Catatan Bang Sèm
Usai menyertai sejumlah Pemimpin Redaksi dan wartawan media arus perdana Indonesia dan Malaysia, yang tergabung dalam ISWAMI (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia Indonesia) yang dipimpin Datuk Zulkefli Salleh (Malaysia) dan Asro Kamal Rokan (Indonesia) berbincang dengan Tun Dr. Mahathir Mohammad di Kantor Perdana Menteri - Putrajaya, Selasa (19/2/19), kami dibawa Pak Amin Boyo, ke Kajang, menikmati durian.
Pak Amin, pejabat di Kantor Perdana Menteri Malaysia dan staf nampak bersukacita menjamu selera aneka durian, termasuk durian 'udang merah' dan 'duri hitam.'
Saya yang sempat merasakan mabuk durian, ketika berkunjung ke Thailand beberapa waktu berselang, agak berhati-hati, meskipun Datul Zulkefli Hamzah (Utusan Malaysia) dan Cik Ahmad Yani (Sinar) tak henti memujuk.
Saya lebih senang menikmati Bung Ilham Bintang (Cek&Ricek), Rosiana Silalahi (KompasTV), Poeng (MNC Group), Irfan (Republika) dan Arifin Asydad (Kumparan), menikmati durian yang menurut penjualnya, buah penghujung musim dari Kuala Lipis, Pahang, itu.
Kami kembali ke hotel. Pak Amin masih bertahan, menunggu kedatangan Don Bosco Selamun (MetroTV) dan Ricky (Rakyat Merdeka) yang datang menyusul. Kepala saya sudah sedikit 'kliyeng'-an meski sudah minum air dari kulit durian.
Tiba di hotel, terpaksa rebah. Terlelap. Karenanya, saya terlambat mengikuti majelis makan malam yang digelar di salah satu function hall hotel tempat kami bermalam.
Di ruangan semua teman sudah duduk di kursinya masing-masing. Sejumlah jurnalis kampiun Malaysia juga sudah ada di situ, Datuk Jalil (Karangkraf), Datuk Ibrahim (Kementerian Komunikasi & Multimedia), Datuk Chamil Waria (Malaysia Press Institute), Datuk Mustafa (mantan pemimpin redaksi BH - Berita Harian), dan beberapa teman lain.
Saya duduk di antara Datuk Zulkefli Hamzah dan Don Bosco. Tak begitu bergairah untuk makan, karena kepala masih 'kliyengan.' Saya teringat omongan Achmad Kusaeni (BUMN Track), beberapa hari sebelumnya, yang tak nafsu makan gara-gara menyantap durian. Tak ada gairah makan malam, itu.
Betul kata Tun Dr. Mahathir ketika usai berbincang, berhentilah makan, begitu nikmat makan mulai terasa. Saya cukupkan makan, sambil menikmati penyanyi belia melantunkan lagu.
Selepas itu, saya menyimak takdzim pidato Datuk Zulkifli Salleh yang 'bergairah.' Pidato singkat penuh makna tentang dimensi hakiki akar kebangsaan kedua negara, sebagai bangsa Melayu yang merupakan bangsa besar.
Dalam konteks itu pertalian kebangsaan dan kesadaran sebagai bangsa yang besar, bangsa yang semestinya mempunyai kesadaran kolektif untuk terus tegak sampai entah bila. Datuk Zulkefli Salleh menukil beberapa episode penting perjalanan peradaban bangsa Melayu yang kemudian terpisah oleh posisinya sebagai negara kepulauan (archipelago), meski masih ada yang menyebutnya tetap sebagai negara kontinen.
Ketika Asro Kamal Rokan, yang biasa saya panggil Kyai Asro memberi sambutan yang santai berisi -- sembari memperkenalkan delegasi Indonesia -- apa yang dikemukakan Datuk Zul, bak gayung bersambut.
Kyai Asro mengulang ingat diskusi beberapa malam sebelumnya di Putrajaya, ihwal bangsa Melayu yang terkesan menjadi bangsa yang 'terabaikan' dalam pandangan antropolog dan sejarawan. Bangsa Melayu, seolah-olah merupakan bangsa yang muncul tiba-tiba, masuk dalam topik perbincangan tentang bangsa Arab dan Yahudi yang berebut tua dalam wacana bangsa Smith - khasnya Smithsonian gen -, Aria, Tiongkok dan Kildan.
