Penting Tapi Diabaikan

| dilihat 841

Bang Sém

"Semua yang penting dan utama, itu sering kita abaikan, kita perlakukan tidak dengan sepantasnya. Kita baru akan mengelu-elukannya, ketika pada titik nadir mereka, mereka mengorbankan dirinya untuk orang lain. Pada saatnya, akan terjadi situasi di mana masyarakat memerlukannya, tapi mereka dikucilkan."

Kalimat ini saya baca di diary almarhumah isteri saya, dua pekan setelah wafat pada Jum'at tengah malam (11 Maret 2017).

Tiga bulan terakhir, ketika kondisinya kian menurun, almarhumah selalu mewanti-wanti kepada kami, termasuk adik bungsunya, untuk memperlakukan semua petugas kesehatan secara proporsional.

"Berbaik sangkalah."  Kalimat ini yang selalu mengemuka darinya. "Sebagai manusia biasa, ada sedikit dokter dan perawat yang berperilaku tak patut.  Tapi, tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya," ungkapnya suatu ketika.

Dari almarhumah saya paham, dokter dan seluruh petugas kesehatan lainnya di Indonesia dan berbagai negara lainnya, berada dalam sistem kesehatan negara yang relatif lamban bertransformasi. Terutama, karena persoalan-persoalan berat, seperti epidemi dan pandemi tidak terjadi setiap saat.

Seringkali, siklus persoalan kesehatan memakan waktu berbilang abad. Paling tidak, sejak merebaknya virus black death yang melantakkan Eropa dan sejumlah negara lainnya.

Dari almarhumah juga saya tahu, kita seringkali mengabaikan sesuatu yang penting dalam kehidupan kita. Tak hanya terkait dengan kesehatan lingkungan, yang memperoleh perhatian di dekade 80-an .

Ketika bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Garut pada dekade itu, almarhumah kerap bersilang pendapat dengan sejumlah koleganya yang karena posisi struktural, tidak berkutik menghadapi sistem tata kelola negara dan pemerintahan. Bila berkembang wabah, baru perhatian bidang kesehatan mendapat perhatian.  Baru instalasi kesehatan mendapatkan prioritas dalam sistem perencanaan pembangunan (termasuk pembiayaannya). Padahal, ada trilogi pembangunan yang tak bisa diabaikan dan akan berlaku sampai bumi berhenti berputar.

"Ciptakan lingkungan sehat, lingkungan cerdas, dan lingkungan mampu secara ekonomi," katanya suatu saat.

Saya lebih banyak menyelami persoalan yang dihadapi dokter dan tenaga kesehatan lain, ketika akhirnya mutasi ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta, kemudian mengembangkan studi ke bidang teknologi medis sesuai dengan perkembangan tren kesehatan global, lalu intens melakukan berbagai penelitian.

Seringkali bermalam-malam kami berinteraksi di rumah. Bertukar ilmu dan pengetahuan kami masing-masing, termasuk menemukan focal concern persoalan kesehatan yang predictable. Termasuk mendalami relasi - korelasinya dengan berbagai social driving forces. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan bahkan agama. Bahkan termasuk hal yang paling teknis, berupa communities finance viability, kemampuan mengelola keuangan di kalangan masyarakat. Terutama, karena sangat bergantung dengan kondisi obyektif ketimpangan sosial ekonomi yang tak pernah tuntas sejak Indonesia merdeka.

Pemberlakuan human development index (HDI) sebagai salah satu tolok ukur pencapaian pembangunan nasional yang melekat pada dekade Millenium Development Globals (MDGs), tidak serta mempercepat transformasi sistem kesehatan nasional. Terutama, karena ada tarik menarik kepentingan politik praktis. Misalnya, ketika proses pembahasan Rancangan Undang Undang Kesehatan masih dalam tataran politik.

Belum lagi, ketika instansi dan institusi kesehatan (berbasis layanan) lebih banyak didekati dengan pendekatan ekonomi yang sarat buat kepentingan bisnis. Terutama, ketika sistem perbankan masih berkutat dengan prinsip-prinsip dasar perbankan yang mendahulukan profit katimbang benefit.

Ketika saya meneliti dan kemudian menulis buku tentang proses transformasi salah satu bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara), apa yang dikemukakan almarhumah terasa sekali. Belakangan, baru berkembang pemikiran dan kemudian prinsip -- sekaligus paradigma bisnis perbankan dari product centric ke costumers centric, dan bank memainkan perannya sebagai total financial services centre. Tapi, perubahan itu terjadi, ketika proses regulasi sistem jaminan kesehatan sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, bergerak merayap.

Kita selalu cenderung terlambat dibandingkan dengan negara lain dalam konteks melayani rakyat. Masing-masing sektor bergerak sendiri-sendiri. Celakanya, mereka yang menyandang kekuasaan politik, kerap tergoda menggunakan wewenang mereka, bahkan di sektor kesehatan untuk melakukan intervensi. Situasi ini, yang saya lihat, selama lebih lima tahun menangani berbagai hal terkait dengan peningkatan layanan publik, seringkali terjadi friksi antara politisi -- yang menyandang posisi sebagai pejabat negara dengan almarhumah.

