Bang Sem
Orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong sesama, termasuk salah satu kategori pendusta agama. Sama nilainya dengan mereka yang suka menghardik anak yatim, dan tak menganjurkan kehendak memberi makan fakir miskin. Orang yang riya’ terbilang pula golongan yang melaksanakan shalat, namun shalatnya rusak.
Orang-orang riya’ adalah mereka yang melakukan sesuatu perbuatan selalu dengan pamrih, dan tidak untuk mencari keridhaan Allah. Termasuk, untuk untuk memperoleh pujian atau kemasyhuran di mata manusia. Mereka suka sekali bermegah-megahan dalam banyak hal. Cenderung selalu merasa lebih dari pada orang lain, lalu sibuk mengurusi dan menilai pekerjaan orang lain, sementara ia tak berbuat sesuatupun, dan enggan mengoreksi diri sendiri. Sebagian mereka, sering merasa menjadi ‘pahlawan’ membela kepentingan orang lain, padahal yang sungguh mereka lakukan adalah kebohongan belaka.
Seringkali, dalam suatu lingkungan sosial tertentu, kita mendapati orang yang dengan sadar – baik melalui dirinya maupun orang lain yang menjadi pengikutnya – mengagung-agungkan jasa yang diperbuatnya. Seolah-olah ia telah gigih memperjuangkan hak banyak orang. Padahal, ia tak melakukan hal itu, karena sesungguhnya manusia memperjuangkan dirinya sendiri, dan keberhasilannya berkah dari pertolongan Allah Ta’ala semata.
Untuk menghindari diri agar tidak terperosok ke lembah riya’ yang nista, itulah setiap manusia diperintahkan Allah Ta’ala untuk menguasai ilmu tahu diri. Seraya bertasbih dan memuji Allah, seraya memohon ampun kepadaNya. Tak seorangpun bisa menolong tanpa seizin Allah.
Orang-orang yang riya’, kerap pula mengumpat dan mencela. Mereka gemar mempersoalkan sesuatu hal yang tak perlu dipersoalkan, agar bisa mengumpat dan mencela orang lain. Lihatlah apa yang terjadi di sekeliling kita, betapa banyak orang-orang yang berbuat baik dan melaksanakan tugasnya dengan baik, menjadi sasaran umpatan dan celaan dari mereka yang melalaikan tugas dan fungsinya secara benar.
Mereka tak segan-segan merekayasa – secara sengaja – gerakan untuk memojokkan orang-orang yang mereka umpat dan cela. Mereka gemar menciptakan kondisi sengkurat (politcking), menciptakan suasana tidak menyenangkan bagi orang lain yang bersungguh-sungguh ingin berbuat baik. Mereka senang dengan situasi dan kondisi yang selalu bergejolak, sebagaimana mereka bersuka-cita menyaksikan terjadinya friksi dan konflik di lingkungan sosialnya. Karenanya, mereka termasuk pemandu jalan menuju kehancuran. Tempat petaka berkecambah.
Menyikapi perbuatan riya’ memang tak mudah. Tapi kudu dilakoni dengan sadar. Terutama, ketika sedang menghadapi kesulitan. Karena sesungguhnya, Allah Pencipta selalu menyediakan kemudahan di balik kesulitan. Karib dengan mereka yang selalu konsisten dan konsekuen menjalani fungsi utama hidup insaninya: bekerja dan berkarya.
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan bebanmu yang memberatkan punggungmu. Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Q.S 94: 1-8).
Sepanjang hayat, kita berkewajiban menghindari segala perbuatan riya’ . Bersyukur ni’mat dengan berbuat baik, bersikap tahu diri, dan ikhlas, akan menyelamatkan kita dari kungkungan riya’. Semoga kita terbebas dari riya’ yang menyesatkan itu... |