Senopati Pamungkas itu Berpulang

| dilihat 1604

SEJAK beberapa pekan terakhir kabar tentang Arswendo Atmowiloto yang biasa dipanggil karib Mas Wendo, menghiasi whatsapp group eks jurnalis KKG - Kelompok Kompas Gramedia yang sebelumnya dikenal dengan kelompok Gramedia Majalah. Bahkan ketika berhenti dan melanjutkan karir sebagai jurnalis di berbagai media lain.

Harry Tjahjono yang memang karib dengannya, kerap mengabarkan kondisi mutakhir. Karena kerap berada di luar kota dan di jiran, saya tak sempat nengok ketika beberapa teman eks redaktur Majalah HAI, Tabloid Monitor, Tabloid Bintang Indonesia dan lainnya menengok dia di kediamannya.

Harry mengabarkan, Mas Wendo tak ingin kabar sakitnya dikonsumsi publik. Karena dia tidak merasa dirinya public figur. Dia lebih suka menyebut dirinya jurnalis dan pengarang biasa-biasa saja, meski pernah mengenyam hadiah jurnalisme dan mendapat kesempatan berlatih di IOWA writing program - Amerika Serikat.

Sejak dulu dia begitu. Kendati punya posisi sebagai 'petinggi' dan beroleh ruangan khusus, dia lebih suka nongkrong dan bergabung dengan jurnalis dan karyawan.

Mantan wartawan Kompas yang kemudian memimpin begitu banyak media di bawah Gramedia Majalah, ini tak pernah hilang kesederhanaannya, sampai wafat, Sabtu senja.

Dalam dunia literasi tekstual Indonesia, dia adalah Senopati Pamungkas -- seperti salah satu judul bukunya yang populer. Dia juga yang menebar teknik dan ketrampilan menulis, seperti bukunya: Mengarang itu Gampang. Dan, dia memang membuktikan resepnya, pada beberapa petinggi media, khasnya Pemimpin Redaksi yang merangkak dari bawah, sebagai korektor.

Sebelum tersangkut kasus survey Tabloid Monitor yang membuatnya mendekam di penjara selama lima tahun -- potong tahanan, Mas Wendo sosok jurnalis yang merdeka. Ketika penetrasi terhadap dunia pers begitu berat, dia tidak menghadapinya seperti orang menghadapi tembok.

Mas Wendo bergerak bagai air. Maka lahirlah 'Jurnalisme Lher,' yang dianut oleh Tabloid Monitor -- yang semula adalah majalah internal TVRI pimpinan Ishadi SK -- dan pernah menjadi raja tabloid dengan tiras tertinggi.

Sesungguhnya dia bukan sosok yang kaku dengan format media. Dia terbilang demokratis. Rapat-rapat redaksi di berbagai media yang dia tangani, selalu dilakukan dengan cara demokratis.

Biasanya dimulai dengan berdo'a, lantas menyusun rancangan isi dengan belanja isu, selepas itu forum 'rumah tangga,' tempat jurnalis dan karyawan buka-bukaan tentang berbagai hal terkait dengan operasional jurnalisme dan penerbitan, sampai media sampai ke pembaca. Di forum ini, kritik jurnalis dan karyawan kepada manajemen, termasuk dirinya selaku pemimpin, berlangsung. Titik beratnya: solusi.

Saya dan kawan-kawan bersamanya selama beberapa tahun. Bekerja bersama dia, menyenangkan. Tak ada posisi atasan dan bawahan. Manajemen dilakukan berbasis fungsi, bukan posisi dan struktur. Yang diutamakan olehnya adalah kejujuran, ketepatan, baru kecepatan.

Mas Wendo tak hanya jurnalis. Dia juga sastrawan. Karya-karyanya dalam bentuk buku dengan beragam format, termasuk novel, banyak dan sebanyak itu juga best seller.

Dia guru bagi jurnalis dan pengarang atau novelis, seperti Hilman Hariwijaya yang beken dengan Lupus, Golagong dengan Balada si Boy, dan banyak lagi. Dia juga menulis naskah sinetron dan film, seperti Jendela Rumah Kita, Keluarga Cemara, Putri Seorang Jendral, dan lain-lain.

Meski sehari-hari senang bercanda dan bersenda, kala serius dia sangat serius. Seringkali saya bersama Rachmat Ryadi -- karikaturis Timun di Kompas, Veven Sp Wardhana, Samsudin Noer Moenadi, Mayong Suryo Laksono, dan Aries Tandjung, berdiskusi tentang banyak hal yang serius. Tapi, kemudian diakhiri dengan cekakakan.

Perhatiannya terhadap jurnalis dan karyawan sangat besar. Mas Wendo tak hanya berbagi ilmu dan pengalaman, dia juga membela jurnalis dan karyawannya yang benar acapkali menghadapi persoalan dengan pihak lain. Termasuk, bagaimana memanifestasikan kode etik jurnalistik.

Tak kurang dari lima tahun saya bekerja bersama dan bekerjasama dengan dia di lingkungan Gramedia, termasuk melakukan perubahan format Majalah HAI, yang pertama kali menggunakan pihak lain (Matari Inc) sebagai konsultan.

Mas Wendo melihat media sebagai ajang kreatif. Karena kreativitas merupakan jiwa utama dari media. Satu hal yang sering dia ingatkan, "menulislah di media untuk orang banyak, khalayak ramai, yang di antara mereka banyak orang pandai, kritis, dan berilmu." Artinya, acap menulis di media, mesti paham, jangan pernah menulis untuk kepuasan diri sendiri.

Gayanya yang 'selengekan' adalah watak aslinya, bukan sesuatu yang di buat-buat. Di mana saja dia tampil, termasuk di layar televisi, ya seperti itu.

Tahun lalu kami jumpa dalam reuni kecil yang digagas Ricke Senduk dan teman-teman. Ketika itu dia bercerita kondisinya yang tak lagi fit, sehingga tak lagi produktif seperti dulu.

Pekan lalu, beredar isu dia meninggal dunia. Ricke membanta lewat akunnya di facebook yang disebarluaskan via whatsapp group. Karenanya, ketika beroleh kabar, Sabtu petang, ihwal Mas Wendo wafat, orang pertama yang saya kontak adalah Ricke. Tapi, di whatsapp group, Ricke sudah pasang ucapan: Rest in Peace. Dan, pihak keluarganya membenarkan kabar itu.

Mas Wendo, yang 26 November 2019 mestinya berusia 70 tahun, sudah mendahului kembali kepada penciptanya dalam tenang dan damai, sekaligus menyusul teman-teman lain yang sudah berpulang lebih dulu. Selamat jalan, Mas.. | bangsem

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya