Melanesia Destinasi Perburuan Kepentingan Masa Depan

| dilihat 1470

Abad ke 21 adalah abad Asia Pasifik. Meski agak terlambat, karena kuatnya orientasi ke Amerika - Eropa, perubahan orientasi kebudayaan (dalam makna yang luas, meliputi politik, sosial, ekonomi dan beragam aspek kehidupan lainnya) ke Asia Pasifik baru terasakan di paruh kedua abad konseptual ini.

Berbagai pemikiran yang berkembang sejak penghujung abad ke 14 tentang Asia Pasifik sebagai masa depan dunia, termasuk sebagai paru-paru dunia dari aspek lingkungan, telah mendorong orang-orang Eropa berlayar melintasi Pasifik.

Terutama karena posisi Samudera Pasifik memang sangat strategis, berada di antara Afrika, Asia, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Australia.

Mereka mencari rute perdagangan baru dengan Asia. Di Samudra Pasifik dengan banyak pulau berbagai ukuran, bentuk, topografi, iklim, dan sumberdaya. Alam dan lingkungan (fisik dan manusia) di Samudera Pasifik, sudah berlangsung ribuan tahun. Selama masa itu, beragam manusia dan budaya telah berevolusi, berbagi kemampuan satu dengan lain, untuk beradaptasi dan selamat dari kondisi lingkungan dan tantangan yang unik untuk kehidupan di pulau-pulau.

Orang-orang Eropa itu kemudian, menggunakan beragam istilah luas: "Mikronesia," "Melanesia" dan "Polinesia" untuk membatasi kelompok pulau yang tampaknya memiliki kesamaan fisik atau budaya. Namun, kesamaannya sebagian besar dangkal.

Orang-orang Eropa dengan beragam ekspidisi yang dilakukannya, merumuskan pemahaman tentang berbagai istilah itu, dengan caranya dan kemudian bersepakat untuk mengambil pengertian yang sama.

Melanesia, mereka pahami, secara harafiah sebagai, "pulau-pulau gelap" dan merupakan yang paling beragam secara budaya dari tiga wilayah pulau Pasifik.

Secara individu mereka ditandai dengan spektrum jenis tubuh dan warna kulit, sedangkan organisasi sosial ditandai dengan hierarki sederhana.

Aspek yang paling menarik tentang Melanesia adalah keanekaragaman bahasa komunikasi di antara kelompok-kelompok orang yang tinggal relatif dekat satu sama lain. Lantas, beberapa generalisasi berkembang. Bahasa Melanesia adalah unik dan beberapa di antaranya, mungkin hanya dituturkan oleh sejumlah kecil orang.

Lantas muncul pdgins dan kreol yang memungkinkan berbagai kelompok berkomunikasi satu dengan lain di tingkat nasional, sebagai akibat dari kontak mereka dengan orang-orang Eropa (Barat). Pun, demikian halnya dengan agama, yang dibawa serta oleh rezim kekuatan asing, khasnya Belanda, Inggris, Jerman, Perancis dan Jepang.

Di paruh pertama abad ke 20, kala terjadi Perang Dunia II, kawasan Pasifik termasuk yang diperebutkan. Kehadiran para penjajah yang bertarung di kawasan ini, telah menyebabkan transformasi sosial, politik dan ekonomi yang besar yang terus menantang masyarakat Melanesia hingga saat ini.

Pertarungan pengaruh yang berlangsung terus, antara kekuatan Amerika - Eropa dengan Asia -- terutama kini --, akan membuat kawasan ini terus bergerak dinamis hingga ke masa depan. Terutama, karena kawasan ini diyakini, seolah sekeping surga yang jatuh ke bumi. Dan di masa depan, ketika ekonomi dihela oleh pariwisata dan budaya, akan menjadi sasaran destinasi utama.

Kawasan Samodera Pasifik yang diyakini sebagai wilayah Melanesia, khasnya di Pasifik Selatan yang terdiri dari 2.000 pulau dengan total luas daratan sekitar 386.000 mil persegi (1.000.000 km persegi), itu dibatasi oleh Laut Arafura di barat, Australia dan Laut Karang di selatan.