Sistem korelasi sosial yang bergerak bagai rel (patron client relationship di satu sisi dan traditional authority relationsip di sisi lain) sering keliru diterjemahkan, dipahami, dan dipraktikan.

Tak sedikit dokter dan petugas kesehatan yang menjaga integritas mereka sesuai dengan sumpah profesi dan perspektif yang lebih kuat pada pencegahan, mesti menghadapi intervensi internal struktural dan intervensi eksternal. Seirama dengan kondisi dan situasi itu, pendidikan masyarakat -- termasuk diseminasi informasi edukatif tentang kesehatan -- tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terutama, kala pemerintah masih berkutat dengan pola penyebaran informasi melalui public services announcement atau iklan layanan masyarakat, dan berkutat dengan aneka seminar dan rapat kerja membahas persoalan yang itu-itu saja.

Dampaknya adalah rendahnya disiplin personal dan sosial masyarakat. Mulai dari kucing-kucingan dan keistimewaan dalam 'mencuri jam bezoek' dan pengabaian risiko ketika berkunjung ke rumah sakit, karena di sana infeksi nosokomial menunggu.

Ketika memperingati hari wafat isteri saya, Maret 2020 lalu, dengan beberapa kerabat dan sahabat, serta anak-anak kami, saya membuka kembali beberapa catatan penting almarhumah yang -- baru kami pahami kini -- sebagai pesan khas terkait tentang petugas kesehatan.

Pertama, setiap rumah sakit mempunyai berbagai keterbatasan, baik dalam konteks infrastruktur maupun suprastruktur, keterbatasan ini akan menghadapkan para petugas kesehatan ada dalam situasi underpressed;

Kedua, secara situasional - tersebab bekerja di ruang berbatas, keterbatasan itu menghadapkan siapa saja petugas kesehatan (mulai dari dokter sampai petugas cleaning service rumah sakit) dengan kondisi psikologi underpressed - karena harus berfikir serempak: menyembuhkan pasien, menghadapi kelelahan fisik, dan persoalan kedalaman kemanusiaannya secara personal (terkait dengan rasa, rindu anak, rindu keluarga, rindu udara segar);

Ketiga, perilaku indisipliner, ketidakjujuran pasien, dan ambilensia lingkungan sosialnya, yang semuanya terkait dengan habitus dan kultur sosial yang aneh, seperti malu ketika mengidap penyakit yang secara sosial lebih banyak diidap masyarakat kebanyakan, dan 'bangga' dengan penyakit yang banyak diidap kalangan masyarakat middle - middle up. Termasuk keengganan mengikuti prosedur masuk ke lingkungan rumah sakit, mulai dari mencuci tangan dengan hand sanitizer;

Keempat, birokrasi dalam manajemen pelayanan, sehingga tekanan berat bertumpu pada petugas (dokter dan lainnya) yang sungguh berada di garis depan, dengan risiko tertular sangat tinggi. Terutama, ketika terjadi pandemi yang merangsek;

Kelima, sistem nilai global - kapitalistik yang diikuti oleh hedonisme, perubahan watak, dan demokratisasi setengah matang yang mengubah masyarakat mengabaikan gaya hidup sehat.

Ketika isu tentang virus corona baru meletik, saya termasuk warga masyarakat yang was-was. Terutama, ketika terjadi sikap 'menganggap remeh' isu tersebut dan sibuk dengan perdebatan yang tidak perlu, bahkan ketika virus corona (COVID-19) sudah memakan korban.

Simpang siur kebijakan yang akan berdampak pada migrasi virus secara besar-besaran, seperti mudik yang ngambang (hanya karena lebih mendahulukan kepentingan ekonomi), sikap tidak konsisten dan menyerahkan pembatasan sosial berskala besar kepada pemerintah daerah, dan kualifikasi bencana nasional non alam yang terlambat, menggambarkan situasi itu.

Ingat, infrastruktur, peralatan, modal insan di sektor kesehatan sangat terbatas. Karenanya, tak ada kata lain yang harus kita lakukan saat ini, adalah membantu mereka yang berada di garis depan dengan perubahan sosiobudaya. Mulai dari disiplin diri untuk tidak 'menantang bencana' atau main-main menghadapi maut yang sedang mengepung siapa saja.

Bila kita masih sibuk dengan sikap 'merasa aman' dan santai menghadapi situasi ini, kita tidak pernah tahu, kapan COVID-19 akan mampu kita atasi. Kita berpacu dengan percepatan modifikasi virus ini, terlambat sedikit, kita akan menjadi duplikasi keadaan yang dialami Amerika Serikat dengan korban paling parah. Begitu juga Italia, Iran, Equador, dan lain-lain.

Dukung petugas kesehatan dengan pengendalian diri di rumah!

Editor : Web Administrator | Sumber : foto VOA/AP
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 432
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 431
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 501
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1583
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1372
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya