Renungan

Riya - Takabur

| dilihat 2028

Bang Sem

Orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong sesama, termasuk salah satu kategori pendusta agama. Sama nilainya dengan mereka yang suka menghardik anak yatim, dan tak menganjurkan kehendak mem­beri makan fakir miskin. Orang yang riya’ terbilang pula golongan yang melaksanakan shalat, namun shalatnya rusak.

Orang-orang riya’ adalah mereka yang melakukan sesuatu perbuatan  selalu dengan pamrih, dan tidak untuk mencari keridhaan Allah. Termasuk, untuk untuk memperoleh pujian atau kemasyhuran di mata manusia. Mereka suka sekali bermegah-megahan dalam banyak hal. Cenderung selalu merasa lebih dari pada orang lain, lalu sibuk mengurusi dan me­nilai pekerjaan orang lain, sementara ia tak berbuat sesuatupun, dan enggan mengoreksi diri sendiri. Sebagian mereka, sering merasa menjadi ‘pahlawan’ membela kepentingan orang lain, padahal yang sungguh mereka laku­kan adalah kebohongan belaka.

Seringkali, dalam suatu lingkungan sosial tertentu, kita mendapati orang yang dengan sadar – baik melalui dirinya maupun orang lain yang menjadi pengikutnya – meng­agung-agungkan jasa yang diperbuatnya. Se­olah-olah ia telah gigih memperjuangkan hak banyak orang. Padahal, ia tak melakukan hal itu, karena sesungguhnya manusia memper­juangkan dirinya sendiri, dan keberhasilannya berkah dari pertolongan Allah Ta’ala semata.

Untuk menghindari diri agar tidak ter­perosok ke lembah riya’ yang nista, itulah se­tiap manusia diperintahkan Allah Ta’ala untuk menguasai ilmu tahu diri. Seraya bertasbih dan memuji Allah, seraya memohon ampun kepada­Nya. Tak seorangpun bisa menolong tanpa se­izin Allah.

Orang-orang yang riya’, kerap pula me­ngumpat dan mencela. Mereka gemar memper­soalkan sesuatu hal yang tak perlu dipersoal­kan, agar bisa mengumpat dan mencela orang lain. Lihatlah apa yang terjadi di sekeliling kita, betapa banyak orang-orang yang berbuat baik dan melaksanakan tugasnya dengan baik, men­jadi sasaran umpatan dan celaan dari mereka yang melalaikan tugas dan fungsinya secara benar.

Mereka tak segan-segan merekayasa – se­cara sengaja – gerakan untuk memojokkan orang-orang yang mereka umpat dan cela. Mereka gemar menciptakan kondisi sengkurat (politcking), menciptakan suasana tidak me­nyenangkan bagi orang lain yang bersungguh-sungguh ingin berbuat baik. Mereka senang dengan situasi dan kondisi yang selalu ber­gejolak, sebagaimana mereka bersuka-cita me­nyaksikan terjadinya friksi dan konflik di lingkungan sosialnya. Karenanya, mereka ter­masuk pemandu jalan menuju kehancuran. Tempat petaka berkecambah.

Menyikapi perbuatan riya’ memang tak mudah. Tapi kudu dilakoni dengan sadar. Ter­utama, ketika sedang menghadapi kesulitan. Karena sesungguhnya, Allah Pencipta selalu menyediakan kemudahan di balik kesulitan. Karib dengan mereka yang selalu konsisten dan konsekuen menjalani fungsi utama hidup insaninya: bekerja dan berkarya.

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilang­kan bebanmu yang memberatkan punggung­mu.  Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah ke­sulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Q.S 94: 1-8).

Sepanjang hayat, kita berkewajiban menghindari segala perbuatan riya’ . Bersyukur ni’mat dengan berbuat baik, bersikap tahu diri, dan ikhlas, akan menyelamatkan kita dari kungkungan riya’. Semoga kita terbebas dari riya’ yang menyesatkan itu... |

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 785
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya