Pusara Tak Bernama

Repose en Paix Tante Nuri

| dilihat 1203

Sawedi Muhammad

Paris, di saat musim semi yang sejuk medio April 2017, Tante Nuri menemani saya dan keluarga tamasya di pusat wisata dunia museum The Louvre (Musèe du Louvre).

Louvre adalah museum seni terlengkap dan terbesar. Ia bukan hanya sekadar monumen bersejarah dengan koleksi yang tak ternilai, Louvre sekaligus menjadi penanda utama kota Paris yang terletak di sisi kanan sungai La Seine yang legendaris itu.

Di setiap kunjungan ke Paris, kami memang selalu mampir dan menginap di rumah Tante Nuri. Rumah yang adem, tipikal rumah moderen Eropa tetapi pintunya semua dari kayu jati  bergaya arsitektur Bali yang sangat kental. Tangga dan lantai rumahnya pun dari kayu jati yang semuanya didatangkan khusus dari Jawa.

Karena rumah Tante Nuri berlokasi di pinggiran kota Paris, untuk mencapai Louvre  kami harus naik kereta sekitar 20 menit. Setelah itu kami berjalan menelusuri trotoar kota yang lebar, menyeberangi beberapa ruas jalan untuk kemudian sampai di Louvre. Saat itu,

Tante Nuri memakai mini skuternya yang sangat membantu mobilitasnya berjalan jauh dan bergerak lincah di kerumunan.

Meski usianya tak muda lagi, Ia adalah perempuan yang sangat energik dan tangguh, yang selalu menyemangati saya untuk melakukan banyak hal dan berkontribusi positif untuk banyak orang.

Saya masih ingat betul, setelah puas berkeliling di Louvre, Tante Nuri mengajak saya dan keluarga untuk mengunjungi salah satu tokoh buku di Rue Saint Honore. Koleksi bukunya lumayan banyak dalam bahasa Inggris. Saya membeli beberapa buku karya Foucault, Piketty dan Bourdieu dengan harga yang relatif murah.

Melihat anak-anak saya dan cucu satu-satunya Tante Nuri bernama Alex mulai kecapean, kami diajaknya makan ice cream di dekat Place Vendome yang tokonya sangat ramai dikunjungi. Kami ngobrol sejenak mengenai banyak hal termasuk kisah awal Tante Nuri mulai menetap di Perancis sejak akhir 1970an.

Banyak kisah menarik dari perempuan tangguh yang hebat ini yang dalam darahnya mengalir  darah Bengkulu dari ayahnya dan dari ibunya yang masih kerabat Keraton Solo.

Ayahnya adalah salah satu tokoh pergerakan di zaman revolusi fisik, melegenda sebagai anak ideologis Bung Karno yang bernama Ahmad Marhaen Hanafie. Kisah hidupnya yang heroik-akan saya tulis di bagian lainnya.

Kembali ke Tante Nuri. Setelah pesta kecil ice cream, kami berjalan menelusuri Rue de Rivolli menuju restoran The Djakarta Bali, salah satu resto terkenal di Paris yang menghidangkan makanan khas Indonesia. Tak terkecuali, gado-gado.

Resto ini dapat dicapai hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari The Louvre. Resto ini sangat dikenal oleh orang-orang Indonesia yang biasa berkunjung ke Paris, juga sering menjadi langganan kuliner bagi kantor kedutaan RI di Paris.

Resto ini memiliki kenangan tersendiri bagi Tante Nuri. Ia pernah tinggal di resto ini bersama ayahandanya tercinta yang juga sebagai pemilik resto.

Di awal tahun 80an resto ini menjadi tempat berkumpul mahasiswa Indonesia yang kuliah di Paris. Sesekali ada pertunjukan seni - antara lain Tari Bali -- dan pembacaan puisi. Salah seorang penyair Indonesia yang membacakan puisinya ditemani Tante Nuri di sini adalah Sem Haesy.

Di resto ini, Tante Nuri memperlihatkan beberapa foto bersejarah yang dipajang di dinding. Di sana ada foto almarhum ayahnya dengan ayah angkatnya Bung Karno, foto almarhum ayahnya saat menyampaikan surat pribadi dari Bung Karno di rumah pribadi Fidel Castro di pinggiran kota Havana.

Di resto ini juga saya dan keluarga dikenalkan dengan adik bungsu kesayangan Tante Nuri yang kami panggil dengan Tante Nina. Restoran legendaris ini terjaga dan terpelihara sampai hari ini, berkat tangan dingin dari Tante Nina.

Tidak terasa kami ngobrol banyak hal di resto ini. Matahari beranjak perlahan. Sinarnya yang keemasan memantul dan berserak di atas sungai  La Seine yang tenang.

Kami berjalan pulang menuju stasiun kereta. Orang-orang berdesakan mencari gerbong yang akan membawanya pulang. Tak pernah terpikirkan momen ini adalah yang terakhir kali Tante Nuri mengantar kami jalan-jalan di kota Paris.

Tadi malam sekitar pukul 2 (dua) pagi, kami dapat kabar Tante Nuri telah berpulang ke pangkuan Ilahi. Kami sungguh kehilangan seorang perempuan tangguh. Sosok perempuan yang perjalanan hidupnya ibarat ceritera dari negeri dongeng.

Ia lahir dan besar sebagai anak Menteng. Ayahnya adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam kehidupan pribadi dan politik Bung Karno dan Ibunya adalah bangsawan Solo yang sangat dihormati. Meski Tante Nuri menghabiskan dua pertiga hidupnya di Eropa, semangat dan patriotismenya untuk Indonesia tak pernah padam.

Bagi saya, Tante Nuri adalah sosok pejuang yang selalu mencintai Indonesia. Almarhumah adalah patriot sejati, meski nafas terakhirnya dihembuskan dengan tenang di Eropa, bahkan mungkin jasadnya terbaring abadi di pusara tak bernama.

Selamat jalan Tante Nuri, kami selalu mencintaimu. Venko Kanev, suami tante Nuri - asal Bulgaria, agaknya tak hendak ditinggal. Jum'at (17/4/20) petang atau pukul 10.50 waktu Paris, saya terima kabar, suaminya juga meninggal dunia. Damailah di alam sana. Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun.

-------

Makassar, 17 April, 2020. | (Duka mendalam kami: Sawedi Muhammad, Martifia Frafevita bin Asmara Bakti bin Abi Kabri, Karen Audrie Muhammad, Palawa Aulia Muhammad)

Editor : Web Administrator | Sumber : foto-foto dokumentasi keluarga sawedi
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 167
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 338
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya