi, filsafat, dan pendidikan. 

Saya beruntung, melalui proses diskusi dan interaksi intensif, dapat banyak belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan baru dari mereka. Sekaligus memperkaya wawasan saya tentang seni budaya - termasuk kecerdasan budaya, Sustainable Development Goals - SDG's) - kelautan dan pesisir, filsafat sosial, agama, dan kecenderungan perubahan orientasi spiritual - religi yang dipicu dan dipacu oleh singularitas, termasuk model pendidikan khas Indonesia yang mampu bertanding dan sesanding dengan transformasi pendidikan di berbagai negara maju. Termasuk model ekonomi baru universe prosperity untuk menggantikan sosialisme mondial dan kapitalisme global yang terbukti rapuh.

Dari interaksi dengan beberapa sahabat, guru besar laki-laki dari beberapa universitas di dalam dan luar negeri, saya belajar dan beroleh pengetahuan dan wawasan pengetahuan baru tentang social finance viabilities, format baru perbankan yang nir kantor sekaligus reposisi institusionalnya menjadi financial services centre.

Selain itu juga pemikiran dan pandangan baru tentang pemenuhan kebutuhan energi listrik dalam skala rumah tangga untuk kawasan miskin dan daerah tertinggal, khasnya bagi masyarakat di pulau terpencil, yang murah dari sisi ekonomi, tapi besar manfaatnya.

Memang tak sedikit guru besar/profesor yang belum selesai dengan dirinya, masih sibuk memburu jabatan, dan berasyik-maksuk dengan obsesi-obsesi kekuasaan dalam konteks kepentingan sesaat dan menyesatkan. Termasuk guru besar/profesor yang 'malas' dan tak menghasilkan karya besar.

Tapi, jumlah mereka yang berkualitas dan menjadi sumber pencerahan masyarakat, jauh lebih besar. Mereka memancarkan aura dan kekhasan perguruan tinggi -universitas tempat mereka mengabdikan diri.  Termasuk mereka yang egaliter, kosmopolit, dan elegan dalam menempatkan dan memposisikan dirinya di tengah khalayak. Tak sibuk dengan atribusi yang melekat dalam jabatan profesor. Bahkan, seringkali merasa risih dipanggil "Prof" dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan akademik.

Mereka ini, para guru besar/profesor berintegritas, mandiri, kritis, dan bertanggungjawab pada prinsip-prinsip dasar profesionalitas sebagai guru besar.

Jadi tak usah gusar menyaksikan guru besar / profesor yang belum selesai dengan dirinya. Masih sangat banyak guru besar / profesor yang punya pesona persona sebagai guru besar yang sesungguhnya. Guru besar yang sungguh cendekiawan, yang mencapai jabatan tertinggi akademik, itu dengan cara yang tepat dan konsisten berpijak pada kebenaran, tak tergelincir pada kecenderungan menjadi pembenar. Guru besar/profesor pemberi solusi.

Tinggal lagi, bagaimana negara mendulang manfaat dari mereka, untuk bergerak cepat melintasi lorong gelap persoalan kebangsaan. |

 

Editor : Sem Haesy | Sumber : foto dokumentasi, ilustrasi berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 714
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 871
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 822
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 433
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 432
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya