Sumpah Pemuda dan Generasi yang Hilang

| dilihat 9012

AKARPADINEWS.COM | “BERIKAN aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”

Pernyataan yang disampaikan Bung Karno itu menegaskan pentingnya peran pemuda dalam mengubah nasib bangsanya, bahkan dunia. Sebagai pemimpin, Bung Karno menyakini pemuda memiliki kekuatan yang luar biasa.

Dan, itu dibuktikan. Sejarah perjalanan bangsa ini tidak terlepas dari andil pemuda. Salah satu kontribusi besar para pemuda adalah mendeklarasikan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Peristiwa itu menjadi cikal bakal lahirnya Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

"Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Teks Sumpah Pemuda yang ditulis oleh Muhammad Yamin itu merupakan intisari dari hasil Kongres Pemuda I yang digelar 30 April - 2 Mei 1926 dan Kongres pemuda II pada 27-28 Oktober 1928. Teks itu mengukuhkan semangat persatuan pemuda-pemudi Indonesia dari beragam latar belakang suku dan agama. Penderitaan sebagai bangsa terjajah, membuat mereka bertekad mengangkat harkat dan martabat bangsanya dengan menggalang persatuan dan kesatuan.

“Mereka datang dari berbagai suku, golongan dan bersatu. Dulu, anak muda kita memiliki kesadaran kebudayaan untuk berkumpul. Mereka menganggap diri mereka tidak terpisahkan. Aku adalah kamu. Kamu adalah aku,” tutur budayawan Radhar Panca Dahana dalam orasi kebudayaan di Graha Bhakti Budaya, 28 Oktober 2015 lalu.

Setelah 87 tahun berlalu, lantas bagaimana dengan persatuan, semangat juang, dan konsistensi pemuda saat ini memikirkan kondisi bangsanya? Menurut Radhar, saat ini, para pemuda Indonesia telah memasuki tahap yang memprihatinkan. “Kita adalah lost generation dan generasi virtual, dihilangkan perannya oleh Orde Baru, dibuat bingung oleh Orde Reformasi dan dibunuh oleh mesin teknologi seperti gadget dan media sosial,” tuturnya.

Radhar seolah ingin mengungkapkan, pergerakan pemuda sangat dipengaruhi situasi kebudayaan dan zamannya. Kebudayaan sebagai cara hidup, selalu berkembang, dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pada masa lalu, budaya kolonialisme yang merenggut kebebasan dan membuat bangsa menderita, membakar semangat pemuda untuk berjuang meraih kemerdekaan. Situasi kala itu berbeda dengan saat ini.

Keberadaan para pemuda di setiap generasi juga sangat mempengaruhi perubahan karakter bangsa hingga peradaban dunia. Dalam sejarah kebudayaan Indonesia dan  dunia, terdapat lima generasi muda yang bertransformasi dari masa ke masa.

Pertama, generasi senior seperti para pencetus Sumpah Pemuda. Mereka lahir sebelum kemerdekaan Indonesia 1945. Mereka adalah generasi paling senior dan memiliki tujuan untuk memerdekakan bangsanya. Selanjutnya, pada masa usai Perang Dunia II, lahir sebuah generasi yang disebut Baby Boomers (1946-1964). Generasi ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh tingkat kelahiran yang tinggi pasca Perang Dunia II.

Diperkirakan, jumlahnya mencapai 30 persen dari total populasi dunia. Generasi ini mulai mempunyai karakter sebagai pahlawan, beradaptasi dengan lingkungan, berdemonstrasi, dan mulai membedakan ras dan suku masing-masing. Generasi baby boomers disebut sebagai generasi penentu karena setiap individu telah mulai menentukan perubahan untuk masa depan, walaupun masih dalam skala yang sangat kecil.

Generasi ketiga adalah generasi bunga (flowers generation). Generasi yang didominasi oleh anak muda berumur di bawah 30 tahun yang hidup dan tumbuh berkembang pada era akhir 60-an hingga awal 80-an. Flowers Generation ini sebenarnya muncul sebagai perlawanan terhadap budaya kemapanan para orang tua dan lingkungan sekitar.

Para anak muda yang masih dalam tahap pencarian jati diri, cenderung eksplosif, kritis, dan berusaha berontak terhadap sistem kemapanan semu. Belum lagi isu rasial, perang dingin dan ancaman perang nuklir yang juga menjadi pencetus lahirnya flower generations.

Gerakan ini seakan menjadi bom waktu yang hanya menunggu saat yang tepat untuk diledakkan. Dan, bom waktu itu pun meledak. Pada tahun 1959, di mulai dengan perang Vietnam. Sekumpulan anak muda yang merasa bosan dengan sistem kemapanan dan peperangan, berkumpul menjadi satu dan lahirlah sebuah generasi baru, Generasi Bunga yang bermakna kelembutan, tanpa kekerasan.

Generasi Bunga yang bertahan hingga saat ini adalah Kaum Hippies yang memiliki pola hidup tak teratur, cenderung bebas, dan tak terikat oleh pola aturan yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia, gerakan yang hampir serupa dengan Generasi Bunga adalah gerakan kaum urakan yang diprakarsai Rendra.

Generasi keempat adalah Generasi X dan Generasi Y. Bila Generasi X terlahir dari perubahan iklim sosial-politik dunia dan lalu ekonomi, kelahiran Generasi Y dibidani oleh inovasi teknologi dan industri komersial. Di Indonesia, Generasi X dialami pada masa refresif Orde Baru. Menurut Radhar, para intelektual masa tersebut, dibungkam pandangan dan pemikirannya. Generasi X melahirkan para tokoh dan pelaku dunia politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia.

Generasi X Indonesia menampilkan karakter khas seperti semangat belajar dan keterbukaan terhadap nilai-nilai yang tidak berakar lokal dan tradisi. Saat ini, kita telah memasuki generasi digital (digital native). Radhar menyebutnya lost generation karena generasi saat ini adalah mereka yang dihilangkan oleh Orde Baru dan dibingungkan oleh reformasi. Generasi digital memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dengan generasi sebelumnya.

Pertama, identitasnya yang selalu eksis. Karenanya, ketika serbuan teknologi beserta budaya asing masuk, salah satunya budaya eksis di media sosial, mereka ramai-ramai membuat akun facebook, twitter, youtube, dan lain-nya, untuk menunjukan eksistensinya. Media pun mampu memuaskan hasrat mereka untuk eksis. Kedua, tidak adanya privasi.

Digital native cenderung lebih terbuka, blak-blakan, open minded, dan yang terpenting bagi mereka adalah eksis. Radhar khawatir terhadap generasi ini karena tumbuh jiwa individualisme yang tinggi, selaras dengan semangat kapitalisme, persaingan, bahkan melihat alam sebagai objek yang dieksploitasi demi kesejahteraan manusia.

Untuk menyadarkan kembali peran kita sebagai pemuda di masa generasi digital ini, Radhar menutup orasinya dengan solusi sederhana. “Mudiklah diri kalian ke realitas sosial yang sesungguhnya. Balik, balik, balik. Apakah kita kenal diri kita? Apakah kita kenal jiwa kita? Apakah kita kenal Indonesia?” pungkas Radhar.   

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya