Mereka Membakar Imannya

| dilihat 2011

Moksen Idris Sirfefa

KEMARIN ada empat peristiwa penting yang saya catat. Pertama, Rakorsus Polhukam di Istana Negara, Jakarta; Kedua, Konperensi pers MUI di Jakarta, Ketiga, Konperensi Pers PP Muhammadiyah di Jakarta; dan Keempat, konvoi  ratusan massa membawa bendera Tauhid di kota Bogor, Solo, dan Garut. 

Semuanya merespon kejadian pembakaran bendera Tauhid yang dilakukan anggota Banser NU.

Kaget, sedih dan marah, tiga kata yang dapat mewakili reaksi umat Islam atas tragedi video pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat Tauhid Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah yang memviral saat ini. 

Entah setan apa yang merasuk pikiran anggota Banser NU di Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat saat merayakan Hari Santri Nasional, 21 Oktober 2018 itu, sehingga mereka melakukan tindakan konyol ini.

Saya mengenal kalimat suci Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah itu kira-kira saat berumur 3 (tiga) tahun.

Ceritanya, saya sering 'mengintil" bapak saya yang kebetulan seorang imam di kampung.  Mimbar masjid Jami’ Kaimana masa kecil saya terbuka menghadap ke depan.

Dua tiang di sisi kiri kanannya terdapat dua buah tombak bergagang kayu dan bermata besi dengan posisi sedikit condong ke depan. Antara mata tombak besi dengan gagang kayunya diikat sepotong kain putih.

Tepat di atas dua tiang mimbar bagian depan terdapat plang papan bertuliskan   Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah (aksara Arab).

Barangkali, saat itu, saya sama dengan anak-anak kaum muslimin pada umumnya, yang mengalami pengislaman secara alamiah dengan mengenal kalimat Tauhid itu sejak dini. Panca indera kita menyerap kalimat Tauhid itu hingga terpatri di kedalaman bawah sadar, lalu menjadi bagian paling intim dalam kehidupan kita.

Kalimat itu terawat baik di setiap keluarga Muslim, kemudian menjadi ibadah dan aktualisasi keimanan dan keislaman dalam hidup sehari-hari. Proses pengislaman seperti yang kita alami sejak kecil ini berbeda dengan mereka yang mengalami pengislaman (baca : masuk Islam) setelah dewasa, atau mereka yang berkonversi dari agama lain ke Islam. Itu sebabnya, pertama kali menonton video itu, spontan batin saya mengatakan, biadab pada para pelakunya.

Kepada siapakah mereka melampiaskan kemarahannya? Kalau kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), rasanya salah alamat, karena ormas ini telah dibubarkan oleh rezim Jokowi beberapa waktu lalu. Pun salah besar jika tulisan Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah diidentikkan dengan HTI, karena kalimat Tauhid itu bukan milik HTI tapi milik umat Islam.

Justru yang dikhawatirkan adalah reaksi dunia Islam yang akan mempertanyakan hal ini kepada pemerintah Indonesia, mengapa kejadian konyol ini bisa terjadi di sebuah negeri dengan penduduk mayoritas Muslim?

Konon Dandim 0611 dan Polres Garut segera bertindak cepat (dan sudah tepat) mengamankan para pelaku pembakaran itu (mudah-mudahan benar). Sebab, kejadian ini bukan lagi sekedar mengganggu ketertiban masyarakat, tetapi dapat mengganggu keamanan nasional.

Reaksi umat Islam sejak peristiwa itu terjadi hingga hari ini, terus mengutuk tindakan berkategori biadab ini. Meskipun Ketua Umum GP. Anshar, Yaqut Cholil Qoumas telah mencoba berapologi, bahwa tindakan pembakaran itu untuk menjaga kalimat Tauhid, tetapi pernyataan itu pasti tidak mengubur  pemahaman umat Islam secara umum, bahwa 'kalimat Tauhid dibakar.' 

Para pelaku anggota Banser Ansor ini pasti tidak memiliki pengetahuan keislaman yang memadai. Mereka tak paham bahwa kalimat Tauhid itu bukan milik HTI, tapi milik umat Islam, termasuk milik mereka yang membakarnya. Jadi membakar kalimat suci ini sama saja dengan membakar diri sendiri.