Khatulistiwa, yang memisahkan Melanesia dari pulau-pulau Mikronesia di Palau dan Negara Federasi Mikronesia di utara. Pun Garis Andesit, area aktivitas vulkanik yang memisahkan wilayah ini dari Polinesia dan pulau-pulau Tuvalu, Tonga, dan Samoa di sebelah timur.

Di kawasan itu kini berdiri empat negara pulau Melanesia, meliputi Vanuatu (sebelumnya Hebrides Baru), Solomon Island, Fiji dan Papua Nugini (PNG). Juga Kaledonia baru yang termasuk kolektivitas Perancis, Papua, Papua Barat, dan Kepulauan Maluku yang merupakan provinsi Republik Indonesia. Kepulauan Maluku di masa lalu dikenal pula sebagai kepulau rempah-rempah. Jarak antara pulau PNG ke barat dan pulau-pulau Fiji ke timur menyebar sekitar 3.500 mil (5.600 km).

Di masa depan, kawasan ini akan menjadi kawasan perburuan ulang sebagai destinasi utama wisata dan investasi negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda, China, Korea dan Jepang.

Terutama, karena rantai pulau-pulau kecil yang terkait dengan berbagai negara, termasuk Kepulauan Lousiade dan Kepulauan Bismarck (termasuk Amphlette dan d'Entrecasteaux) di PNG, Kepulauan Solomon dan Kepulauan Santa Cruz,  Kepulauan Loyalty (bagian dari Kaledonia Baru), dan Kepulauan Lau, Viti Levu, Vanua Levu  dan Rotuma (bagian dari Fiji). Termasuk Kepulauan Raja Ampat (Indonesia), Kepulauan Selat Torres, dan Kepulauan Trobiand.

Secara alamiah, pulau-pulau di kawasan ini memang menarik dan unik, karena beragam topografinya. Mulai dari atol rendah hingga pulau tinggi. Pulau New Guinea, pada kenyataannya, adalah pulau terbesar kedua di dunia dan memiliki daerah pegunungan yang tinggi serta daerah pesisir yang kaya.

Kawasan beriklim lembab dan tropis dengan angin dan hujan musiman, ini juga menjadi sasaran penelitian bencana, karena aktivitas vulkanik dan seismik, yang rentan terhadap gempa bumi sesekali, badai dan tsunami. Dan karenanya, mengandung deposit mineral (tembaga, emas, dan lain-lain) yang kaya.

Karena beragam faktor yang dikandungnya, pulau-pulau di kawasan Melanesia juga akan menjadi destinasi perburuan di masa depan.

Martha Macintyre dan Simon Foale (2004) melihat akan terjadi tarik menarik antara 'keharusan' global dan keinginan lokal dalam konteks ekonomi dan lingkungan. Khasnya, ketika melihatnya dari perspektif globalisasi dan perubahan budaya di kawasan ini.

Kedua peneliti dari Universitas Melbourne dan James Cook, ini menyebut, sejak tahun 1970-an, masyarakat di negara-negara Melanesia telah diperdayai oleh prospek perkembangan ekonomi yang akan memungkinkan mereka berpartisipasi dalam sistem ekonomi pasar dunia. Seolah-olah  dengan hal itu, memungkinkan mereka untuk maju, untuk meningkatkan standar hidup dan untuk mengambil tempat sebagai negara-negara independen di dunia modern.

Secara kolaboratif, keduanya berpandangan, bentuk-bentuk partisipasi yang tersedia bagi masyarakat Melanesia, didorong oleh modal internasional, yang mensyaratkan ekstraksi sumber daya alam - mineral, kayu dan ikan.

Beragam perusahaan internasional selaku  'pengembang' menyediakan modal dan orang Melanesia menyediakan sumber daya dan tenaga kerja murah.

Proyek-proyek yang mereka siapkan dan wujudkan di kawasan ini, dipandang pula sebagai cara untuk mendukung pemerintahan nasional merdeka yang muncul melalui perjanjian ekuitas, pajak, dan royalti. 'Pembangunan' di kawasan ini, mengacu pada proses ekonomi dan politik yang difasilitasi oleh ekstraksi sumber daya oleh perusahaan multinasional.