Terkesan ada 'missing link,' khasnya ketika Prof. T. Yacob dari Universitas Gadjah Mada sejak beberapa masa lalu, membincangkan dengan sangat mengagumkan ihwal manusia Jawa, sejak ditemukannya Homo erectus paleojavanicus yang oleh Eugène Dubois diberinama ilmiah Pithecanthropus erectus , sejak dia memimpin tim penelitian yang berhasil menemukan fosil tengkorak di Trinil, antara Sragen - Ngawi pada tahun 1891.
Menyimak kedua pidato yang enteng berisi itu, kepala saya yang rada kliyengan, tiba-tiba tercerahkan. Dan tak seperti biasanya, saya terusik untuk minta waktu baca puisi (sesuatu yang nyaris tak pernah saya lakukan), seperti yang saya bisikkan kepada Don Bosco dan dua Datuk yang berpanggilan sama : Zul.
Rupanya Kyai Asro yang masih di mimbar mendengar, dan spontan bertanya, "betul mau baca puisi?" Usai Kyai Asro mengucap salam, begitu beliau turun, saya baca puisi spontan, ihwal bangsa Melayu.
Puisi spontan itu mengalir begitu saja, tanpa rencana. Mungkin lantaran separuh mabuk durian Musang King, di kepala saya melintas-lintas dan buncahan pemikiran Dr. Stephen Oppenheimer (Eden in the East) dan Prof. Arysio Nunes de Santos (Atlantis), yang menemukan formula tentang paparan Sunda. Juga pandangan Averos (Jaziratul al Mulq), Abu Mashar al Bakhi (Madrasat al Bakhi) dan Syeikh Muhammad Nazim Adil al Haqqani tentang bangsa yang 'hilang' yang bearada di wilayah Kangdez yang secara geografis berada di luar Tiongkok, bangsa yang hidup di wilayah dua musim dengan hujan hutan tropis.
Al Bakhi eksplisit memberikan indikasi, bangsa Melayu hidup di negeri dengan deposit emas, perak, batubara, nikel, logam mulia, serta perairan yang luas (sebelum dan sesudah terjadi bigbang - di pengujung zaman es), dengan salsabil (mata air) yang kekal. Negeri di Timur Matahari, menurut Averos.
Dalam pandangan Oppenheimer, peradaban dari bangsa yang hilang inilah yang sebenarnya mempengaruhi peradaban bangsa Smith, Aria, Tiongkok, dan Kildan.
Pidato Datuk Zul dan Kyai Asro mengusik kembali studi lama yang saya tekuni di dekade 80-an tentang peradaban Nusantara, 4300 tahun yang lampau, atau lebih jauh lagi. Syaikh Muhammad Nazim meyakini, bangsa Melayu yang hilang itu berpucuk ke manusia di era penyelamatan oleh Nabi Nuh as. Dalam pandangan Averos, Al Bakhi, Oppenheimer dan Santos bangsa di Paparan Sunda, itu merupakan the great nation yang paling ditakuti kebangkitannya oleh Yahudi, Aria dan Tiongkok di masa lampau.
Saya tak sempat meminta sesiapapun merekam puisi spontan yang saya bacakan secara oral dan tanpa persiapan, itu. Ketika di KLIA saya mendapat kiriman foto saya sedang membaca puisi dari Ammil Afik dan kemudian dari Poeng, ketika sedang di dalam kereta dari bandara Soetta ke stasiun BNI City. Terima kasih untuk kedua sahabat.
Saya menyarankan kepada Iswami Indonesia dan Malaysia menggelar Seminar Internasional tentang Bangsa Melayu Menjemput Alaf 22.
Hmmh.. tiba-tiba saya ingin lagi menulis dan membaca puisi dengan persiapan.. Sekaligus merampungkan buku puisi saya "Semenanjung Cinta," yang saya tulis setiap kali berada di Johor Bahru |