Kalimat Tauhid Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah adalah identitas seorang Muslim. Kalimat ini yang membedakan mana Muslim dan mana non-Muslim. Ia adalah  password untuk dapat masuk ke dalam agama Islam secara penuh (kâffah), karena ia adalah syarat  pertama dan utama seorang Muslim. Mereka yang belum mengucapkan dan meyakini kalimat Tauhid ini sebagai keyakinannya, mereka belum dapat dikatakan Muslim dan Mukmin.

Kalimat Tauhid adalah credo paling pertama dan utama di dalam Islam. Di antara lima pilar (rakn/arkân) Islam, kalimat Tauhid Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah adalah paling pertama.

Islam itu menjadi agama perdamaian karena faktor arkân (asal kata rukun atau kerunanan), tetapi jika salah satu dirusak, maka rusaklah kerukunan itu. Baik kerukunan antar sesama Muslim maupun kerukunan antar semua komponen bangsa.

Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah adalah landasan iman dan amal saleh di dalam Islam.

Tanpa landasan kalimat Tauhid ini, ibadah shalat, puasa , zakat, haji tidak sah. Justru 4 (empat) pilar Islam lainnya ditujukan untuk pilar pertama dimaksud. Hanya karena perintah Allah dan Rasulullah SAW., umat Islam melaksanakan salat, puasa, zakat dan haji.

Tanpa Allah dan Rasululullah SAW (pilar pertama), amalan seorang Muslim atas keempat pilar Islam lainnya adalah muspra.  Pilar pertama ini adalah kalimat persaksian (syahadat) kaum Muslimin.

Kalimat Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah (Tiada tuhan kecuali Allah) adalah ikrar atau sumpah setiap Muslim untuk tidak berkompromi dengan pelbagai bentuk penuhanan bendawi atau non bendawi.

Lafadz “Lâ” (tiada) adalah “menyangkal” (negasi/nafi’) berbagai bentuk penuhanan di luar Allah dan “illâ” (kecuali) adalah “menancap” (afirmasi/itsbat) keyakinan bahwa hanya Allah yang wajib disembah. 

Kalimat ini yang pertama-tama difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat manusia melalui utusan-utusan-Nya, sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW (Qs. 16:36; 21:25).

Kalimat persaksian itu terdapat di bendera (liwa’ yang berwarna hitam dan Ar-Raya yang berwarna putih) milik pasukan Rasulullah SAW, sehingga bendera yang bertuliskan kalimat Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah identik dengan bendera Rasulullah SAW.  Itu sebabnya, kaum Muslimin mempertahankannya selalu berkibar, meski harus dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka.

Kalimat Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah adalah jatidiri setiap Muslim. Membakarnya sama dengan membakar setiap jiwa Muslim. Ajaran Tauhid ini yang melandasi seluruh isi Al-Qur’an.

Jadi, jika dibandingkan dengan kasus pelintiran surat Al-Maidah ayat 51 oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dua tahun lalu, peristiwa kali ini lebih menyakitkan dan menghinakan. Sebab yang dihinakan adalah landasan utama di dalam Islam.

Seorang Muslim yang tidak pandai membaca Al-Qur’an masih dapat ditolerir tetapi membaca syahadat, Lâ ilâha illâ  Allâh Muhammad Rasùlullah adalah wajib hukumnya.

Tindakan pembakaran kalimat Tauhid ini -- meski simbolik -- dapat dikategorikan tindakan penghinaan (blasphemy) kepada Allah dan Rasul-Nya secara hakiki. Oleh sebab itu pelakunya wajib dihukum berat oleh negara.

Satu hal yang bisa dilihat dari kasus pembakaran bendera Tauhid ini adalah beragama tanpa ilmu dan berbangsa tanpa ilmu. Suatu peristiwa contradictio in terminus di dalam paradigma nasionalisme Indonesia ala Banser adalah mereka menyanyikan mars Syubbân al-Wathân (cinta negeri) sebagai bagian dari iman. Iman yang dimaksud tentunya kalimat Tauhid yang sudah mereka bakar.  Menjaga iman dengan cara membakarnya.

Bogor, 24 Oktober 2018

 

(Penulis, Intelektual Muslim)

 

Baca Juga : Syarikat Islam Desak Pemerintah Pembakar Bendera Tauhid

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1158
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 57
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 237
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 269
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya