Pelanggaran HAM

Talangsari yang Terlupakan

| dilihat 2675

AKARPADINEWS.COM | GERIMIS yang membasahi Jakarta tak menghentikan aksi yang digelar sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM). Minggu, 7 Februari 2016, mereka menggelar aksi untuk mengingatkan publik dan pemerintah agar tidak melupakan sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu. 

Salah satu kasus pelanggaran HAM yang mereka desak agar segera dituntaskan adalah tragedi Talangsari. Aksi yang digelar di Taman Suropati, Jakarta itu bertepatan dengan peristiwa berdarah Talangsari yang terjadi 27 tahun silam. Namun, hingga kini tidak jelas penuntasannya, meski data, fakta, dan sejumlah kesaksiaan terjadinya pelanggaran HAM berat di Talangsari, telah terpapar.

Aksi yang diinisiasi aktivis Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) itu mendesak pemerintah untuk menuntaskan kejahatan kemanusiaan itu. “Hari ini merupakan momentum peristiwa Talangsari yang terjadi 27 tahun lalu," tegas Ferry Kurniawan, seorang seorang aktivis Kontras.

Selain kasus Talangsari, para aktivis juga mendesak pengusutan kasus pelanggaran HAM lainnya antara lain: peristiwa 1965/1966, Wamena-Wasior, penculikan aktivis 1997/1998, kasus Semanggi dan Trisakti.

Ferry menagih janji Presiden Joko Widodo yang pernah menyatakan akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Presiden dalam program Nawa Cita yang diusungnya berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Talangsari. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah nyata yang dilakukan Presiden terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu itu.

Jaksa Agung HM Prasetyo pun dipertanyakan komitmennya karena hingga kini tak juga melakukan penyidikan terhadap kasus Talangsari. Prasetyo juga dianggap tidak berniat kerjasama dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sebelumnya, Prasetyo mengatakan, penuntasan kasus HAM berat masa lalu menunggu waktu yang tepat. Menurut dia, ada wacana penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan nonyudisial melalui rekonsiliasi.

Agaknya, mantan petinggi TNI yang disebut-sebut terlibat dalam kasus Talangsari sulit diusut. Apalagi, saat ini, ada yang berada dalam pusaran kekuasaan. Sebut saja Hendropriyono, yang dekat dengan Presiden Jokowi.

Tragedi Talangsari mewarisi sejarah kelabu bagi bangsa ini. Ketidakjelasan pengusutan kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1989 itu, menyisahkan ketidakadilan bagi para korban dan keluarganya. Jauh sebelumnya, para korban dan keluarganya telah berkali-kali mendesak aparat penegak hukum, menyeret para pelaku kejahatan HAM Talangsari. Namun, aparat penegak hukum terkesan menutup mata.

Dari laporan Tim Ad Hoc Talangsari yang dibentuk Komisi Nasional (Komnas HAM), ditemukan sejumlah fakta kekerasan, pembunuhan, pengusiran secara paksa, penyiksaan, dan penganiayaan yang dilakukan secara sistematis oleh militer. Sementara berdasarkan data Kontras, tragedi Talangsari telah menyebabkan 167 orang meninggal dunia, 88 warga hilang, 164 orang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang serta 48 orang diadili secara tidak adil.

Temuan itu menunjukan kasus Talangsari bukan kejahatan biasa (ordinary crime), tapi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan militer di era Presiden Soeharto. Dengan dalih menjaga stabilitas negara dari rongrongan gerakan pengacau keamanan (GPK), militer yang curiga terhadap kegiatan jamaah Warsidi di Talangsari, melakukan tindakan refresif. Para korban dibantai lantaran dituding menentang asas tunggal Pancasila.

Pada 9 September 2008 lalu, Komnas HAM memutuskan, kasus Talangsari adalah pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights). Rekomendasi Komnas HAM itu kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung pada tanggal 18 September 2008.  

Rekomendasi Komnas HAM itu harusnya dijadikan acuan bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap para petinggi militer yang diduga terlibat sebagai pelaku kejahatan HAM. Para petinggi militer kala itu yang disebut-sebut diduga terlibat dalam kasus Talangsari antara lain: Panglima TNI Try Sutrisno, Komandan Korem Garuda Hitam 043/Lampung AM Hendropriyono, dan mantan KASAD Jenderal Wismoyo Arismunandar.

Namun, rekomendasi Komnas HAM itu sampai sekarang tidak juga ditindaklanjuti Kejaksaan Agung. Alasannya, karena belum terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Talangsari yang dibentuk DPR. Kejaksaan Agung berdalih, penyidikan kasus Talangsari bisa batal demi hukum jika tidak diproses lewat Pengadilan HAM Ad Hoc. Karena itu, meski berkas rekomendasi kasus Talangsari telah diserahkan Komnas HAM, Kejaksaan Agung tidak menindaklanjutinya.