Tetapi, semua proyek itu hanya bertumpu pada kepentingan ekonomi yang ditopang politik semata, dan cenderung mengabaikan tanggungjawab budaya yang mendorong percepatan kemampuan masyarakat di kawasan Melanesia. Khasnya untuk membalik kemiskinan, mendorong pemampuan budaya dalam penguasaan pengetahuan dan teknologi, penyelenggaraan pemerintahan dan bisnis.

Proyek-proyek itu, dalam banyak hal, bahkan cenderung membuat berbagai kota di kawasan ini menjadi destinasi urbanisasi yang berdampak tak selalu positif bagi pengembangan kemajuan kawasan ini.

Globalisasi, yang mewujud dalam bentuk 'pembangunan,' menurut Macintyre dan Foale, merupakan istilah longgar yang menggambarkan atau berteori tentang proses di mana kegiatan ekonomi dibentuk dalam lanskap keuangan dan politik yang luas yang dibentuk oleh negara-negara 'maju' dan perusahaan-perusahaan, yang sesungguhnya 'jauh' berjarak dengan keperluan utama kemajuan masyarakat. Antara lain, mencakup kebijakan, praktik keuangan, ekonomi, dan politik dari entitas 'ekonomi global' - dan menggabungkan komunikasi yang dimungkinkan melalui media elektronik.

Tetapi, ‘globalisasi’ juga membawa serta budaya global tak berbatas wilayah, dengan penyebaran pengetahuan, gagasan, dan keinginan. Seperti halnya imperatif ekonomi, menurut Macintyre dan Foale, kekuatan budaya terutama berasal dari 'masyarakat sipil global' yang ideal, yang berfokus pada upaya merekonstruksi dan imajinasi politik dunia, termasuk isu-isu lingkungan, hak asasi manusia dan hak-hak minoritas adat.

Macintyre dan Foale mengeksplorasi ide globalisasi sebagai fenomena ekonomi yang mencakup promosi konsumerisme, dan sebagai pengaruh lingkungan dan ideologi budaya.

Pemerintah negara-negara yang mengatur otoritas di kawasan ini, masih menempatkan istilah 'pembangunan' dalam konteks 'janji' pemakmuran yang wujudnya adalah kekayaan materi, peningkatan layanan, dan hubungan dengan dunia luar, seperti yang terasakan di  Papua Nugini dan Kepulauan Solomon.

Di kedua negara ini, penduduk desa terus menerus menuntut janji  'pembangunan' seperti dalam persepsi semacam itu, bahkan cenderung sebagai karitasi. Mereka akan mencela pemerintahnya masing-masing, karena gagal 'memberikan hadiah' yang dijanjikan.

Bagi mereka, pembangunan berasal dari dunia luar dan datang ketika orang kulit putih dan kuning, yang tiba untuk menegosiasikan akses ke tanah mereka, tempat penangkapan ikan mereka, hutan mereka dan mineral mereka.

Ironisnya, yang disebut sebagai agen perubahan adalah perusahaan multinasional yang minatnya hanya terkonsentrasi pada ekstraksi sumber daya primer - mineral dan kayu., yang  dalam ekonomi global nilai-nilai produk mereka ditetapkan di pasar dunia untuk produk primer.

Minat dan tujuan mereka dipertentangkan oleh pencinta lingkungan internasional yang, seperti pemegang saham, tinggal di negara-negara yang jauh dari komunitas Melanesia yang sumber dayanya dieksploitasi untuk kepentingan 'pembangunan ekonomi.'

Situasi ini yang lantas mendorong sensitivitas tersendiri, yang diluahkan melalui beragam bentuk aksi protes. Karenanya, sepanjang masih menjadi destinasi perburuan ekonomi masa depan, untuk kepentingan global dan mengabaikan prinsip pemajuan budaya, masyarakat Melanesia akan terus sensitif melakukan pembangkangan.

Pertimbangan budaya yang secara eksplisit mesti diwujudkan dalam bentuk corporate cultural responsibility - termasuk corporate community responsibility, bukan lagi corporate social responsibility... | haedar, delanova

Editor : Web Administrator | Sumber : guampedia, melanesian, dan berbagai sumber
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 201
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 376
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 222
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 431
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 430
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 400
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya