Takuruang di Lua Taimpik di Ateh

| dilihat 861

Bang Sém

James Martin - nominee Pulitzer Prize lewat karyanya The Wired Society, yang juga pendiri Institut Sains dan Peradaban - Universitas Oxford, Inggris sejak tahun 2007 sudah mewanti-wanti, supaya dunia responsif terhadap 17 megaproblem Abad ke 21.

Salah satunya adalah pandemi global, seperti virus corona atau Covid-19 yang kini sedang menyerang seluruh kawasan dunia.

Dalam bukunya bertajuk 17th Great Challenges of the Twenty-First Century, Martin mengingatkan para petinggi di seluruh dunia untuk memberi perhatian terhadap pengembangan keterampilan Abad ke 21, guna menggagalkan penyebaran virus dan penyakit menular.

Dari pengalaman sejarah kehidupan umat manusia selama ini, Marten memprediksi, tidak sedikit virus  dan sumber penyakit menular yang cepat dan menjadi pembunuh jutaan manusia.

Keterampilan Abad ke 21 yang mesti dimiliki di setiap negara, menurut Marten, antara lain adalah menciptakan perangkat sensor yang dapat mendeteksi keberadaan virus berbahaya di udara. Sekaligus membuat prosedur medis untuk mencegah penyebaran penyakit.

Menghadapi virus yang berpotensi menjadi pandemi global, memerlukan persiapan, dan setiap negara harus berbuat lebih banyak untuk sselalu iap menghadapi mereka.

Setarikan nafas, Marten mengemukakan, setiap negara - bangsa mesti menyiapkan generasi baru supaya mereka mempunyai peradaban baru yang mampu mengendalikan otak dan jari jemarinya menghidupkan kesadaran insaniah di masa kekacauan yang akan terus berulang.

Prediksi Marten tiba-tiba berada di depan mata, ketika kita beroleh kabar, bagaimana hacker menerjang website Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sedang giat melakukan aksi cepat menghadang virus corona. Pun, cuitan-cuitan para zombie yang sibuk menyerang Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang berkomitmen menyelamatkan warganya dari ancaman virus corona.

Marten juga mengingatkan, ketika kita gencar menghadang dan memerangi terorisme, pada saat bersamaan, mestinya kita juga menunjukkan keandalan dalam melindungi Biosfer, mengendalikan pertumbuhan penduduk, dan mobilitas sosial manusia.

Dia mengingatkan, kita kehilangan spesies tumbuhan dan hewan, sehingga terancam punah dengan mengidentifikasi dan melestarikan "titik panas" - tempat-tempat dengan kepadatan tinggi spesies yang terancam punah. Termasuk pengendalikan diri dari kerakusan menguras ikan di seluruh samudera, dengan memperluas area perlindungan laut yang dirancang dengan baik.  

Seirama dengan kesadaran demikian, setiap petinggi negara -- karena langkanya pemimpin dan kaum elite -- di berbagai negara di belahan bumi, untuk secara kolektif membalikkan (bukan mengentaskan) kemiskinan. Menghidupkan spirit, seperti yang diwawar oleh Jeffery Sachs lewat bukunya, The End of Poverty.

Realitas hari ini, termasuk penyebaran pandemik virus corona, sudah sangat lama diisyaratkan oleh para leluhur dengan kearifan dan kecerdasan lokal yang diwariskannya.

Dari tatar Pasundan, misalnya, kita diingatkan oleh prediksi suatu keadaan : kawung mabur carulukna, gula leungiteun ganduan, samak tingaleun pandanna, ciherang kari kiruhna, cai amis kantun paitna, kyai leungiteun aji, pandita leungiteun komara - kahuruan ku napsuna.

Kearifan dalam bentuk rumpaka ini, mengisyaratkan, tibanya masa, lost generation akibat pandemi (termasuk narkoba dan stunting), kala kinerja manusia berprestasi tak pernah dinilai dengan parameter atau key performance indicator yang obyektif dan adil, karena meruyaknya manipulasi atau kepalsuan di mana-mana (seperti saat ini, ketika kita memasuki era kebohongan, post trust era). Pada saat itu juga terjadi kerusakan lingkungan, termasuk kerusakan biosfer, bumi, dan planet. Akibatnya, segala berkah berubah menjadi musibah. Di masa itulah terjadi situasi 'kyai leungiteun aji,' para wiseman - pemuka agama, tak lagi berdaya dan para para petinggi - penguasa, serta intelektual tak lagi berwibawa, bahkan rusak akhlaknya. Kahuruan ku napsuna : terbakar oleh nafsunya (termasuk syahwat kekuasaan, orientasi struktural, dan sibuk memburu status simbol).

Situasi ini, seperti terasakan kala merespon pandemi global Covid-19, kita terjebak dalam situasi, yang dalam pepatah Minang disebut "takuruang di lua, taimpik di ateh." Terkurung di luar dan terhimpit di atas.

Saat ini kita sedang terkurung di luar diri kita, karena tak lagi paham merumuskan secara aktual hakikat jagad makrokosmis dan mikrokosmis. Terhimpit di atas, kala kita senang menerapkan rekayasa citra dalam konteks pencitraan.

Terlalu banyak orang pandir ketika mereka menyandang begitu banyak gelar dan bahkan jabatan akademik tertinggi yang hanya simbolis, tapi tak mampu berbuat apapun yang sesuai dengan pencapaian kesarjanaannya.

Kita mengalami paradoks luar biasa: inflasi sarjana dan miskin cendekiawan, kita mengalami inflasi petinggi dan miskin elite (khashash). Terutama karena kita hanyut dan terhuyung-huyung dalam pusaran pragmatisme berujung transaksionalisme dalam berbagai aktivitas kehidupan.

Penyebaran virus Covid-19 yang kini sedang membuat hati 'kuai-kuai' dan merontokkan ketahanan sosio-ekonomi, bahkan menggerus kepercayaan rakyat kepada para petinggi atau penguasa.

Mudah-mudahan petaka ini segera menyadarkan kita untuk menjadi sesungguh manusia yang konsisten dan konsekuen: taro ada, taro gau -- kata amatoa Bugis. Konsisten. Satunya kata dengan perbuatan.

Lantas, menggerakkan keterampilan abad 21 - pemanusiaan sains dan teknologi -- untuk kepentingan Malilu Sipakainge, Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong. Saling membantu satu dengan lain, tidak saling menjatuhkan, dan tak pernah bosan saling mengingatkan, supaya mampu menghadapi tantangan abad ke 21. |

Editor : Web Administrator
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 919
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1411
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1558
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Energi & Tambang