Seharusnya, atas nama keadilan dan penegakan hukum dan HAM, Kejaksaan Agung sebagai institusi penegak hukum, tidak tidak perlu bersikukuh menunggu rekomendasi DPR terkait pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Kejaksaan Agung bisa juga menekan DPR mempercepat pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Tak hanya kasus Talangsari, hampir sebagian besar kasus Pelanggaran HAM yang direkomendasikan Komnas HAM, tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung. Bahkan, Kejaksaan Agung pernah mengembalikan empat berkas kasus dugaan pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM karena dianggap kurang lengkap. Empat kasus itu yakni kasus Wasior-Wamena, Trisakti, Semanggi I dan II, dan kasus penghilangan orang secara paksa.

Komnas HAM sudah melakukan pertemuan dengan Kejaksaan Agung untuk menyamakan persepsi soal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tapi, Kejaksaan Agung tak menunjukan keseriusan.

DPR juga seharusnya bisa mempercepat pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Talangsari. Tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc justru harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM sebagai insitusi yang berwenang. Sebenarnya, kendala utam pembentukan Pengadilan HAM lantaran kasus HAM masa lalu menjadi komoditas politik.

Kasus Talangsari terjadi hanya karena kecurigaan pemerintah yang berlebihan terhadap aktivitas jamaah Warsidi yang dituduh menentang asas tunggal Pancasila. Pemerintah Orde Baru yang ditopang kekuataan militer memang mencermati indikasi tumbuhnya gerakan Islam, setelah hancurnya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tragedi Talangsari berawal dari kecurigaan Camat Way Jepara, Zulkifli Maliki terhadap aktivitas di dukuh Cihideung yang berkedok pengajian. Karena curiga, 27 Januari 1989, dia mengirim surat kepada Kapten Soetiman, Komandon Rayon Militer (Danramil) untuk melakukan pemantauan.

Sehari sebelumnya, Zulkifli menerima kabar jika Usman, anggota jama’ah Warsidi, dilaporkan meresahkan pondok pesantren Al- Islam. Hubungan jamaah dengan aparatur setempat memang kurang baik. Zulkifli pernah meminta Jayus dan Warsidi, sebagai pemimpin pengajian untuk menghadap. Namun, Warsidi menolak hadir karena sibuk pengajian di beberapa tempat.

Karena dianggap meresahkan, 5 Februari 1989, aparat Kodim Metro menyergap enam jama’ah ketika sedang ronda. Esoknya, Mayor EO Sinaga bersama pasukan dari Koramil Way Jepara mengunjungi perkampungan. Pertemuan itu berlangsung rusuh. Warga tidak terima lantaran aparat merendahkan mereka. Kekerasan pun terjadi, hingga akhirnya Soetiman pun tewas.

7 Februari 1989, penyerangan dilakukan. Menurut catatan Kontras, Danrem 043 Garuda Hitam yang kala itu dijabat Kolonel Hendropriyono, bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM dan Polisi setempat, menyerbu perkampungan Cihideung. Pasukan dilengkapi senjata modern, granat, dan dua buah helikopter. Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, jama'ah pun berupaya menyelamatkan diri dan melakukan perlawanan dengan senjata seadanya. Tanpa ada dialog dan peringatan, penyerangan dimulai. Jamaah Warsidi pun tak bisa berbuat banyak.

Sejumlah warga diinterogasi. Saudah, salah satu korban, mengaku melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan. Tentara juga membakar pondok-pondok yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak rumah panggung. Seorang jamaah, Ahmad, dipaksa untuk menyiramkan bensin dan membakar sejumlah rumah, termasuk pondok pesantren dan bangunan-bangunan lainnya yang diduga berisi 80-100 orang.

Aparat lalu memaksa seorang jamaah, Purwoko untuk mengenali wajah Warsidi dan Imam Bakri di antara mayat-mayat jama’ah yang bergelimpangan. Mayat Pak War dan Imam Bakri ditemukan setelah Purwoko hampir membolak-balik puluhan mayat. 

Hendropriyono sebelumnya kepada wartawan Amerika Serikat, Allan Nairn, membantah telah membunuh jamaah Warsidi. Menurut dia, korban tewas karena membakar pondok persembunyiannya. Para korban itu tidak diizinkan keluar oleh Warsidi. Hendropriyono mengaku, telah meminta agar mereka keluar dan menyerah. Namun, tiba-tiba, api menyala, membakar pondok tersebut.

M. Yamn Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya